Hegel sesungguhnya ingin menggarisbawahi tesis bahwa formasi identitas moral seseorang sangat bergantung pada relasi intersubjektif pengakuan timbal-balik. Jika individu berhasil melewati tiga ruang yang konstitutif untuk pembentukan Sittlichkeit yakni keluarga, masyarakat ekonomi (Bűrgerliche Gesellschaft) dan negara, maka ia akan mencapai identitas kultural yang sempurna.
Dihubungkan dengan pandangan Aristoteles, tesis Hegel merupakan salah satu model kontekstualisasi: Hegel berpandangan bahwa formasi identitas moral individual terbangun dalam relasi saling pengakuan. Keluarga, masyarakat dan negara menciptakan latar belakang bagi terbentuknya sebuah identitas. Namun persoalan untuk konsep formasi identitas Hegelian ini terletak pada ketidakjelasan dalam hubungan dengan norma-norma yang bersifat kontrafaktis. Sampai pada titik mana konstelasi yang ada merupakan ungkapan adat-istiadat tradisional, dan kapan ungkapan adat-istiadat itu harus dikritik?
Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Baca Juga : Aku dan Kisahku
Seperti sudah dijelaskan, konsep pengakuan merupakan salah satu warisan penting filsafat politik Hegel. Ungkapan pengakuan menggambarkan model ideal relasi antara individu atau kelompok dalam sebuah masyarakat. Pengakuan mengungkapkan relasi yang diwarnai dengan penghargaan atau respek. Relasi pengakuan berbeda dari konsep toleransi. Dalam relasi pengakuan identitas yang lain atau yang asing tidak hanya sekedar diterima atau dibolehkan, tapi lebih dari itu menemukan martabat atau penghargaan dalam keberlainannya.
Setiap model filsafat politik yang berpijak pada konsep pengakuan mau menunjukkan bahwa respek atau penghargaan merupakan sesuatu yang dasariah bagi formasi identitas individu dan kelompok, dan absennya respek, penistaan serta diskriminasi berakibat fatal bagi identitas individu dan kelompok tertentu. Dalam terang paradigma pengakuan, penghargaan terhadap diri yang cukup tak mungkin terwujud tanpa pengakuan yang lain. Para pemikir kontemporer yang secara intensif mengembangkan konsep pengakuan ini antara lain Charles Taylor, Axel Honneth dan Nancy Fraser.
Hegel merupakan filsuf pertama yang berbicara secara sistematis tentang konsep pengakuan sebagai paradigma dalam filsafat politik. Ia berpendapat bahwa pembentukan identitas moral politis seorang individu dan formasi identitas pada umumnya hanya dapat dimengerti sebagai prestasi intersubjektif. Untuk perwujudan diri individu selalu dibutuhkan satu keseluruhan atau dalam bahasa Hegel “totalitas intersubjektivitas” sosial.
Proses pembentukan identitas tersebut, demikian Hegel, dapat ditampilkan sebagai suatu alur yang bertingkat-tingkat dari perlbagai konflik yang akhirnya bermuara pada suatu rekonsiliasi (Versőhnung) partai-partai yang bertikai tersebut. Hegel menamakan alur konflik tersebut sebagai suatu “Kampf um Anerkennung”-“ Perjuangan akan Pengakuan”.