Indodian.com – Proses alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) terus menuai polemik. Belakangan KPK menolak saran tindakan korektif dari Ombudsman Republik Indonesia. Jika dilihat secara menyeluruh, sikap dan tindakan ini memperlihatkan adanya kemerosotan nilai-nilai antikorupsi di tubuh KPK. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari efek domino revisi Undang-Undang (UU) KPK.
Alumni Akademi Jurnalistik Lawan Korupsi (AJLK) Komisi Pemberantasan Korupsi tahun 2020 mencatat beberapa kontroversi yang menunjukan ketidakpatuhan KPK sebagai lembaga penegak hukum terhadap hukum dan khususnya sebagai lembaga antirasuah tidak mencerminkan nilai-nilai antikorupsi, antara lain:
Pertama, catatan-catatan pelik terkait upaya pemberantasan korupsi diperparah dengan sikap dan kebijakan di tubuh KPK, terutama komisioner-komisioner pemegang komando tertinggi, dalam menyikapi berbagai fenomena terkait korupsi dewasa ini. Alih-alih menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi sesuai dengan amanat reformasi, KPK seringkali menunjukkan sikap yang tidak konsisten untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi. Ketua KPK Firli Bahuri dengan tegas mengingatkan pada bulan Maret 2020, bahwa siapapun yang melakukan tindak pidana korupsi dalam kondisi pandemi akan dijatuhi hukuman mati sesuai dengan aturan yang tertuang dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Baca Juga : Aku dan Kisahku
Dalam selang waktu tidak lebih dari sembilan bulan setelahnya, dua orang menteri Kabinet Indonesia Maju terjerat kasus korupsi. Namun, alih-alih membuktikan ketegasan yang ditunjukkan oleh Firli, inkonsistensi KPK mulai nampak ketika Jaksa Penuntut Umum KPK hanya menuntut eks Menteri Sosial Juliari Batubara selama 11 tahun dan membayar uang pengganti sebesar Rp 14,5 miliar atas dugaan suap. Selain itu, dalam kasus eks Menteri Kelautan dan Perikanan Eddy Prabowo, tuntutan yang dilayangkan pun hanya 5 tahun dan denda Rp10 miliar.
Tak jemu-jemu, inkonsistensi terus dipertontonkan. Sebagaimana telah diketahui, konteks penyelenggaraan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), pada 6 Mei 2021 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan pertimbangan yang pada pokoknya menyatakan pengalihan status pegawai KPK tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN; tanggal 17 Mei 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan kedudukan TWK bersifat masukan dan tidak boleh menjadi dasar memberhentikan pegawai KPK; tanggal 21 Juli 2021 Ombudsman Republik Indonesia mengumumkan Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan Ombudsman yang menunjukan bahwa terjadi pelanggaran prosedur penyelenggaraan TWK.
Sebelum dikeluarkannya pernyataan oleh ketiga lembaga tersebut, KPK dalam pernyataannya selalu menunjukan sikap patuh terhadap apapun hasil keputusan atau arahan yang diberikan, tapi tindakan yang diambil setelahnya justru selalu bertolak-belakang. Bukan hanya Putusan MK yang tidak dipatuhi, arahan Presiden juga dibelakangi, bahkan saran ORI dilawan! Tentu saja, sikap bermuka dua seperti ini sama sekali tidak sejalan dengan nilai-nilai antikorupsi. Justru hal inilah yang mendegradasi kepercayaan publik dan menjadi alasan kuat mempertanyakan sikap antikorupsi KPK dibawah kepemimpinan Firli Bahuri cs.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya