Merosotnya Nilai-Nilai Antikorupsi di Tubuh KPK

- Admin

Rabu, 18 Agustus 2021 - 13:12 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) terus menuai polemik. Belakangan KPK menolak saran tindakan korektif dari Ombudsman Republik Indonesia. Jika dilihat secara menyeluruh, sikap dan tindakan ini memperlihatkan adanya kemerosotan nilai-nilai antikorupsi di tubuh KPK. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari efek domino revisi Undang-Undang (UU) KPK.

Alumni Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2020 mencatat beberapa kontroversi yang menunjukan ketidakpatuhan KPK sebagai lembaga penegak hukum terhadap hukum dan khususnya sebagai lembaga antirasuah tidak mencerminkan nilai-nilai antikorupsi, antara lain:

Pertama, catatan-catatan pelik terkait upaya pemberantasan korupsi diperparah dengan sikap dan kebijakan di tubuh KPK, terutama komisioner-komisioner pemegang komando tertinggi, dalam menyikapi berbagai fenomena terkait korupsi dewasa ini. Alih-alih menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi sesuai dengan amanat reformasi, KPK seringkali menunjukkan sikap yang tidak konsisten untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Ketua KPK Firli Bahuri dengan tegas mengingatkan pada bulan Maret 2020, bahwa siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi dalam kondisi pandemi akan dijatuhi hukuman mati sesuai dengan aturan yang tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Baca juga :  Korupsi dalam Tinjauan Moral Kristiani  

Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Baca Juga : Aku dan Kisahku

Dalam selang waktu tidak lebih dari sembilan bulan setelahnya, dua orang menteri Kabinet Indonesia Maju terjerat kasus korupsi. Namun, alih-alih membuktikan ketegasan yang ditunjukkan oleh Firli, inkonsistensi KPK mulai nampak ketika Jaksa Penuntut Umum KPK hanya menuntut eks Menteri Sosial Juliari Batubara selama 11 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliar atas dugaan suap. Selain itu, dalam kasus eks Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, tuntutan yang dilayangkan pun hanya 5 tahun dan denda Rp10 miliar.

Baca juga :  Agama, Politik dan Kemaslahatan Bersama

Tak jemu-jemu, inkonsistensi terus dipertontonkan. Sebagaimana telah diketahui, konteks penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), pada 6 Mei 2021 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan pertimbangan yang pada pokoknya menyatakan pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN; tanggal 17 Mei 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan kedudukan TWK bersifat masukan dan tidak boleh menjadi dasar memberhentikan pegawai KPK; tanggal 21 Juli 2021 Ombudsman Republik Indonesia mengumumkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman yang menunjukan bahwa terjadi pelanggaran prosedur penyelenggaraan TWK.

Baca juga :  Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas

Sebelum dikeluarkannya pernyataan oleh ketiga lembaga tersebut, KPK dalam pernyataannya selalu menunjukan sikap patuh terhadap apapun hasil keputusan atau arahan yang diberikan, tapi tindakan yang diambil setelahnya justru selalu bertolak-belakang. Bukan hanya Putusan MK yang tidak dipatuhi, arahan Presiden juga dibelakangi, bahkan saran ORI dilawan! Tentu saja, sikap bermuka dua seperti ini sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai antikorupsi. Justru hal inilah yang mendegradasi kepercayaan publik dan menjadi alasan kuat mempertanyakan sikap antikorupsi KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri cs.

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 5 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA