Indodian.com Di zaman yang serba canggih ini, kita sudah tak membutuhkan papan reklame berukuran besar agar foto kita atau foto orang di sekeliling kita dilihat oleh khalayak. Kita pun tak perlu repot menghabiskan biaya, tenaga dan waktu melamar ke salah satu institusi media untuk menjadi bintang film, bintang iklan atau pembawa acara agar menjadi orang yang terkenal.
Kita tinggal menyentuh smartphone, menentukan media sosial yang sesuai kemudian mengunggah foto di sana. Dengan aneka fitur yang dimiliki media sosial, mau foto tentang hal yang menyenangkan, menyebalkan, memalukan atau bahkan menyedihkan, tidak lagi jadi pertimbangan. Yang penting eksis dulu. Yang penting upload dulu. Kekuatan sihir media sosial sungguh memikat setiap penggunanya.
Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
Ilusi tentang popularitas, viralitas dan ketenaran memang membutakan. Pada titik ekstrem, ilusi tentang ketiga hal ini membuat orang-orang kadang merasa ‘terbiasa’ melakukan hal yang memalukan. Sudah jadi barang lazim ketika melihat kecelakaan di jalan, bukannya menolong korban tetapi malah berlomba-lomba mengeluarkan handphone dan mengabadikan peristiwa itu lalu dishare ke media sosial.
Ketika sedang berselancar di beranda maya, mungkin kita pernah menemukan akun-akun yang mengupload foto jenazah atau korban kecelakaan, bahkan menyebutkan identitas korban. Bagaimana perasaan kita ketika melihatnya? Kesal dan emosi? Atau mungkin biasa saja? Saya termasuk dalam kelompok orang yang sangat geram melihat aktivitas orang-orang yang pansos (panjat sosial) di dunia maya dengan mempublikasikan foto atau bahkan video tentang kematian atau kecelakaan orang lain.
Baca Juga : Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik
Baca Juga : Perempuan, Iklan dan Logika Properti
Kematian orang terkasih, siapapun kita yang menghadapinya, tetaplah memaksa mata menurunkan bulir kesedihan. Setegar apapun kita, kehilangan orang terdekat adalah hal paling berat dalam hidup. Tetapi di dalam suasana duka, ada beberapa orang yang menjadikannya momen pansos dengan mengambil foto orang meninggal. Kalau memang mau mengabadikan momen sebagai penghormatan atau menangkap momen terakhir sebelum dikebumikan, kita sebenarnya bisa mengambil foto yang lain. Memotret apalagi merekam tangisan keluarga yang berduka, tanpa disadari juga sebenarnya sudah cukup menghina mereka. Jika ingin panjat sosial, masih ada berbagai macam cara yang lebih baik dan manusiawi, daripada mengambil foto jenazah atau mengabadikan kesedihan kerabat yang berduka lalu dipublikasikan di media sosial.
Kita bisa berusaha menahan diri jika ingin membuat konten tentang seseorang yang meninggal. Konten tentang almarhum atau almarhumah bisa dipakai dalam bentuk lain dengan mempublikasikan foto atau video berisi moment semasa ia hidup. Bisa juga menuliskan narasi singkat tentang kesan atau pengalaman bersamanya sebelum ia menghembuskan nafas terakhir.
Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Baca Juga : Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu
Kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri ataupun tindakan sadisme lainnya pun selalu dijadikan sebagai konten media sosial orang-orang yang ‘nuraninya’ diukur dari jumlah likes, komentar, share atau viewers di media sosial. Yang hilang dari kita adalah nurani. Ketika begitu akrab dengan media sosial, lantas kita merasa segala sesuatu boleh dipublikasikan di media sosial. Segala sesuatu yang ada di dunia nyata diukur dengan insight di dunia maya.
Manusia jenis apa yang memberikan ucapan turut berbelasungkawa ke keluarga duka melalui publikasi di media sosial dengan konten yang sensitif? Disebut apa manusia yang lebih mementingkan kecepatan jari untuk memotret dan menyebarluaskan luka juga duka orang lain tanpa melakukan apapun untuk menolong korban juga menguatkan keluarga yang berduka?
Lupakan ketenaran yang ingin kita dapat di media sosial. Kalau kita ingin berempati, setidaknya banyak jalan yang bisa dipilih. Atau kalau kita ingin popular di media sosial, coba pakai cara yang lebih menarik. Bikin baksos, buka donasi, bantu orang yang kesusahan. Unggahan tersebut di media sosial niscaya akan viral.
Baca Juga : Kisah Yuliana Mijul, Gali Pasir dan Menenun Demi Menyambung Hidup Keluarga
Baca Juga : Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran
Kita bisa mengurangi kecenderungan dengan mencoba memanfaatkan hal apapun menjadi konten, apalagi kesedihan, luka dan duka orang lain. Bayangkan yang meninggal atau kecelakaan adalah keluarga kita, lalu tiba-tiba ada orang lain yang menjepret, membuat vlog atau siaran langsung di media sosial. Apakah kita tidak akan marah? Jika ada yang mengambil foto jenazah yang terbujur kaku atau yang berlumuran darah di jalanan, tanpa sensor lagi, hanya demi menjadi yang paling update dan pertama menyebarkan di media sosial, perasaan kita akan seperti apa? Jika kita merasa bahwa kurang baik, maka jangan dilakukan itu. Jika kita merasa itu hal biasa, maka mungkin ada sesuatu yang salah dalam nurani kita.
Secara eksplisit mungkin tak ada regulasi yang membatasi kita mengambil foto orang yang meninggal. Tetapi ini bukan berarti kita bisa bertindak semaunya saja. Menunjukkan empati semu dengan mempublikasikan foto jenazah atau korban kecelakaan di media sosial sesungguhnya adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi. Cukup negara dan kelompok elitnya yang tertawa bahagia di atas penderitaan rakyat kecil, kita jangan ikutan ramai dengan menggarap kesedihan dan duka orang lain sebagai konten.
Tidak semua hasil dokumentasi, baik foto atau video layak untuk dipublikasikan. Beberapa di antaranya perlu disimpan sebagai arsip pribadi. Kalau kita memotret atau merekam sesuatu (apalagi jika moment berharga), biarkan dia menjadi tempat untuk menabung rindu. Biarkan ia berteman baik dengan segala kenangan di kepala. Mungkin memang di situ tempatnya yang paling tepat.