Menulis: Metode atau Seni?
Boleh jadi orang beranggapan menulis itu semata-mata soal metode. Menurut saya, menulis tak sekedar metode, tapi lebih sebagai seni. Sebagai seni, menulis tak punya tolok ukur. Seorang penulis tak harus seorang sarjana, berijazah, atau belajar di fakultas bahasa. Menulis tak ada hubungannya dengan gelar akademis, melainkan sebagaimana Goenawan Mohamad, kemampuan kreatif menuangkan gagasan dalam bahasa yang hidup dan luwes.
Sebagai seni, menulis itu bukan ilham melainkan daya cipta. Ketika Daniel Dhakidae bertanya kepada Rusli, sang pelukis hebat Indonesia, tentang bagaimana caranya Rusli mendapat inspirasi dari melukis, Rusli menjawab bahwa ketika dirinya mulai menetapkan satu titik di kanvas dan ayunkan tangan, saat itulah inspirasi itu datang (Dhakidae, 2015:108)
Baca Juga : Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik
Baca Juga : Perempuan, Iklan dan Logika Properti
Demikian pun menulis. Orang-orang bilang, “Saya belum bisa menulis karena inspirasi belum datang”, atau “ide baru mampir kalau rokok dan segelas kopi ada di tangan”. Tapi sebetulnya, inspirasi tak dapat ditunggu seperti itu. Inpsirasi datang ketika jari-jari menyentuh keyboard komputer, ketika kata-kata pertama mulai diketik, yang selanjutnya membentuk kalimat, paragraf hingga sebuah teks yang utuh. Singkatnya inspirasi itu ada di ujung jari. Atau dalam versi Marxian, inspirasi itu (hasil) kerja.
Krisis Budaya Ilmiah
Seruan menulis terasa semakin mendesak di tengah krisis budaya ilmiah yang menimpa semua kalangan. Sekarang ini, budaya membaca jauh lebih rendah daripada budaya nonton atau video games, budaya menulis lebih rendah daripada budaya lisan, dan budaya diskusi lebih rendah daripada budaya ngobrol dan gosip.
Alhasil, kita mudah sekali tertipu hoaks dan wacana-wacana di media sosial yang menyulut sentimen picik dan konflik. Kita juga mudah melakukan kekerasan sebagai jalan mengatasi konflik, dimana hal ini tidak hanya dilakukan masyarakat kebanyakan tapi justru sering oleh mereka yang hidup dalam lingkungan akademis seperti para guru dan (maha) siswa. Pejabat publik juga begitu. Kita sering membaca tentang bagaimana sidang di sebuah gedung DPR yang terhormat berakhir dengan adu jotos dan saling lempar kursi.
Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Baca Juga : Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu
Banyak hal aneh dan ngawur di negeri ini muncul karena kegagalan dan kegagapan memakai rasionalitas yang sehat, yang turut menjadi indikasi lemahnya budaya ilmiah seperti membaca dan menulis. Barangkali karena orang-orang besar di negeri ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan uang, proyek, citra diri atau teknik-teknik korupsi yang aman daripada mengembangkan budaya ilmiah seperti membaca dan menulis. Barangkali.
Tak berlebihan kiranya jika mengatakan bahwa untuk membentuk demokrasi yang sehat, bangsa yang maju dan beradab, pluralis dan toleran, yang menghargai sejarah, melawan lupa dan banalitas, kita perlu memiliki budaya ilmiah seperti menulis dan membaca. Sejak Yunani kuno hingga sekarang, bangsa-bangsa dengan peradaban maju hampir pasti memiliki etos dan budaya ilmiah yang tinggi. Tanpa budaya menulis dan membaca, bangsa ini akan membusuk.
Tulisan ini saya sudahi dengan kata-kata Wiji Thukul dalam ‘Aku Ingin Jadi Peluru’: “Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan setetes darah”. Menulis dengan tetes darah adalah komitmen setiap penulis sejati, suatu usaha yang membutuhkan pengorbanan dan militansi. Sebab di atas segalanya, menulis itu menghidupkan yang mati.