Tag: Milenial

  • Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama

    Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama

    Indodian.com-Dewasa ini, diskursus keberagaman agama dan keyakinan tak terlepas dari peran generasi milenial. Generasi yang terdiri dari angkatan kelahiran tahun 1980-2000 ini, memiliki andil penting karena jumlah serta karakteristiknya. 

    Dalam buku Generasi Langgas, dijabarkan demikian: “Tahun 2015, jumlah milenial di Indonesia adalah 84 juta orang menurut Bappenas, sementara jumlah penduduk mencapai 255 juta penduduk. Berarti, 33% dari penduduk Indonesia adalah milenial” (Yoris Sebastian, Dilla Amran dan Youth Lab, 2017:4). Tentunya bonus demografi yang terus bertambah ini dapat meningkatkan produktivitas serta kualitas hidup berbangsa dan bernegara.

    Selain dalam hal jumlah, milenial juga unggul dalam karakteristik generasinya. Kekhasan angkatan ini adalah kecakapan dalam menggunakan teknologi digital. 

    Kompas dalam Tajuk Rencana berjudul Generasi Muda Menjaga Bangsa (28/10/17: 6), mengafirmasi pula keistimewaan ini: “Generasi milenial memiliki cara berpikir dan cara menemukan solusi yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Kemajuan teknologi memungkinkan mereka bekerja lebih logis dan terukur, di antaranya dalam memberikan pengaruh signifikan dalam berbagai bidang kehidupan.”

    Inilah prospek besar bagi kemajuan Indonesia teristimewa dalam menggemakan kemajemukan, sebab milenial amat terampil mengeksplorasi teknologi digital yang akan membuka ruang internalisasi nilai-nilai pluralisme.

    Kedua aspek di atas, yakni: jumlah dan karakteristik, mengungkapkan peranan kaum milenial yang sangat potensial demi kebaikan tanah air. Khususnya dalam usaha melestarikan warisan kemajemukan di Bumi Pertiwi.

    Literasi Digital: Penangkal Hoaks

    Realita aktual menunjukkan permasalahan yang merusak keberagaman tak semata pada dunia real saja, tetapi juga merambah dalam dunia virtual. Banyak hoaks, ujaran kebencian dan disinformasi perihal SARA yang tersebar dalam internet demi mengadu domba masyarakat. Problem ini tentu menjadi “virus” yang merusak jalinan persaudaraan.

    Rosarita Niken Widiastuti, Sekjen Kementerian Kominfo RI mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini 143 juta jiwa atau 54,68 % (Utusan, No. 04 Thn. Ke-69, April 2019: 8). Jika separuh dari masyarakat Indonesia ini mudah terpapar ketiga “virus” tersebut, maka akan timbul perpecahan yang meluas dan kompleks.

    Oleh sebab itu, para milenial harus berpartisipasi aktif dalam mengentas virus hoax, hate speech dan disinformation yang marak terjadi. Partisipasi ini mensyaratkan sikap kritis, bijak dan bertanggung jawab dalam berinternet dan bermedia sosial.

    Alhasil kaum milenial sanggup membendung hoaks, bukannya turut terseret arus virus ini. Dengan demikian, para milenial mampu menangkal fenomena hoaks demi menjaga persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia pada era digital.

    Partisipasi ini akan semakin efektif bila generasi milenial aktif menggalakkan spirit literasi digital. Benedictus Juliawan, SJ mengatakan bahwa literasi digital merupakan kemampuan memilah, menakar dan menggunakan informasi yang berseliweran di media digital (Rohani, No. 10, Thn. Ke-65, Oktober 2014:5). Jadi, literasi digital menjadi penangkal ampuh virus hoaks dan segudang kroninya.

    Kemampuan ini membuat seseorang selalu menyeleksi setiap informasi, agar tak mudah disesatkan oleh kabar bohong. Tak hanya kemampuan bersikap selektif, spirit ini mendukung milenial dalam mengeksplorasi kecanggihan teknologi digital demi mengabarkan pesan-pesan keberagaman.

    Kaum milenial harus merealisasikan literasi digital sebagai habitus masyarakat dalam menghidupkan spirit keberagaman agama dan keyakinan. Habitus ini juga mampu membangun kesadaran pribadi untuk senantiasa ber-internet secara cermat dan cerdas. Konkretnya, setiap orang terbiasa untuk lebih dulu ‘saring’ sebelum ‘sharing’ segala berita dari media online atau pesan yang beredar dalam dunia maya.

    Dengan demikian, literasi digital menjauhkan ancaman hoaks yang sarat rasisme dan radikalisme. Sebaliknya, mendekatkan kelompok masyarakat pada komunikasi intens yang harmonis dan humanis.

    Tiga Langkah Strategi

    Milenial mesti memprioritaskan tiga langkah strategis demi menegakkan pilar keberagaman di era digital. Pertama, membentuk diri sebagai pionir literasi digital yang berintegritas. Upaya ini melahirkan kesadaran bahwasanya integritas kepribadian merupakan landasan utama. Integritas diri akan menunjang pribadi yang matang, sehingga penuh kebajikan moral-etis dalam eksistensinya di jagat virtual.               

    Langkah awal ini menciptakan milenial yang berkarakter luhur dan berwawasan holistik sebagai pionir literasi digital. Karakter yang luhur akan membentengi diri milenial dari gencaran hoaks yang masif.

    Wawasan yang luas memampukan milenial dalam memilah yang negatif dan memilih hanya yang positif di media sosial. Pionir literasi digital yang handal perlu menyeimbangkan perputaran dua roda ini secara konstan dan konsisten.

    Kedua, menggagas komunitas kaum muda yang bervisi dan bermisi keberagaman. Setelah menjadi pionir yang bermutu dalam karakter dan wawasan, perlu dilanjutkan dengan langkah kolektif. Komunitas lintas agama dan budaya menjadi medium diskusi dan aksi bersama  dalam melawan serangan hoaks.

    Melalui langkah ini, agenda literasi digital demi demi pembebasan dari fundamentalisme dan ekstrimisme dapat disebarluaskan lewat jejaring sosial yang luas. Sebab kolaborasi dan kerja sama antar komunitas turut bersumbangsi menyalakan api toleransi dan solidaritas.

    KOMPAK (Komunitas Peace Maker Kupang) adalah salah satu contoh konkret dari langkah ini.  KOMPAK merupakan kelompok kaum muda lintas agama. Komunitas yang dirintis pada 17 April 2012 ini berbasis di Kota Kupang, NTT.

    Selama ini KOMPAK penuh totalitas menyuarakan semangat keberagaman. Dedikasi KOMPAK nyata dalam banyak karya, diantaranya: edukasi pluralisme, dialog lintas batas, serta mengadakan kompetisi seni, budaya, literasi, dan kampanye media sosial bertemakan keberagaman. Di samping itu, KOMPAK proaktif berkolaborasi dengan komunitas lain dan instansi publik sehingga keadilan dan kedamaian sungguh menjangkau setiap lapisan masyarakat.

    Ketiga, mengunggah konten positif demi menangkal hoaks. Langkah praktis ini selaras dengan karakteristik milenial. Milenial yang notabene melek digital diharapkan lebih proaktif dalam memproduksi konten-konten positif bermuatan spirit keberagaman. Daripada terprovokasi karena konten yang diskriminatif, sebaiknya milenial giat menghasilkan konten positif demi menetralisir “racun” tersebut. 

    Selain mengunggah di akun pribadi, konten keberagaman juga bisa berkolaborasi dengan akun lembaga atau komunitas yang menyuarakan isu ini. Model kolaborasi ini bisa dilihat pada Instagram @kabarsejuk dan @yifos.indonesia. Keduanya menjadi contoh gerakan kampanye keberagaman di media sosial.    

    Adapun tujuan dari konten-konten positif ini adalah untuk menampilkan wajah keberagaman dengan cara yang unik dan menarik. Sebab tampilan visual amat berpengaruh pada era serba digital ini.

