Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu

- Admin

Minggu, 20 Juni 2021 - 14:10 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ilustrasi

Ilustrasi

“Di surga nanti, ibu ingin tetap jadi penenun. Surga akan sangat membosankan tanpa alat tenun yang sudah akrab dengan ibu selama bertahun-tahun.” Itu kalimat terakhir ibu sebelum pergi. Malam itu langit cerah, bintang-bintang bersinar terang. Ibu meninggal dalam tenang.  

“Ibu pandai menyembunyikan kesedihan. Saya tidak pernah melihatnya murung, bersedih, apalagi menangis. Kecuali ketika sakit itu semakin menggerogoti tubuh ringkinya. Ibu sadar, kematian begitu dekat. Maut akan mendahului tenunannya. Itulah alasan mengapa untuk pertama dan terakhir kali dalam hidupnya, ibu meneteskan air mata di depan saya.”

Sore itu hujan, air mata mengalir di kedua pipiku. Ranty yang sedang sibuk menenun, mengangkat muka sejenak memandangiku. Bunyi bampang yang beradu dengan jangka, membuat rinduku pada ibu semakin menjadi-jadi.

Baca Juga : Kisah Yuliana Mijul, Gali Pasir dan Menenun Demi Menyambung Hidup Keluarga
Baca Juga : Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran

Hari ketika kematian itu datang, ibu masih menenun. Air mata tiba-tiba menetes di kedua pipinya yang keriput. “Ibu takut, nak. Takut meninggal sebelum tenunan ini selesai.” Cepat-cepat ia menyeka air matanya dengan pinggiran kain kumalnya. Saat itu saya hanya bisa menatapnya dengan kesedihan yang dalam.

Saya suka memandang ibu ketika ia sedang menenun. Suka melihat lengkungan bibirnya ketika tersenyum. Suka melihat cantik matanya di usia yang kian menua. Suka melihat kulit wajahnya yang gelap seperti buah sawo ranum di belakang rumah. Dan tentu saja, suka melihat kedua tangannya yang lincah memukulkan bampang pada jangka saat menenun selembar kain songke.

Sejak kecil, saya terbiasa dengan bunyi kedua benda itu beradu. Saya tumbuh dewasa dalam mendengar keduanya berbenturan sambil memandang ibu tersenyum puas saat motif songke yang dihasilkannya benar-benar sama dengan imajinasinya yang tanpa batas.  Ibu bilang, setiap pukulan punya kekuatan yang sama.

“Supaya kainnya kuat,” katanya.

Songke adalah segala sesuatu tentang ibu. Sejak kerusuhan sembilan delapan itu, dunia ibu hanya seluas rumah dan tempatnya menenun. Tembak-menembak di kampung kami pada tahun itu menyebabkan ibu kehilangan kaki kanan. Sebutir peluru nyasar menghantam lututnya, sehingga kaki kanannya harus dipotong.

Baca Juga : Kota dan Rindu yang Setia
Baca Juga : Menjadi “Gentleman”?: Silang Pendapat Locke dan Rousseau tentang Pendidikan

Ibu iklas kehilangan satu kaki dan memutuskan hidup dalam keadaan seperti itu. Kami terlalu miskin untuk mendapatkan kaki palsu atau sekadar tongkat penyangga. Sejak itu ibu fokus menenun songke, karena selain menghasilkan uang, menenun songke juga tidak membutuhkan kaki.

Baca juga :  Tanpa Tanda Jasa

Saat itu saya berumur sepuluh tahun. Ibu sering berkisah bahwa songke tidak hanya memberi kami sedikit uang untuk bertahan hidup, tetapi juga menghidupkan jiwa ibu. Kata ibu, Songke pulalah yang mempertemukan dia dengan ayah.

Ayahku—semoga arwahnya dibahagiakan Tuhan—seorang pengagum seni. Saat pertama kali melihat songke tenunan ibu, ia terkagum-kagum. Ia mencari si penenun dan bertemulah mereka, jatuh cinta, menikah, lalu memiliki anak.

Waktu kecil saya bertanya pada ayah apakah cerita ibu benar adanya. Ayah hanya tersenyum. “Jika kau dewasa nanti, carilah seorang perempuan yang bisa menenun songke. Mereka yang tahu menenun songke, pasti mahir merajut masa depan.”

Baca Juga : Cerita Pensiunan Guru di Pelosok NTT yang Setia Mendengarkan Siaran Radio
Baca Juga : Urgensi Penelitian Sosial terhadap Pembentukan Kebijakan Publik

Di depanku, Ranty masih menenun. Ia tahu, cintaku pada ibu lebih besar ketimbang cinta padanya. Dan dia tidak pernah mempersoalkan itu. Ibu adalah cinta pertamaku, seluruh hidupku.

Sedangkan Ranty, bagiku separuh jiwa dan cinta terakhir. Ketika ditanya apa impian terbesarnya setelah kami menikah nanti, Ranty selalu bilang, “Di hatimu, aku ingin mengisi kekosongan yang ditinggalkan ibu.”

Saya berharap impian itu tercapai. Ibu dan Ranty punya banyak kesamaan. Untuk ditanam di halaman rumah, keduanya lebih menyukai sayur-sayuran ketimbang bunga-bunga.

Kalau di rumah kami, ibu menanam sawi, kangkung dan selada, di rumahnya, Ranty banyak menanam kol, sayur asin, ndesi, kemangi dan banyak lagi. Bisa diduga, keduanya vegetarian murni dan menyukai warna biru. Untuk yang terakhir ini, ibu mewariskannya padaku—dengan sempurna.

Baca Juga : Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai
Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang

Selain tanam-menanam, ada satu lagi yang sama pada keduanya. Motif songke. Songke yang tercipta dari tangan ibu dan Ranty tidak hanya mirip, tapi benar-benar sama. Walaupun untuk ditanam, mereka lebih memilih sayur-sayuran ketimbang bunga, gambar bunga-bunga pada songke mereka tetap punya daya tarik yang kuat.

Jenis bunga yang mereka hasilkan tidak diberikan oleh alam. Mereka mendapatkannya berkat daya imajinasi. Kenyataan bahwa hasil imajinasi itu sama, benar-benar membuatku tercengang.

Di depanku, Ranty masih menenun. Dia benar-benar mirip ibu. Senyumnya, teduh wajahnya, sorot matanya dan kulit sawo matang itu.

“Kamu benar-benar mirip ibu.”

“Hmmm”

“Senyummu, sorot matamu, kulit sawo matang itu…”

“Hey…” Ranty mengangkat muka, menatap tepat di kedua mataku. “Sebentar sore ke pantai.”

Baca juga :  Suami Kekasihku

 “Untuk?”

“Nanti kita bicara banyak tentang ibu. Jangan menangis di sini. Ini tempat ibu. Jangan buat ibu sedih.”

“Saya rindu ibu.”

“Saya tahu. Tapi jangan menangis di sini. Biarkan ibu bahagia.”

Sore itu kami ke pantai. Semenjak kepergian ibu, saya seakan-akan lupa bagaimana rasanya menghirup udara segar. Kepergian ibu benar-benar mencuri segalanya dariku. Duniaku runtuh dalam sekejap.

Setelah kepergian ayah beberapa tahun lalu, saya hanya memiliki ibu. Ibu sudah menjadi segala-galanya bagiku.

Baca Juga : Urgensi Pendidikan Pancasila di Era Milenial
Baca Juga : Jacques Ellul tentang Masyarakat Teknologis

Untunglah ada Ranty yang selalu ada di dekatku. Saya mengenalnya dua tahun lalu saat kami sama-sama berada di semester akhir kuliah. Saat itu dia masih menjadi mahasiswi keperawatan dan sekarang bekerja di Puskesmas di desa ini.

Kami jatuh cinta lalu menjadi sepasang kekasih. Saya memberinya saran untuk melamar kerja di desaku dan di sinilah dia berada sekarang. Kami berencana untuk menikah bulan depan—semoga Tuhan merestui.

“Jangan terlalu bersedih,” Ranty menggegam tanganku saat berjalan menyusuri tepi pantai. “kehilangan ibu adalah pukulan terkeras dalam hidup hampir semua anak bungsu. Semua orang alami itu, bukan hanya kamu.”

“Tadi malam aku bermimpi,” lanjut Ranty.

“Mimpi apa?”  

“Aku memimpikan ibu?”

Aku terdiam. Dalam hati aku bertanya, mengapa bukan aku yang didatangi ibu dalam mimpi?

“Ibu punya pesan buatmu.”

“Ibu bilang apa?” aku penasaran.

“Mungkin sebaiknya kamu belajar mengiklaskan kepergian ibu. Kesedihan yang berlarut-larut tidak bermakna apa-apa. Maaf, kamu harus tahu, air matamu membuat ibu tidak bahagia.”

Sebutir air mata menetes di pipi kananku. Saya marah. Kukepalkan tangan kanan. Seandainya perempuan di sampingku ini bukan seorang yang  saya cintai, kepalan itu sudah mendarat di pipinya.  

Kami berdua terus berjalan menyusuri pantai. Hari mulai gelap, di kejauhan tampak perahu-perahu nelayan menyusuri cakrawala. Satu persatu lampu di rumah-rumah dinyalakan. Senja kian menghitam, menyisakan sedikit bias keperakan yang dicabik gelombang sebelum pecah menghantam karang. Ranty menggenggam tanganku.

Baca Juga : TWK dan Skenario Pelemahan KPK
Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio

“Dalam mimpi semalam,” Ranty memulai ceritanya. “saya melihat ibu dalam barisan sekitar puluhan lansia. Mereka mengenakan pakayan serba putih, mengkilat dan indah. Mereka semua memancarkan kebahagiaan, kecuali ibu.”

“Masing-masing mereka menggenggam sebatang lilin merah menyala di tangan kanannya. Semuanya kelihatan serasi, kecuali lilin merah di tangan ibu. Nyala lilin itu tidak pernah bertahan lama. Selalu saja padam.”

Baca juga :  Seratus Jam Mencari Sintus

“Awalnya saya mengira kesedihan di wajah ibu disebabkan oleh lilin yang selalu padam itu. Tiba-tiba seorang gadis kecil muncul dari tengah barisan para lansia itu kemudian berdiri di hadapanku. Spontan saya bertanya pada gadis kecil itu tentang alasan padamnya lilin di tangan ibu.”

“Anak itu menjawab, ‘Lilin itu akan selalu padam karena ada satu orang di dunia yang belum mengikhlaskan kematian ibu itu. Ibu itu punya seorang anak laki-laki. Setiap kali lilin merah itu dinyalakan, air mata anak itu selalu memadamkannya.’”

“Lalu anak itu berbisik padaku, ‘ibu itu lupa sesuatu di rumahnya. Karena itu dia selalu kelihatan murung.’ Setelah itu saya tersadar dan bangun.”

Kami melewati hamparan karang. Saya menanggalkan alas kaki, membiarkan telapak kaki disobek karang. Angin malam bertiup kencang, dingin menusuk kulit. Untungnya kami berdua mengenakan jeket sehingga bisa sedikit bertahan melawan dingin.

Lama kami terdiam setelah dia mengakhiri cerita mimpinya. Saya tidak pernah percaya mimpi. Tapi kali ini berhubung mimpi itu ada kaitannya dengan ibu, tidak rugi jika saya percaya.

Sebulan setelah itu, kami menikah. Saya dan Ranty. Pesta pernikahan kami sederhana. Setelah berkat nikah di Gereja, ada resepsi sederhana bersama keluarga besar. Saya bahagia, Ranty juga. Dan semua yang hadir, tentunya.

Baca Juga : Berani untuk Percaya Diri?
Baca Juga : Apa yang Anda Ketahui tentang Kebenaran?

Malam itu Ranty terlihat cantik di balik gaun pengantinnya yang putih bersinar. Dan saya juga diliputi rasa percaya diri sebagai pengantin pria, merasa gagah di balik jas songke yang ditenun almarhum ibu dan diselesaikan Ranty. Malam itu saya merasa utuh, bahagia dan bangga.

Saya merasa, ayah dan ibu bahagia melihat kami malam ini. Saya rindu mereka. Rindu ketegaran ayah, rindu cantik mata ibu. Rindu tawa ayah yang lepas, rindu senyum ibu dengan manis lengkungan bibinya. Rindu dalamnya tatapan ayah, rindu teduhnya nasihat ibu.

Dari surga sana, mereka pasti menatap bahagia.

Tapi—tiba-tiba saja pikiran itu muncul—akankah ibu bersua ayah di surga? Kini jelaslah semuanya. Mimpi Ranty, tangis dan wajah sedih ibu serta songke terakhir yang ditenunnya. Sesungguhnya ibu tidak bermaksud mewariskan songke itu padaku, tapi ingin dibawanya pergi. Karena hanya songke itulah yang memungkinkannya bertemu ayah di surga.  

* Songke adalah kain adat daerah Manggarai.  

Komentar

Berita Terkait

Suami Kekasihku
Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Sunset yang Hilang
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Berita ini 132 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA