Menulis Menghidupkan yang Mati

- Admin

Selasa, 20 Juli 2021 - 15:38 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Menulis: Metode atau Seni?

Boleh jadi orang beranggapan menulis itu semata-mata soal metode. Menurut saya, menulis tak sekedar metode, tapi lebih sebagai seni. Sebagai seni, menulis tak punya tolok ukur. Seorang penulis tak harus seorang sarjana, berijazah, atau belajar di fakultas bahasa. Menulis tak ada hubungannya dengan gelar akademis, melainkan sebagaimana Goenawan Mohamad, kemampuan kreatif menuangkan gagasan dalam bahasa yang hidup dan luwes.

Sebagai seni, menulis itu bukan ilham melainkan daya cipta. Ketika Daniel Dhakidae bertanya kepada Rusli, sang pelukis hebat Indonesia, tentang bagaimana caranya Rusli mendapat inspirasi dari melukis, Rusli menjawab bahwa ketika dirinya mulai menetapkan satu titik di kanvas dan ayunkan tangan, saat itulah inspirasi itu datang (Dhakidae, 2015:108)

Baca Juga : Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik
Baca Juga : Perempuan, Iklan dan Logika Properti

Baca juga :  Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis

Demikian pun menulis. Orang-orang bilang, “Saya belum bisa menulis karena inspirasi belum datang”, atau “ide baru mampir kalau rokok dan segelas kopi ada di tangan”. Tapi sebetulnya, inspirasi tak dapat ditunggu seperti itu. Inpsirasi datang ketika jari-jari menyentuh keyboard komputer, ketika kata-kata pertama mulai diketik, yang selanjutnya membentuk kalimat, paragraf hingga sebuah teks yang utuh. Singkatnya inspirasi itu ada di ujung jari. Atau dalam versi Marxian, inspirasi itu (hasil) kerja.

Krisis Budaya Ilmiah

Seruan menulis terasa semakin mendesak di tengah krisis budaya ilmiah yang menimpa semua kalangan. Sekarang ini, budaya membaca jauh lebih rendah daripada budaya nonton atau video games, budaya menulis lebih rendah daripada budaya lisan, dan budaya diskusi lebih rendah daripada budaya ngobrol dan gosip.

Alhasil, kita mudah sekali tertipu hoaks dan wacana-wacana di media sosial yang menyulut sentimen picik dan konflik. Kita juga mudah melakukan kekerasan sebagai jalan mengatasi konflik, dimana hal ini tidak hanya dilakukan masyarakat kebanyakan tapi justru sering oleh mereka yang hidup dalam lingkungan akademis seperti para guru dan (maha) siswa. Pejabat publik juga begitu. Kita sering membaca tentang bagaimana sidang di sebuah gedung DPR yang terhormat berakhir dengan adu jotos dan saling lempar kursi.

Baca juga :  Generasi Serba Salah

Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Baca Juga : Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu

Banyak hal aneh dan ngawur di negeri ini muncul karena kegagalan dan kegagapan memakai rasionalitas yang sehat, yang turut menjadi indikasi lemahnya budaya ilmiah seperti membaca dan menulis. Barangkali karena orang-orang besar di negeri ini lebih banyak menghabiskan waktu untuk memikirkan uang, proyek, citra diri atau teknik-teknik korupsi yang aman daripada mengembangkan budaya ilmiah seperti membaca dan menulis. Barangkali.

Baca juga :  Canggihnya Kamera Smartphone dan Raibnya Nilai Kepahlawanan

Tak berlebihan kiranya jika mengatakan bahwa untuk membentuk demokrasi yang sehat, bangsa yang maju dan beradab, pluralis dan toleran, yang menghargai sejarah, melawan lupa dan banalitas, kita perlu memiliki budaya ilmiah seperti menulis dan membaca. Sejak Yunani kuno hingga sekarang, bangsa-bangsa dengan peradaban maju hampir pasti memiliki etos dan budaya ilmiah yang tinggi. Tanpa budaya menulis dan membaca, bangsa ini akan membusuk.

Tulisan ini saya sudahi dengan kata-kata Wiji Thukul dalam ‘Aku Ingin Jadi Peluru’: “Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan setetes darah”. Menulis dengan tetes darah adalah komitmen setiap penulis sejati, suatu usaha yang membutuhkan pengorbanan dan militansi. Sebab di atas segalanya, menulis itu menghidupkan yang mati.   

Komentar

Berita Terkait

Generasi Serba Salah
Canggihnya Kamera Smartphone dan Raibnya Nilai Kepahlawanan
Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
Berani untuk Percaya Diri?
Wajib Tahu! Enam (6)Tahap Penting dalam Menulis
Berita ini 481 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Rabu, 17 Mei 2023 - 11:05 WITA

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Kelas Belajar Bersama

Kamis, 4 Mei 2023 - 14:47 WITA

Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero Mengadakan PKM di Paroki Uwa, Palue   

Sabtu, 25 Maret 2023 - 06:34 WITA

Masyarakat Sipil Dairi Mendesak Menteri LHK Cabut Izin Persetujuan Lingkungan PT. DPM  

Sabtu, 21 Januari 2023 - 06:50 WITA

Pendekar Indonesia Menggelar Simulasi Pasangan Calon Pimpinan Nasional 2024

Selasa, 17 Januari 2023 - 23:01 WITA

Nasabah BRI Mengaku Kehilangan Uang di BRImo

Berita Terbaru

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA

Politik

Demokrasi dan Kritisisme

Minggu, 18 Feb 2024 - 16:18 WITA