Cerita Tuna Penjaga Mata Air

- Admin

Senin, 2 Agustus 2021 - 17:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.comTuna (belut) memiliki beragam kisah yang menarik. Dalam kearifan lokal orang Manggarai, tuna dikenal sebagai makhluk penjaga mata air. Bahkan, tuna bisa mencari dan menemukan beberapa mata air dalam satu tempat.

Tuna adalah hewan yang hidup di dalam air dengan ciri-ciri adalah memiliki kepala yang bulat, memiliki gigi yang lebih runcing, lipatan insang yang lebih banyak, dan warna kulit berbintik-bintik menyerupai pasir serta sirip di bagian ekor lebih lebar menyerupai sidat.

Ada tuna yang berukuran panjang dan pendek. Makhluk air ini selalu ditangkap untuk dikonsumsi. Tuna menjadi salah satu lauk yang bergizi di daerah pelosok, apalagi yang tinggal di kawasan pegunungan yang jauh dari pesisir pantai.

Setiap bulan Juni, Juli dan Agustus ada tradisi Wonok di Kampung Wajur, Kolang, Manggarai Barat. Wonok adalah tradisi mencari dan menangkap binatang di kali dengan tetap memperhatikan keberlangsungan hidup hewan yang lain. Setiap warga yang pergi Wonok harus menangkap secukupnya saja. Disebut wonok karena menangkap hewan di air dengan menggunakan tangan.

Baca Juga : Pesan Ibu
Baca Juga : Penyakit Era Digital Menurut Jürgen Habermas

Wonok bisa diartikan menangkap binatang melata di dalam lubang batu di sungai dengan tangan. Dalam tradisi wonok ini, sebagaimana warisan leluhur, warga tidak boleh menangkap belut atau tuna di sumber mata air. Jikalau ada yang menangkap tuna atau belut di sumber mata air maka perlahan-lahan mata air itu akan mati. Bahkan, bagi warga yang tidak mengindahkan larangan itu akan mendapatkan malapetaka, baik bagi dirinya maupun anggota keluarganya.

Ketika pergi wonok, orang tua selalu memberikan pesan bahwa tidak boleh menangkap binatang jelata yang masih kecil di kali atau sungai. Jika tak terduga ditangkap, maka harus dilepas lagi. Alasannya sederhana bahwa tahun depan dilakukan wonok lagi. Tradisi wonok hanya sekali dalam setahun. Dalam tradisi wonok, ada beberapa hewan tertentu yang ditangkap antara lain katak, udang, ikan dan tuna yang besar.

Banyak kisah lisan yang dikisahkan orang tua di seluruh Manggarai Raya tentang tuna atau belut sebagai penjaga mata air. Hanya jarang orang menarasikannya. Ketika masih kecil, orangtua dan anggota masyarakat menceritakan bahwa saat siang hari dilarang pergi di mata air karena ada penunggu yang sedang mandi saat itu.

Baca juga :  Merayakan Hari Kasih Sayang

Setelah memahami dengan berbagai referensi yang dibaca dan dengan pelbagai analisa ternyata ada unsur kebenaran atas larangan dari orang tua tersebut. Sesungguhnya, tuna biasa muncul pada pagi dan siang hari. Tuna atau belut bisa keluar dari lubang atau tempat persembunyian saat sepi, teduh dan tenang.

Baca Juga : Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo
Baca Juga : Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa

Di wilayah Kolang, Manggarai Barat ada kolam di aliran sungai Wae Impor yang dijaga oleh tuna pendek. Warga yang berada dekat dengan bantaran sungai Wae Impor ini memiliki beragam kisah tentang tuna mistis yang dikenal dengan nama Tisu Peka. Tuna tersebut dilarang untuk ditangkap. Apabila menangkap belut atau tuna di sumber mata air maka terjadi malapetaka, sakit bahkan kematian.

Selain itu, di wilayah Kecamatan Kota Komba Utara, tepatnya di kampung Pejek, Desa Golo Nderu, ada tuna mistis yang menjaga mata air bahkan menjaga persawahan.

Satu hamparan di lokasi persawahan yang memiliki aliran airnya terdapat tuna. Tuna tersebut tidak boleh ditangkap. Bahkan untuk dapat melihat tuna itu harus dengan ritual adat seperti membawa telur atau anak ayam kecil. Jikalau tidak dilakukan ritual adat maka saat kita ingin melihatnya tuna atau belut itu tidak keluar dari tempat persembunyiannya.

Frumensius Fredrik Anam, dikenal dengan panggilan Mensi Anam dari Komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO) Manggarai Timur menceritakan ekspedisinya, pada 17 dan 18 Juni 2021 di Kecamatan Lamba Leda Utara. Dia bercerita tentang kekayaan hayati di Tiwu Waso. Nama kolam ini terdapat di sungai Wae Laing Kampung Wae Tua, Desa Golo Mangung, Kec. Lamba Leda Utara, Kab. Manggarai Timur.

Baca juga :  Lingko dalam Festival Golo Koe  

Dulu, Tiwu Waso menjadi tempat mandi bagi anak-anak. Kolam Tiwu Waso sangat dalam dan luas. Beberapa titik terkesan angker. Di sekitar sungai terdapat pepohonan yang tinggi menjulang, rindang dan akarnya masuk ke dalam kolam. Persis di sisi timur bagian dasar kolam ada mata air yang besar.

Baca Juga : Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa
Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel

Dalam radius 200 meter ke utara dan ke selatan dari Tiwu Waso ada kurang lebih ada 7 mata air. Itulah sebabnya kampung itu dinamakan Wae Tua (Wae: air. Tua: muncul). Tujuh mata air ini menjadi sumber utama pengairan sawah Dampek selain beberapa sumber mata air lain sepanjang sungai.

Tiwu Waso juga menjadi pusat ikan air tawar, belut, udang, dan lain-lainnya. Tapi kini, Tiwu Waso sudah tidak dalam lagi. Belut dan udang berkurang. Kesan angker juga hampir tiada. Tentu karena debit mata airnya berkurang dan makin kecil.

Menurut kesaksian Mensi Anam, dia melihat tuna atau belut bertubuh pendek, warna keemasan di tubuh berada di sumber mata air. Dalam bahasa Manggarai disebut tuna rae, belut berwarna merah. Sepanjang hidupnya, baru pertama kali melihat belut atau tuna penjaga mata air di sekitar Tiwu (kolam) Waso.

“Saya sering mendengar kisah keangkeran di sekitar mata air tersebut. Orang Lamba Leda Utara bilang “sengit” bahkan mendengar cerita tuna atau belut bertubuh pendek yang menjaga mata air tersebut. Saya berani mendekat di sekitar mata air ini karena ada warga yang sedang menyelam menangkap belut di Tiwu Waso yang agak jauh dari mata air tersebut. Bulu kuduk saya merinding saat melihat belut atau tuna di mata air yang selalu diceritakan warga kampung,” demikian cerita Mensi Anam

Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?
Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati

Anggota Komunitas CIKO, Leonardus Santosa menjelaskan tuna atau belut bagi orang Manggarai Raya memiliki peran menjaga mata air. Tuna atau belut yang ditangkap hanya berada di daerah aliran sungai (DAS). Tuna atau belut bisa membuat sejumlah mata air dalam satu sumber mata air.

Baca juga :  Otensitas Kebudayaan Kita Semakin Rapuh?

“Ini warisan ekologis dari kearifan lokal dari budaya Manggarai Raya. Manusia Manggarai Raya sangat bersahabat, bersaudara dengan alam semesta dan makhluk jelata lainnya. Segala ritual adat orang Manggarai Raya selalu berhubungan dengan Sang Pencipta, alam semesta dan manusia. Ini kesatuan yang tak terpisahkan,” jelasnya.

Ambrosius Adir, wartawan Ekorantt di Manggarai Timur mengisahkan orang Manggarai Raya sangat kaya dengan kearifan lokal untuk menjaga keutuhan alam ciptaan.

“Sewaktu kecil di Kampung di Kota Komba, saya sudah diberi norma-norma untuk mengikuti apa yang disampaikan orangtua untuk tidak menebang, mengambil kayu atau bambu kecil (bambu aur, gurung) di sekitar mata air karena ada penunggu yang menjaga mata air. Ada banyak sugesti-sugesti dari alam yang harus ditaati orang manusia di zaman itu. Namun, sugesti itu perlahan-lahan tidak ditaati lagi karena perkembangan pengetahuan yang dimiliki manusia,” jelasnya.

Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri
Baca Juga : Pelangi di Mataku

Ambrosius mengharapkan kearifan lokal itu harus dibangkitkan lagi di kampung-kampung demi menjaga keberlangsungan dan keberlanjutan mata air dan alam semesta serta makhluk lainnya yang hidup berdampingan dengan manusia. Di Kabupaten Manggarai Timur sudah ada peraturan daerah tentang perlindungan mata air. Peraturan daerah ini seharusnya diimplementasikan di seluruh desa dan kampung di Manggarai Timur demi keutuhan sumber mata air.

“Ada pengalaman yang terjadi di kampung beberapa tahun yang lalu saat seorang warga kampung mengambil bambu aur dan kayu di sekitar sumber mata air yang sudah dilarang. Saat pulang warga itu sakit. Sejak saat itu, warga takut mengambil kayu dan bambu aur di sekitar mata air tersebut. Buktinya mata air masih utuh sebagai sumber air minum bersih serta mengalir ke persawahan,” kisahnya.

Komentar

Berita Terkait

Memaknai Lagu “Anak Diong” dalam Konteks Budaya Manggarai
Lingko dalam Festival Golo Koe  
Cear Cumpe, Ritus Pemberian Nama dalam Kebudayaan Manggarai, NTT
Konsep Bambu dalam Budaya Manggarai
Merayakan Hari Kasih Sayang
Aku Caci, Maka Aku Ada
Cerita Tuna Merah di Sumber Mata Air
Otensitas Kebudayaan Kita Semakin Rapuh?
Berita ini 680 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA