Tiga hari dari pagi ini, Samwel akan menikahi Alina di kapel kecil itu. Segala sesuatunya telah dipersiapkan. Detik bergulir, waktu terus berjalan. Hari besar itu akan segera tiba dan cinta di dada Samwel kian bergemuruh.
“Alina yang baik,” ia menulis seraya menghirup bau tanah dan rerumputan basah di sekitar gazebo, “lelaki yang akan engkau nikahi ini bukan seorang yang benar-benar baik.”
Ia berhenti. Dari kejauhan terdengar bunyi lonceng kapel berdentang nyaring pertanda waktu doa Angelus. Pukul 06.00 pagi hari. Ia tertegun, kaget sendiri dengan kejujuran dan ketepatan tangannya menulis hal-hal yang bercokol di kepala.
Samwel tahu betul bahwa ia memang bukan laki-laki yang baik. Jauh sebelum mengenal Alina, ia dikenal kurang ajar.
Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Baca Juga : Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu
Semasa kecil ia suka mencuri telur ayam di kandang milik tetangganya dan menjualnya ke warung makan milik Om Leo di ujung kampung. Uangnya dipakai untuk beli rokok. Ia sudah mulai merokok pada usia sepuluh tahun.
Empat hari setelah ulang tahunnya yang ke enam belas, Samwel mencuri lima ekor ayam dari sebuah pick up milik penjual ayam pedaging keliling. Dia menjual ayam itu ke warung makan yang sama, dengan harga yang lebih murah tentunya.
Malam harinya ia diam-diam pergi ke kampung sebelah, ke rumah seorang janda muda yang juga diam-diam melayani satu dua berondong yang ingin cari pengalaman di atas ranjang.
Tidak jarang pula semasa di sekolah menengah, ia mencuri uang SPP lalu menyelinap ke rumah janda itu lagi. Sejauh yang bisa diingatnya, selama tiga tahun masa SMA, ia tiga belas kali masuk keluar rumah si janda muda.
Pagi itu, ketika matahari sudah menampakkan diri secara utuh dari balik bukit nun jauh di timur sana, ia tergoda untuk menulis semua hal buruk itu. Tapi diurungkannya niat itu, berhubung tiga hari lagi mereka akan menikah dan ia takut Alina membatalkan semuanya.
Dan ia yakin, bahwa ada kebenaran yang sebaiknya tidak boleh disampaikan, termasuk kepada pasangan hidup. Kebenaran yang sebaiknya disembunyikan agar keutuhan rumah tangga tetap terjaga.
Sambil menggigit ujung pena di tangannya, Samwel berjuang keras menepis bayangan masa lalu yang menghantam kepalanya. Bayangan tentang kebejatan-kebejatan yang dilakukannya semasa kuliah, baik sebelum maupun setelah mengenal dan mencintai Alina.
Baca Juga : Kisah Yuliana Mijul, Gali Pasir dan Menenun Demi Menyambung Hidup Keluarga
Baca Juga : Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran
Ia mengatup kedua kelopak matanya dan mengutuk janda muda itu—sekarang sudah tua—karena mengajarinya cara memperoleh kenikmatan demi kenikmatan. Ia mengutuki masa mudanya yang gelap dan memalukan. Ada penyesalan yang tulus menyembul dari dalam batinnya dan ia merasa geli, sebab seumur hidupnya ia jarang menyesali perbuatan-perbuatan buruknya.
Dihirupnya udara segar di pagi yang cerah itu, menghembusnya perlahan, dan seketika merasa beruntung karena telah dipertemukan dengan Alina. Perempuan itu, yang usianya dua tahun lebih tua, telah mengubah banyak hal dalam hidupnya.
Ia tidak ingat lagi kapan terakhir kalinya ia berdoa dan menyebut nama Tuhan. Walaupun demikian, pagi itu, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa Alina adalah perempuan yang dikirim Tuhan untuk membantunya memperbaiki hidup.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya