Media dan Ilusi Netralitas

- Admin

Kamis, 4 Agustus 2022 - 21:30 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Dalam “Publik Opinion” (1922), Walter Lippman pernah melukiskan gambaran tentang “the world outside and the pictures in our head”. Ia menulis, “Sebagian besar apa yang kita pikirkan dan ketahui tentang dunia luar – cuplikan, gambaran, dan pikiran yang menjadi gambaran di kepala kita – ditempatkan di sana oleh berita media”. Singkatnya, gambaran di kepala kita tentang peristiwa atau kejadian sebagian besar merupakan hasil konstruksi media yang kita konsumsi setiap hari.
Menulis pada awal abad ke-20, Lippmann berbicara secara khusus tentang efek media cetak terhadap pembentukan gambaran-gambaran dalam kepala kita tentang dunia. Secara geometris, apa yang saat itu dianggap benar, lebih benar lagi saat ini ketika proliferasi media tak terbendung lagi.


Media saat ini tidak lagi terbatas pada media cetak, radio, televisi, tetapi juga muncul media baru berbasis Internet atau yang sering juga disebut World Wide Web. Dengan adanya media-media ini, kita memiliki lebih banyak referensi untuk pembentukan gambaran tentang realitas di kepala kita (Willis, 2007).
Pernyataan Lippman di atas merupakan dasar perumusan teori penetapan agenda (agenda setting) media. Mantra terkenal dari teori agenda setting media itu kemudian dirumuskan oleh Bernard C. Cohen (1963): “The mass media may not successful in telling us what to think, but they are stunningly succesful in telling us what to think about” (Media massa mungkin tidak berhasil mengatakan kepada kita apa yang harus dipikirkan, tetapi media massa sangat berhasil mengatakan kepada kita hal-hal apa saja yang harus kita pikirkan).
Mantra agenda setting media di atas secara implisit mengatakan kepada kita bahwa media tidak pernah netral. Harapan akan netralitas media merupakan ilusi. Media selalu mempunyai agenda tersendiri. Agenda media menjadi pijakan dalam merumuskan pengutamaan (priming) dan pembingkaian (framing) isu. Penetapan agenda media selalu terikat pada kepentingan media.

Baca juga :  Strategi Kampanye Capres Menuju Pemilu 2024


Dalam perspektif teori sistem, kepentingan media merupakan media itu sendiri sebagai sebuah sistem. Dengan kepentingan itulah media menyeleksi informasi, ucapan, dan pengertian, kemudian mengonstruksinya menjadi sebuah berita atau realitas yang disajikan kepada publik.


Dengan demikian, realitas yang dikonsumsi publik dari pemberitaan media sudah merupakan realitas kedua hasil konstruksi media. Celakanya, media susah memulihkan persepsi yang sudah terlanjur terbentuk di kepala publik dari apa yang disajikan media itu sendiri. Di sisi lain, publik juga mudah tergiring oleh pemberitaan media.
Penjelasan di atas mengingatkan kita bahwa dalam perspektif media massa tidak ada realitas “an sich “atau “as it is” atau realitas murni (apa adanya). Yang kita baca, lihat, dan saksikan atau nonton di media sudah merupakan realitas yang sudah dimanipulasi. Nah, bagaimana proses pembentukan realitas itu menarik untuk dikaji lebih jauh. Itulah yang menjadi fokus kajian selanjutnya.


Sebelum melangkah lebih jauh, pertama-tama penulis mengajak pembaca untuk berpikir dari sudut pandang sistem, khususnya sistem autopoietik Niklas Luhmann. Dalam perspektif Luhmann, media massa merupakan sistem autopoietik. Sebagai sistem autopoietik, media massa memiliki karakteristik: self reproduction, self organizing, self referential, dan reclusive (tertutup). Karakteristik ini dapat menjadi kerangka acuan bagi kita dalam memahami proses konstruksi realitas oleh media massa.
Dengan mengacu pada karakteristik sistem autopoietik di atas, media pertama-tama menerima informasi dari luar. Informasi itu kemudian diproses dan diorganisasi secara internal. Dalam pemrosesan dan pengorganisasian itu, ada seleksi informasi dan negosiasi konflik opini di tingkat internal media sebelum suatu produk disajikan kepada khalayak.
Namun pada akhirnya, penilaian media merujuk pada dirinya sendiri (self referential). Media bekerja menurut logikanya sendiri. Ada standar-standar baku dalam setiap media yang sudah ditetapkan sebelumnya. Standar-standar itu sudah tersimpan dalam memori sistem media.

Baca juga :  Uskup Mesti Mengendus Kasus Perampasan Tanah di Labuan Bajo


Proses di atas dapat menjelaskan alasan di balik perbedaan isi setiap media. Suatu isu atau kejadian yang sama, misalnya, diberitakan secara berbeda oleh media yang berbeda. Ada karakteristik tersendiri dari setiap media dalam pemberitaan. Proses ini sebenarnya sudah cukup menjelaskan bahwa tidak mungkin suatu media berdiri sebagai media yang netral.
Selalu ada tarik-menarik kepentingan di tingkat internal media. Tarik menarik kepentingan itu sebenarnya tidak terkait tarik-menarik kepentingan para aktor (pekerja) media, melainkan tarik-menarik kepentingan media itu sendiri sebagai sebuah sistem.


Setiap media memiliki keragaman kepentingan. Ada kepentingan ekonomi dan bisnis; ada kepentingan politik; dan ada kepentingan idealisme media. Masing-masing kepentingan itu mempunyai kode tersendiri. Kepentingan ekonomi, misalnya, bekerja dengan logika menguntungkan dan tidak menguntungkan. Jika tidak bisa dinegosiasi secara baik, tubrukan antara kepentingan-kepentingan itu bisa membuat media itu collapse (runtuh).

Baca juga :  Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024


Kendati tidak mungkin bekerja secara sepenuhnya netral, media tetap terikat pada tanggung jawab publik untuk menyampaikan kebenaran. “Media tidak boleh berbohong”. Apa yang menjadi tanggung jawab publik itu seharusnya sudah terekam dalam memori media. Dengan demikian, dalam setiap negosiasi opini di tingkat internal media, pertimbangan mengenai tanggung jawab publik media harus tetap diprioritaskan.
Ini kelihatannya sangat paradoks dengan penjelasan sebelumnya. Sebelumnya dijelaskan bahwa realitas yang disajikan media kepada khalayak merupakan realitas hasil manipulasi dan distorsi. Lalu, tiba-tiba sekarang media dituntut untuk menyampaikan kebenaran kepada khalayak sebagai bentuk tanggung jawab publiknya.


Untuk tidak terjebak dalam pemahaman yang salah, baiklah dipahami bahwa media memang memiliki kemampuan untuk memanipulasi realitas, tetapi bukan memanipulasi fakta. Harus dibedakan antara fakta dan realitas. Fakta atau evidensi merupakan fenomena sebagaimana adanya; sedangkan realitas merupakan fakta yang diberi nilai. Media mungkin dapat memanipulasi realitas, tetapi ia dituntut untuk tidak berbohong dalam arti memanipulasi fakta.


Proses konstruksi realitas oleh setiap media bergantung pada preferensi nilai media itu sendiri. Setiap media mempunyai preferensi nilai yang berbeda. Itulah yang memengaruhinya dalam mengonstruksi realitas. Kendati demikian, media tetap dituntut untuk menyajikan kebenaran faktual dari suatu fenomena. Mengabaikan tuntutan ini berarti mengabaikan tanggung jawab publik media. Ini bisa berakibat fatal karena media bisa kehilangan kredibilitas dan popularitasnya.

Komentar

Penulis : Ferdinandus Jehalut

Berita Terkait

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Berita ini 66 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA