“Saya baru saja menikah, sekitar 8 bulan yang lalu. Kalau saja saya tidak menikah saat itu, mungkin tahun ini saya sudah menjadi mahasiswa”.
Indodian.com – Kutipan di atas merupakan cerita SP salah seorang anak di Desa Sobawawi (Sumba Barat) yang bersedia diwawancarai. Ia merupakan salah satu siswi SMA di desa ini. Ia terpaksa harus putus sekolah (sejak April 2020) karena tuntutan orang tuanya agar ia segera menikah. Tuntutan ekonomi tentu saja menjadi faktor utama yang mendorong orang tuanya untuk memaksanya menikah di usia yang masih sangat belia. Sebagai anak perempuan tertua di rumah dan tidak ingin membebani keluarga, mau tak mau ia harus memenuhi tuntutan tersebut.
Kedua orang tuanya adalah petani sayur. Akibat pandemik, hasil dagangan sayur tak stabil meski kebutuhan hidup mereka kian meningkat. Biaya SPP, biaya makan-minum cukup mencekik. Ayahnya yang sakit-sakitan dan harus rutin melakukan medical check up di Rumah Sakit tentu membutuhkan biaya besar. Setelah memutuskan menikah, belis (mahar) yang diperoleh SP ia gunakan untuk membayar biaya berobat ayahnya juga membayar biaya sekolah keempat adiknya.
“Sesungguhnya bukan pernikahan seperti ini yang sa (saya) mau. Saya stress. Sa malu karena sa punya kawan semua masih bisa lanjut sekolah. Banyak orang pandang saya sebelah mata, apalagi kalau dengar suami maki atau pukul saya. Demi bapa dan mama, mau tidak mau sa harus jalani ini semua”, tutur SP dengan suara bergetar dan mata berkaca-kaca.
Baca Juga : Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu
Baca Juga : Media Siber dan Demokrasi di Era Milenial
Pernikahan Dini: Sebuah Fenomena Gunung Es
Pandemik sudah setahun melanda seantero negeri dan menimbulkan krisis di berbagai sektor. Penduduk desa maupun kota tentu merasakan benar dampak wabah Covid-19. Praktik pernikahan dini tidak hanya terjadi pada kalangan anak perempuan, tetapi juga laki-laki. Dalam laporan tahunan UNICEF, di Indonesia, sejak tahun 2018 hingga 2020, tren pernikahan dini di pedesaan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Di perkotaan, prevalensi anak yang menikah sebelum usia 18 tahun sekitar 7,15% sedangkan di pedesaan hampir mencapai 17%.
Indonesia bahkan menempati posisi sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan dini tertinggi di Asia Tenggara. Berdasarkan data dari Institut Kapal Perempuan, Indonesia merupakan salah satu penyumbang terbesar dari sekitar 13 juta kasus global pernikahan anak pada tahun 2020.
Sejak Januari hingga Juni 2020, terdapat 34.000 permohonan dispensasi pernikahan dini (di bawah 19 tahun) diajukan, 97 persen di antaranya dikabulkan (dilansir dari BBC.com). Sementara di tahun 2019, terdapat 23.700 permohonan. Mirisnya, pernikahan dini berkelindan dengan meningkatnya kasus kekerasan domestik dan perceraian. Mengapa demikian?
Pandemik yang berdampak buruk pada rumah tangga bukanlah cerita baru. Di NTT sendiri, berdasarkan data yang dilansir BPS NTT, telah terjadi 400 lebih kasus perceraian di NTT yang dilandasi oleh berbagai faktor. Sementara untuk konteks Sumba Barat, per 2020 telah terjadi 10 kasus perceraian dengan faktor penyebab, kekerasan dalam rumah tangga dan alasan ekonomi. 7 di antara 10 kasus tersebut adalah remaja yang menjalani pernikahan dini di masa pandemik.
Sebagian besar remaja yang mengalami pernikahan dini berusia sekolah. Mereka terpaksa menikah muda karena menjadi korban pelecehan seksual dari orang terdekat juga karena tuntutan ekonomi. Sistem belajar dari rumah ternyata tidak hanya perihal perubahan ruang dan metode belajar, melainkan menjadi beban baru bagi keluarga, terutama mereka yang tinggal di desa. Keterbatasan ruang gerak dan minimnya fasilitas belajar adalah dua faktor dominan yang membuat sebagian orang tua di desa mencari cara agar tetap survive, meski ‘mengorbankan’ anak.
Baca Juga : Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
Baca Juga : Sore Nanti, Kita ke Pantai
Dari hasil konfirmasi ke salah satu sekolah menengah negeri (tempat SP bersekolah) yang terletak di Kelurahan Sobawawi, 3 di antara 5 anak yang putus sekolah per 2020 dilecehkan oleh orang terdekat dan dipaksa menikah muda untuk menutup aib keluarga. Sisanya menikah muda karena tuntutan orang tua yang terlilit hutang dan ketidakstabilan ekonomi keluarga. Untuk faktor yang kedua ini, SP adalah salah satu korbannya.
“Setahun kemarin (semenjak sistem Belajar Dari Rumah/BDR diterapkan), ada 3 siswi kami yang memilih berhenti sekolah karena dilecehkan oleh om (paman) dan saudara ayah mereka. Demi nama baik keluarga, mereka dipaksa menikah dengan pelaku pelecehan. Mirisnya, malah ada pelaku yang hanya menyelesaikan perkara secara adat /kekeluargaan karena minimnya pengetahuan keluarga soal prosedur pelaporan ke pihak berwenang. Ada juga yang menikah karena kemauan orang tua”, ujar EO (48), salah satu guru di sekolah negeri saat ditemui, Kamis (13/5).
Pernikahan dini atau perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan terhadap anak. Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu memiliki kerentanan yang lebih besar, baik secara akses pendidikan, kualitas kesehatan, potensi mengalami tindak kekerasan serta hidup dalam kemiskinan. Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak yang dinikahkan, namun akan berdampak juga pada anak yang dilahirkan serta berpotensi memunculkan kemiskinan antargenerasi.
Baca Juga : Malia
Baca Juga : Desa: Sentra Budaya dan Peradaban
Pernikahan dini sungguh berdampak buruk bagi anak itu sendiri. Angka perceraian cenderung tinggi karena anak belum matang secara mental dan spiritiual, akses terhadap pendidikan menjadi terhambat karena pernikahan dini sering berujung pada putus sekolah, anak yang menikah cenderung mengalami kekerasan dalam rumah tangga, risiko Kesehatan karena ketidaksiapan fungsi reproduksi secara biologis dan psikologis pada perempuan yang menjadi ibu.
Pandemik harusnya menjadi masa permenungan bagi setiap kita untuk menyadari bahwa pernikahan dini, pelecehan seksual dan kekerasan domestik adalah masalah serius dan anak perempuan rentan menjadi korban. Kita mesti membangun kesadaran bersama bahwa anak perempuan memiliki hak setara dengan laki-laki, dalam menentukan pilihan hidup, memperoleh rasa aman dan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan. Mengapa hanya perempuan? Data telah membuktikan bahwa perempuan yang rentan menjadi korban. Walau demikian, laki-laki dan perempuan bisa bergandengtangan dalam gerakan menolak pernikahan dini, minimal dari tataran pengetahuan dulu.
Baca Juga : Metafora Perang dalam Penanganan Covid
Baca Juga : Mencintai Wanita dengan Tanda Lahir di Bibir
Cerita SP hanyalah salah satu di antara sekian cerita kelam yang dialami anak perempuan di Negara kita. SP merasa bersyukur karena ia memiliki sahabat yang supportive, sehingga ia begitu optimis untuk melanjutkan hidup. Kehadiran support system juga merupakan hal yang sangat dibutuhkan para anak korban pernikahan dini.
“Sa bersyukur karena punya teman yang selalu kas kuat (menguatkan) saya. Sekarang saya sudah punya anak, perempuan lagi. Saya akan berjuang semoga sa punya anak tidak bernasib seperti saya. Sa punya anak harus hidup lebih baik dari saya nanti”, tegas SP sebelum akhirnya pamitan untuk menyusui anaknya yang baru berusia dua bulan.
Jika kita menelisik lebih dalam, ucapan SP yang begitu tegar itu mengandung kesedihan juga kemarahan. Ada protes dan pemberontakan yang tak sempat terucap sebab tak ada posisi tawar yang kuat. SP juga (mungkin) setiap anak yang terpaksa menikah, pastinya ingin menolak, tetapi tuntutan budaya, membuat mereka mau tak mau menuruti kehendak orang tua.
Baca Juga : Zidane, Tuchel, dan Tuhan
Baca Juga : Korupsi dan Ketidakadilan Gender
Jika setiap tahun kita merayakan kemerdekaan Republik Indonesia, sudah semestinya kita juga mendukung agar setiap anak merdeka dari segala bentuk kekerasan, terutama pernikahan dini. Masa pandemik dengan sederet new normal semoga bisa memberi ruang refleksi baru bagi setiap kita untuk semakin menjaga, melindungi dan menghormati hak setiap anak sebagai bagian dari hak asasi manusia.