Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama

- Admin

Sabtu, 7 Oktober 2023 - 18:23 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com-Dewasa ini, diskursus keberagaman agama dan keyakinan tak terlepas dari peran generasi milenial. Generasi yang terdiri dari angkatan kelahiran tahun 1980-2000 ini, memiliki andil penting karena jumlah serta karakteristiknya. 

Dalam buku Generasi Langgas, dijabarkan demikian: “Tahun 2015, jumlah milenial di Indonesia adalah 84 juta orang menurut Bappenas, sementara jumlah penduduk mencapai 255 juta penduduk. Berarti, 33% dari penduduk Indonesia adalah milenial” (Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab, 2017:4). Tentunya bonus demografi yang terus bertambah ini dapat meningkatkan produktivitas serta kualitas hidup berbangsa dan bernegara.

Selain dalam hal jumlah, milenial juga unggul dalam karakteristik generasinya. Kekhasan angkatan ini adalah kecakapan dalam menggunakan teknologi digital. 

Kompas dalam Tajuk Rencana berjudul Generasi Muda Menjaga Bangsa (28/10/17: 6), mengafirmasi pula keistimewaan ini: “Generasi milenial memiliki cara berpikir dan cara menemukan solusi yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Kemajuan teknologi memungkinkan mereka bekerja lebih logis dan terukur, di antaranya dalam memberikan pengaruh signifikan dalam berbagai bidang kehidupan.”

Inilah prospek besar bagi kemajuan Indonesia teristimewa dalam menggemakan kemajemukan, sebab milenial amat terampil mengeksplorasi teknologi digital yang akan membuka ruang internalisasi nilai-nilai pluralisme.

Kedua aspek di atas, yakni: jumlah dan karakteristik, mengungkapkan peranan kaum milenial yang sangat potensial demi kebaikan tanah air. Khususnya dalam usaha melestarikan warisan kemajemukan di Bumi Pertiwi.

Literasi Digital: Penangkal Hoaks

Realita aktual menunjukkan permasalahan yang merusak keberagaman tak semata pada dunia real saja, tetapi juga merambah dalam dunia virtual. Banyak hoaks, ujaran kebencian dan disinformasi perihal SARA yang tersebar dalam internet demi mengadu domba masyarakat. Problem ini tentu menjadi “virus” yang merusak jalinan persaudaraan.

Baca juga :  Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang

Rosarita Niken Widiastuti, Sekjen Kementerian Kominfo RI mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini 143 juta jiwa atau 54,68 % (Utusan, No. 04 Thn. Ke-69, April 2019: 8). Jika separuh dari masyarakat Indonesia ini mudah terpapar ketiga “virus” tersebut, maka akan timbul perpecahan yang meluas dan kompleks.

Oleh sebab itu, para milenial harus berpartisipasi aktif dalam mengentas virus hoax, hate speech dan disinformation yang marak terjadi. Partisipasi ini mensyaratkan sikap kritis, bijak dan bertanggung jawab dalam berinternet dan bermedia sosial.

Alhasil kaum milenial sanggup membendung hoaks, bukannya turut terseret arus virus ini. Dengan demikian, para milenial mampu menangkal fenomena hoaks demi menjaga persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia pada era digital.

Partisipasi ini akan semakin efektif bila generasi milenial aktif menggalakkan spirit literasi digital. Benedictus Juliawan, SJ mengatakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan memilah, menakar dan menggunakan informasi yang berseliweran di media digital (Rohani, No. 10, Thn. Ke-65, Oktober 2014:5). Jadi, literasi digital menjadi penangkal ampuh virus hoaks dan segudang kroninya.

Kemampuan ini membuat seseorang selalu menyeleksi setiap informasi, agar tak mudah disesatkan oleh kabar bohong. Tak hanya kemampuan bersikap selektif, spirit ini mendukung milenial dalam mengeksplorasi kecanggihan teknologi digital demi mengabarkan pesan-pesan keberagaman.

Kaum milenial harus merealisasikan literasi digital sebagai habitus masyarakat dalam menghidupkan spirit keberagaman agama dan keyakinan. Habitus ini juga mampu membangun kesadaran pribadi untuk senantiasa ber-internet secara cermat dan cerdas. Konkretnya, setiap orang terbiasa untuk lebih dulu ‘saring’ sebelum ‘sharing’ segala berita dari media online atau pesan yang beredar dalam dunia maya.

Dengan demikian, literasi digital menjauhkan ancaman hoaks yang sarat rasisme dan radikalisme. Sebaliknya, mendekatkan kelompok masyarakat pada komunikasi intens yang harmonis dan humanis.

Baca juga :  Kisah Kepala Sekolah di Wilayah 3T: Merawat Alam Bersama Anak Sekolah

Tiga Langkah Strategi

Milenial mesti memprioritaskan tiga langkah strategis demi menegakkan pilar keberagaman di era digital. Pertama, membentuk diri sebagai pionir literasi digital yang berintegritas. Upaya ini melahirkan kesadaran bahwasanya integritas kepribadian merupakan landasan utama. Integritas diri akan menunjang pribadi yang matang, sehingga penuh kebajikan moral-etis dalam eksistensinya di jagat virtual.               

Langkah awal ini menciptakan milenial yang berkarakter luhur dan berwawasan holistik sebagai pionir literasi digital. Karakter yang luhur akan membentengi diri milenial dari gencaran hoaks yang masif.

Wawasan yang luas memampukan milenial dalam memilah yang negatif dan memilih hanya yang positif di media sosial. Pionir literasi digital yang handal perlu menyeimbangkan perputaran dua roda ini secara konstan dan konsisten.

Kedua, menggagas komunitas kaum muda yang bervisi dan bermisi keberagaman. Setelah menjadi pionir yang bermutu dalam karakter dan wawasan, perlu dilanjutkan dengan langkah kolektif. Komunitas lintas agama dan budaya menjadi medium diskusi dan aksi bersama  dalam melawan serangan hoaks.

Melalui langkah ini, agenda literasi digital demi demi pembebasan dari fundamentalisme dan ekstrimisme dapat disebarluaskan lewat jejaring sosial yang luas. Sebab kolaborasi dan kerja sama antar komunitas turut bersumbangsi menyalakan api toleransi dan solidaritas.

KOMPAK (Komunitas Peace Maker Kupang) adalah salah satu contoh konkret dari langkah ini.  KOMPAK merupakan kelompok kaum muda lintas agama. Komunitas yang dirintis pada 17 April 2012 ini berbasis di Kota Kupang, NTT.

Selama ini KOMPAK penuh totalitas menyuarakan semangat keberagaman. Dedikasi KOMPAK nyata dalam banyak karya, diantaranya: edukasi pluralisme, dialog lintas batas, serta mengadakan kompetisi seni, budaya, literasi, dan kampanye media sosial bertemakan keberagaman. Di samping itu, KOMPAK proaktif berkolaborasi dengan komunitas lain dan instansi publik sehingga keadilan dan kedamaian sungguh menjangkau setiap lapisan masyarakat.

Baca juga :  Menjaga Warisan Nenek Moyang dengan Cara Kekinian

Ketiga, mengunggah konten positif demi menangkal hoaks. Langkah praktis ini selaras dengan karakteristik milenial. Milenial yang notabene melek digital diharapkan lebih proaktif dalam memproduksi konten-konten positif bermuatan spirit keberagaman. Daripada terprovokasi karena konten yang diskriminatif, sebaiknya milenial giat menghasilkan konten positif demi menetralisir “racun” tersebut. 

Selain mengunggah di akun pribadi, konten keberagaman juga bisa berkolaborasi dengan akun lembaga atau komunitas yang menyuarakan isu ini. Model kolaborasi ini bisa dilihat pada Instagram @kabarsejuk dan @yifos.indonesia. Keduanya menjadi contoh gerakan kampanye keberagaman di media sosial.    

Adapun tujuan dari konten-konten positif ini adalah untuk menampilkan wajah keberagaman dengan cara yang unik dan menarik. Sebab tampilan visual amat berpengaruh pada era serba digital ini.

Visualisasi konten positif yang kreatif turut menumbuhkan kesadaran dan kecintaan pada hidup keberagaman. Milenial yang meminati bidang desain visual patut merealisasikan langkah strategis ini. Adapun konten tersebut dapat mengambil inspirasi dari kebhinekaan, Pancasila, maupun kebajikan-kebajikan dalam ajaran agama dan kearifan lokal.

Sudah saatnya para milenial terlibat nyata dalam mengembangkan habitus literasi digital di tengah masyarakat. Melalui ketiga langkah strategis di atas literasi digital akan semakin membumi di penjuru Nusantara.

Oleh karena itu, milenial harus hadir sebagai promotor yang tekun menggerakkan literasi digital demi terciptanya spirit keberagaman agama dan keyakinan.

Kiranya intensi ini menjadi atensi bersama, agar spirit keberagaman yang sejati tidak sebatas wacana teks semata, tetapi juga terwujud nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.

Komentar

Berita Terkait

Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT
Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Namanya Yohana. Yohana Kusmaning Arum
Perpustakaan Desa Kabuna, Kabupaten Belu Menyabet Juara 5 Tingkat Nasional
Berita ini 95 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA