Muted Group Theory dan Pelecehan Seksual
Fakta tentang bungkamnya kaum perempuan di tengah pengalaman pelecehan seksual yang mereka alami juga merupakan objek kajian dari ilmu-ilmu sosial lainnya. Di antara teori-teori itu, Teori Kelompok Bungkam (Muted Group Theory/MGT), yang dipelopori oleh dua antropolog sosial (social anthropologists) Edwin Ardener dan Shirley Ardener, merupakan salah satu teori yang secara khusus menguraikan secara sistematis tentang ‘kebungkaman’ kelompok minoritas, terutama kaum perempuan.
Teori ini berpusat pada oposisi biner antara kelompok mayoritas dan minoritas dalam suatu masyarakat. Menurut kedua ahli ini, mayoritas adalah kelompok yang berkuasa (power), sedangkan minoritas adalah kelompok yang lemah dan tidak memiliki kuasa atau kekuatan (powerless). Dalam relasi sosial dengan pola ini, minoritas adalah kaum marginal yang bungkam, sebab struktur komunikasi, kekuasaan, dan bahasa telah dibentuk oleh dan dalam iklim mayoritas.
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ
Tentang inti tesis Muted Group Theory ini, Dennis Nangabo dalam buku berjudul The Muted Theory, An Overview (2015), mengatakan:
Para pengusul hipotesis ini mengatakan bahwa kelompok bungkam adalah mereka yang berada di dalam masyarakat yang secara praktis tidak memiliki kekuasaan/kekuatan dan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi atau menyampaikan suara mereka mengenai masalah-masalah di dalam masyarakat karena mereka tidak berpartisipasi dalam penciptaan bahasa yang mereka gunakan. Kekuasaan bersandar pada mayoritas. … Gagasan minoritas atau mayoritas dapat didasarkan pada jenis kelamin, usia, warna kulit, agama, atau kelas sosial.
Sampai saat ini, MGT banyak digunakan sebagai kerangka teoretis dalam menganalisis fakta atau fenomena sosial yang berhubungan dengan kelompok-kelompok marginal dalam masyarakat. Meskipun para pemikir MGT mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi kelompok bungkam, mereka tetap mengakui bahwa perempuan adalah subjek yang paling rentan menjadi kelompok bungkam. Bahkan sampai saat ini, MGT itu sendiri merupakan sebuah studi khusus tentang pengalaman hidup perempuan.
Dalam perkembangan selanjutnya, MGT banyak dipengaruhi oleh Cherish Kramarae yang menegaskan bahwa di balik bahasa terdapat struktur kekuasaan mayoritas. Untuk dapat mengkomunikasikan persoalan-persoalan yang dihadapinya, perempuan harus membahasakan persoalan itu dalam bahasa yang penuh dengan intrik kekuasaan mayoritas, yaitu laki-laki.
Akibatnya, perempuan takut untuk bersuara atau berpendapat, sebab secara sosial mereka telah didefinisikan sebagai kelompok inferior. Perempuan tidak hanya inferior dalam hal kognitif (rasionalitas), tetapi juga identitas gender: menjadi perempuan berarti menjadi kelompok kedua setelah laki-laki. Ketika perempuan dituntut untuk membahasakan persoalannya secara rasional, sebagaimana dikehendaki kelompok mayoritas (laki-laki), mereka kehilangan spontanitas dan orisinalitas baik tentang ‘kata’ maupun tentang ‘maksud’ yang mereka miliki.
Ketika sebuah ‘kata’ diganti dengan kata lain yang sesuai dengan tuntutan standar rasionalitas laki-laki, perempuan kehilangan keberanian untuk berbicara. Akibatnya, berbicara tentang pengalaman konkret yang mereka hadapi merupakan suatu bencana bagi dirinya sendiri. Mereka akan dipermalukan oleh kata-katanya sendiri. Setelah dipermalukan, mereka distigmatiasasi dan diasingkan dari kehidupan sosial.
Baca Juga : Hindari Pinjaman Online
Baca Juga : Setelah Pandemi, Kita ke Mana?
Fakta inilah yang menjadikan perempuan cenderung memilih untuk bungkam. Meskipun demikian, mereka tetap sadar bahwa ketika mereka bungkam, pengalaman traumatis yang telah terjadi akan tetap berbisik dari dalam lubuk hatinya dan memaksa mereka untuk mengungkapkannya.
Anehnya, besarnya desakan itu berbanding terbalik dengan keberanian mereka untuk bersuara. Bahkan ketika seorang perempuan bersuara, sesama kaumnya sendiri akan melawannya. Alhasil, bungkam adalah jalan terbaik. Namun, kebungkaman ini bukan karena perempuan menghendakinya.
Sekurang-kurangnya, ada tiga hal yang menyebabkan kebungkaman kaum perempuan. Pertama, mereka bungkam karena mereka hidup di tengah sistem atau struktur sosial-budaya-agama yang menempatkan mereka sebagai kelompok inferior. Bahkan konstruksi sosial-budaya-agama ini juga telah menyusup ke dalam produk undang-undang yang terbukti lebih banyak menguntungkan laki-laki. Di Indonesia, hal ini telah menjadi kenyataan setelah dikeluarkannya Perda Syariah di sejumlah daerah.
Kedua, produk dan proses hukum yang tidak berkualitas. Hukuman penjara yang dialami Baiq Nuril dua tahun lalu merupakan salah satu bukti nyata yang menggambarkan betapa buruknya produk dan proses hukum di Indonesia. Baiq Nurul adalah seorang guru di Mataram, NTB yang mengalami pelecehan seksual melalui percakapan telepon oleh kepala sekolahnya.
Pada tahun 2017, rekaman percakapan ini beredar di media sosial. Tidak tega aksi bejatnya diketahui publik, sang kepala sekolah melaporkan Nuril ke kepolisian dengan menggunakan Undang-undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE). Alhasil, Nurul divonis bersalah dan dihukum penjara oleh Mahkamah Agung.
Baca Juga : Cerita Tuna Penjaga Mata Air
Baca Juga : Pesan Ibu
Ketiga, emansipasi perempuan adalah suatu wacana sekaligus aksi yang cenderung fragmentaris-periferis. Hal ini terjadi karena usaha pembebasan perempuan dari berbagai penindasan hanya menjadi proyek bagi segelitir kelompok, seperti LSM, Komnas Perempuan, dan beberapa kelompok lainnya. Bahkan gerakan mereka tidak terkonsolidasi dengan baik, sehingga seringkali masing-masing kelompok berjalan terpisah.
Di sisi lain, masyarakat cenderung bersikap pasif dan menerima begitu saja (taken for granted) setiap pengalaman yang dihadapi perempuan seolah-olah itu hal yang biasa dan manusiwi. Tidak heran, masyarakat sendiri sering menyembunyikan kasus-kasus yang menimpa perempuan. Selain itu, gerakan emansipasi perempuan juga hanya terjadi pada lapisan luar (perifer), bukan pada lapisan dalam atau inti persoalan di balik penindasan kaum perempuan.
Mereka diadvokasi untuk memperoleh keadilan, tetapi sistem yang melegitimasi tindakan imoral terhadap perempuan justru tidak pernah diusut tuntas. Di tengah realitas destruktif seperti ini, tidak ada jalan lain selain bungkam atau menanti datangnya dewa penyelamat. Apa yang mesti kita lakukan?
Sudah tiba waktunya untuk memulai tapak yang baru: tolak bungkam! Di mana pun, kapan pun, dalam keadaan apa pun, beranilah bersuara! Jika kita tidak melakukannya, tentu anak-anak kita pun tidak bebas dari ancaman serupa. Tolak Bungkam!