Fakta lain juga menyuguhkan, bahwa pada saat proses penyembelihan hewan itu, semua orang (baca: bapak-bapak) dilibatkan dan masing-masing diberi tugas. Ada pihak yang bertugas mencari kayu bakar di hutan, menyembelih, memanggang daging di atas tungku api, mengiris-iris daging, membersihkan kotoran dari usus hewan, dsb.
Menariknya, ada juga seksituak/sopi. Tugasnya menuangkan tuak/sopi (minuman yang mengandung alkohol) ke dalam sloki. Selanjutnya, sloki yang sama diedarkan kepada seluruh warga yang ada dalam perkumpulan tersebut. Tuak/sopi pada dasarnya selalu dihadirkan berkenaan dengan momen julu di Manggarai. Ibaratnya kedua unsur itu berada dalam satu tarikan nafas.
Setelah penyembelihan hewan berikutnya adalah kegiatan pembagian daging. Masing-masing orang (kepala keluarga) akan mendapatkan bagiannya sama rata. Atau kami di Manggarai menyebutnya dengan sa sako sa ata (satu ikat setiap orang).
Pada galibnya, tradisi nakeng sabi adalah aktivitas budaya komunal komunitas Manggarai. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan di dalam komunitas. Selebihnya, mempertebal semangat gotong-royong dan solidaritas sosial antar sesama warga.
Tradisi nakeng sabi ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Dalam perjalanannya, aktivitas kebudayaan ini turut serta membentuk pola pikir dan bertindak masyarakat Manggarai.
Tradisi Nakeng Sabi Mulai Hilang
Seiring berjalannya waktu, tradisi nakeng sabi di tengah masyarakat Manggarai mulai hilang. Penyebabnya antara lain: Pertama, karena sekarang ini sudah semakin jarang orang di pedesaan yang pergi berburu ke hutan. Kedua, keberadaan hewan buruan di hutan tidak sebanyak seperti yang dulu lagi. Ketiga, setiap orang lebih memanfaatkan hewan hasil buruan dan/atau peliharaan untuk dijual agar menghasilkan uang. Hal ini tentu saja masih setali tiga uang dengan motif ekonomi.
Meski orang di pedesaan Manggarai sudah jarang melakukan tradisi ini, tetapi pada konteks tertentu mereka akan membeli hewan secara berkelompok dan dagingnya akan dibagikan sama rata di antara kelompok itu. Kebiasaan ini acapkali diadakan menjelang hari raya keagamaan, seperti misalnya pada saat Natal dan Tahun Baru, Pentakosta, Paskah, maupun pada saat syukuran panen dan syukuran-syukuran keluarga lainnya.
Halaman : 1 2