    Visualisasi konten positif yang kreatif turut menumbuhkan kesadaran dan kecintaan pada hidup keberagaman. Milenial yang meminati bidang desain visual patut merealisasikan langkah strategis ini. Adapun konten tersebut dapat mengambil inspirasi dari kebhinekaan, Pancasila, maupun kebajikan-kebajikan dalam ajaran agama dan kearifan lokal.

    Sudah saatnya para milenial terlibat nyata dalam mengembangkan habitus literasi digital di tengah masyarakat. Melalui ketiga langkah strategis di atas literasi digital akan semakin membumi di penjuru Nusantara.

    Oleh karena itu, milenial harus hadir sebagai promotor yang tekun menggerakkan literasi digital demi terciptanya spirit keberagaman agama dan keyakinan.

    Kiranya intensi ini menjadi atensi bersama, agar spirit keberagaman yang sejati tidak sebatas wacana teks semata, tetapi juga terwujud nyata dalam kehidupan kita sehari-hari.

  • Milenial dan Pendidikan Vokasi

    Milenial dan Pendidikan Vokasi

    Penulis : Rio Nanto

    Indodian.com – Perbincangan mengenai generasi milenial cukup ramai dalam ruang publik sejak beberapa tahun belakangan. Tentunya perbincangan itu beralasan mengingat pada tahun 2045, ketika Indonesia merayakan 100 tahun kemerdekaan, generasi milenial menjadi kekuatan besar di Indonesia karena tengah mengalami era baru yang lebih dikenal dengan bonus demografi.

    Berdasarkan hasil laporan UN Population Prospect 2010-2085, pada tahun 2045 terdapat 9,45 miliar penduduk dunia. Indonesia menempati posisi kelima dengan proyeksi 319 juta penduduk, dengan 47 persen usia produktif dan secara keseluruhan 70 persen kelas menengah (Kompas, 24 April 2021).Pada tahun-tahun ini, usia produktif penduduk Indonesia salah satu yang terbesar di dunia dan terbesar di ASEAN.

    Baca Juga : Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat
    Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja

    Bonus demografi terjadi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang tandai dengan menurunnya rasio perbandingan antara jumlah penduduk nonproduktif (usia kurang dari 15 tahun dan 65 tahun ke atas) terhadap jumlah penduduk produktif (usia 15-64 tahun) atau yang disebut sebagai rasio ketergantungan.

    Bonus demografi ini memberikan peluang dan tantangan besar bagi negara besar seperti Indonesia. Kehadiran generasi milenial turut menciptakan percepatan pembangunan, digitalisasi pelayanan, pengembangan ekonomi kreatif berbasis digital dan lahirnya generasi yang produktif dan berdaya saing global.   

    Akan tetapi sebaliknya, kealpaan kreativitas, keterbatasan lapangan kerja dan ketiadaan sumber daya yang mumpuni dalam diri generasi milenial memberi beban yang besar bagi Indonesia. Salah satu tantangan cukup besar yang akan dialami oleh generasi milenial ialah pengangguran yang disebabkan oleh ketimpangan jumlah angkatan kerja dengan lapangan pekerjaan.  

    Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
    Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita

    Sehubungan dengan ketenagakerjaan ini, Data Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional, Agustus 2020 menunjukkan tingkat pengangguran umur muda di Indonesia sebesar 20,46 persen. Ini dapat diartikan bahwa dari 100 penduduk usia 15-24 tahun yang termasuk angkatan kerja, terdapat sekitar 20 orang yang mengganggur (Kompas, 30 Maret 2021).Jumlah penganggur muda terhadap total keseluruhan penganggur di Indonesia adalah 44,85 persen. Data ini mengindikasikan bahwa setengah dari seluruh penganggur di Indonsia berasal dari kelompok umur muda.  

    Pengangguran ini sekurang-kurangnya terjadi karena dua faktor. Pertama, adanya kesenjangan yang tinggi antara sisi penawaran dan permintaan lapangan kerja. Ketersediaan tenaga tidak terserap di pasar kerja karena keterbatasan lapangan pekerjaan. Jumlah generasi milenial yang kian membeludak tidak dibarengi dengan jumlah lapangan kerja berpeluang memberikan karpet merah pengangguran usia muda Indonesia.

    Meningkatnya pengangguran usia muda di Indonesia saat ini memberikan dampak negatif terhadap perkembangan ekonomi negara. Hal ini juga mempengaruhi proyeksi peningkatan ekonomi Indonesia di tahun 2045. Dan sebagai konsekuensinya, kelompok penduduk usia muda terancam masuk dalam “perangkap kemiskinan”.

    Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi
    Baca Juga : Merawat Simpul Empati

    Kedua, meningkatnya pengangguran terdidik di tengah meningkatnya capaian pendidikan tenaga kerja. Tingginya angka pengangguran usia muda di Indonesia terjadi karena capaian pendidikan yang meningkat pada sebagian angkatan kerja baru di Indonesia di satu sisi ternyata tidak berkorelasi positif terhadap daya serap mereka di pasar kerja. Salah satu penyebabnya karena angkatan kerja baru dengan lulusan pendidikan yang lebih baik dari sebelumnya belum siap untuk langsung bekerja akibat sistem pendidikan yang kurang diarahkan pada pemenuhan link and match dengan kebutuhan pasar kerja.

    Pendidikan Vokasi  

    Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengurangi tingkat pengangguran yaitu dengan pengembangan pendidikan vokasi. Adapun tujuannya untuk mendorong angkatan kerja agar memiliki kompetensi yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan usaha/ perusahaan. Dengan kompetensi yang dimiliki, diharapkan akan tercipta angkatan kerja yang berdaya saing tinggi dan mampu menembus pasar kerja setempat. 

    Vokasi sebagai pendidikan yang menitikberatkan pada penguasaan keahlian atau keterampilan tertentu menjadi pemegang peran kunci dalam membekali anak bangsa kita untuk bisa bersaing secara global di masa depan. Beberapa prinsip dasar program dalam pendidikan vokasi menurut Miller (1985), antara lain pertama, kurikulum pendidikan vokasi merupakan turunan/derivasi dari kebutuhan dalam dunia kerja. Kedua, jenis pekerja merupakan basis/dasar pengembangan kurikulum pendidikan vokasi. Ketiga, inovasi merupakan bagian dari pendidikan vokasi. Keempat,  melalui pendidikan vokasi, generasi muda dipersiapkan untuk awal memasuki dunia kerja.  

    Pendidikan vokasi mempersiapkan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja setelah menyelesaikan pendidikannya. Hal ini berarti, dalam penyelenggaraan pendidikan vokasi, kurikulumnya disusun sesuai kenyataan yang dibutuhkan untuk bekerja, metode dalam proses belajar mengajar juga disesuaikan dengan kondisi seperti bekerja, dan memiliki nilai hasil yang diharapkan sesuai dengan tuntutan pasar kerja. 

    Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan
    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

    Pendidikan vokasi pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi membekali lulusannya dengan berbagai kecakapan yang lebih umum, yaitu kecakapan hidup dan berkarier, kecakapan dalam belajar dan berinovasi, serta kecakapan memanfaatkan informasi, media, dan teknologi.

    Pendidikan vokasi membentuk generasi muda yang profesional dalam bidangnya dan berkonsep link and match (taut-sesuai) yang komprehensif untuk mewujudkan tenaga kerja yang ahli menjawab kebutuhan pasar secara kompetitif. Membangun keselarasan (link & match) dengan sistem-sistem yang lain terutama keselarasan dengan sistem ekonomi umumnya atau dunia kerja khususnya.

    Pendidikan vokasi ini mengarahkan generasi muda untuk terampil dan ahli dalam bidangnya. Adapun model pembelajarannya mengarah kepada demand-driven dari pada supply-driven. Artinya bahwa model pembelajaran lebih aktual tidak sekadar tekstual, lebih konkret dari pada abstrak, yang lebih merujuk ke realita dari pada artifisial, lebih nyata dari pada maya, dan ini semua menuntut pendidikan vokasi secara proaktif mendekatkan diri dengan dunia kerja.

    Dalam proses pengembangan pendidikan vokasi ini, terdapat dua hal pokok.  Pertama, Pendidikan vokasi menjalin kemitraan dan kolaborasi dengan pelaku usaha dan dunia industri. Pelaku dunia usaha dan dunia industri turut mengambil tanggung jawab lebih besar, serta wajib dikembangkan agar dapat mengisi lapangan kerja industri dengan profil lulusan yang memiliki ketrampilan dan pengetahuan tinggi (high skilled & know how), sehingga dapat melakukan peningkatan proses produktif serta dapat melakukan  perbaikan dan pengembangan produk di dunia industri.

    Paradigma lama yang menempatkan industri pada bagian akhir yang menerima lulusan harus diubah sehinggga industri dapat berperan sejak perencanaan kompetensi lulusan yang dibutuhkan, turut serta dalam penyelarasan kurikulum, penguatan pemetaan kebutuhan keahlian, membangun kompetensi SDM melalui proses edukatif yang produktif, penerapan sistem pembelajaran standar industri, penguatan pelatihan kecakapan kerja dan kewirausahaan di sekolah, pemagangan, penguatan standar kompetensi, penguatan kelembagaan dan kapasitas pelaksanaan sertifikasi, dan penyerapan lulusan.

    Kedua, penguasaan teknologi. Pembangunan manusia dan penguasaan iptek tidak bisa dipisahkan dari peningkatan kualitas pendidikan termasuk pendidikan vokasi. Saat ini kita berada pada revolusi industri 4.0. Pada era ini, jenis pekerjaan seseorang berubah dengan cepat sesuai dengan kebutuhan pasar kerja dan penyediaan tenaga kerja yang semakin mengglobal serta pengetahuan dan teknologi yang semakin canggih. Pekerjaan yang semula dilakukan secara manual dengan mengandalkan tenaga manusia telah digantikan oleh mesin dan teknologi informasi.

    Beberapa jenis pekerjaan  yang ada saat ini, perlahan akan hilang pada 10 tahun ke depan. Diperkirakan 35%  keterampilan dasar pada dunia kerja akan berubah pada tahun 2022, dan hampir 2 miliar pekerja berisiko kehilangan pekerjaan.  Karena itu, pendidikan dan pelatihan seharusnya dilakukan dengan memberi banyak pilihan keterampilan yang sesuai dengan minat peserta didik dan perkembangan kebutuhan pasar kerja sehingga memungkinkan pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning).

    Pengembangan kemitraan dengan pelaku usaha dan penguatan teknologi bagi generasi milenial dalam pasar tenaga kerja Indonesia dapat dipastikan akan membawa transformasi dari sisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Seiring era baru dalam revolusi industri 4.0, generasi milenial diharapkan menjadi angkatan kerja yang produktif dan kompetitif guna menghadapi perubahan besar pada masa ini.

    Digitalisasi telah merambah di seluruh aspek kehidupan dan membawa perubahan pola hidup masyarakat. Generasi milenial diharapkan bersiap dan mampu merespon setiap perubahan yang terjadi, menangkap peluang yang ada, dan mengoptimalkan momen-momen yang tercipta akibat perputaran arus informasi dan teknologi  yang semakin cepat. Senada dengan pendapat Peter Drucker yang menjelaskan bahwa “You cannot predict the future, but you can create it”, milenial Indonesia diharapkan untuk membekali diri dengan keterampilan teknis dan penguasaan teknologi dalam sistem pendidikan vokasi. Pembekalan diri ini menjadi cara terbaik untuk mewujudkan generasi emas 2045 mendatang

    Rio Nanto

    Pemimpin Redaksi Indodian.com