Indodian.com – Tulisan ini bukan suatu pretensi menolak secara total akan pengembangan pariwisata yang sedang berjalan di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Barat dan Manggarai Timur). Ini semacam renungan pribadi (mungkin juga Anda di luar sana) terkait geliat pembangunan pariwisata di bumi Congka Sae .
Sebagai pengantar, saya coba menyodorkan berita yang berjudul “Shana Fatina Tegaskan Pariwisata Jadi Jiwa Manggarai Raya”- diangkat oleh media daring Ekorantt.com (edisi, 6 Januari 2022). Pernyataan Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores ini dalam momentum Sidang Pastoral Post Natal Keuskupan Ruteng yang diselenggarakan di Aula Rumah Retret Bunda Karmel Wae Lengkas, Ruteng-Manggarai (05/01/2022). Sidang pastoral ini menghadirkan juga narasumber lain yakni Bupati Manggarai, Herybertus G. L. Nabit, Bupati Manggarai Barat Editasius Endi, dan Sekda Manggarai Timur Bonifasius Hasundungan.
Ketika saya menganalisis pemberitaan tersebut, terdapat hal menarik dari empat narasumber yang hadir yaitu sama sekali tidak menyinggung konteks pertanian di Manggarai Raya. Sidang pastoral 2022 hanya menyasar poin “partisipasi masyarakat, pariwisata budaya-religi, pariwisata berkelanjutan, berwawasan lingkungan”. Topik pariwisata holistik yang diangkat dalam sidang pastoral 2022 belum mampu menangkap landscape ‘pertanian’ bagian dari garapannya. Hal tersebut, tentu kita hargai karena ada dasar selektivitasnya; mungkin berupa ide, tujuan, fokus proyek dan hal lainnya. Untuk tidak berlebihan, dapat katakan pariwisata Manggarai Raya tanpa membahas isu pertanian sesuatu yang keliru.
Mengapa demikian? Mengutip buku Mencari Indonesia: Batas-batas rekayasa sosial (2007) karya Riwanto, pertanian menjadi sektor yang diandalkan bagi Negara agraris. Kemudian kesamaan dengan konteks manggarai Raya adalah, daerah ini masuk pada kategori masyarakat agraris. Sebagian besar penduduk Manggarai Raya bekerja di bidang pertanian. Pada tataran ini, saya coba masuk di bagian refleksi akan skema permainan pengembangan pariwisata di tanah Nuca Lale dan juga alasan kenapa ‘pertanian’ menjadi poin yang mesti dikembangkan.
Pertama, secara pribadi, sebagai orang yang bergelut di bidang pariwisata (mahasiswa-pekerja pariwisata), tentunya sangat mengapresiasi program kerja pemerintah yang menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan. Lebih lagi wilayah ini (baca: Labuan Bajo) sudah dipredikat sebagai destinasi wisata super premium di Indonesia yang bertaraf internasional. Pelabelan super premium untuk Labuan Bajo hemat saya perlu periksa. Maksudnya adalah keberadaan kita sebagai subyek pembangunan kira-kira di posisi yang mana. Alur berpikir memahami persoalan ini yaitu pahami sikap kita terhadap pariwisata lokal.
Doxey (1976) sudah mengembangkan sebuah teori yang disebut irrindex (irritation index). Model irrindex dari Doxey ini menggambarkan perubahan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan secara linier. Sikap yang mula-mula positif berubah menjadi semakin negatif seiring dengan bertambahnya jumlah wisatawan. Tahapan-tahapan sikap masyarakat lokal terhadap wisatawan mulai dari euphoria, apathy, irritation, annoyance dan antagonism (Doxey, 1975).
Euforia kedatangan wisatawan diterima baik dengan sejuta harapan. Ini terjadi pada fase-fase awal perkembangan pariwisata pada suatu daerah tujuan wisata, dan umumnya daerah tujuan wisata tersebut belum mempunyai perencanaan. Apathy, masyarakat menerima wisatawan sebagai sesuatu yang lumrah, dan hubungan antara masyarakat dengan didominasi oleh hubungan komersial.
Annoyance, titik kejenuhan sudah hampir dicapai, dan masyarakat mulai merasa terganggu dengan kehadiran wisatawan. Perencanaan umumnya berusaha meningkatkan prasarana dan sarana, tetapi belum ada usaha membatasi pertumbuhan. Antagonism, masyarakat terbuka sudah menunjukan ketidaksenangannya, dan melihat wisatawan sebagai sumber masalah. Pada fase ini perencana baru menyadari pentingnya perencanaan menyeluruh (Doxey, 1975 dalam Ben 2018: 220).
Fokus teori Doxey adalah evolusi sikap masyarakat lokal dengan wisatawan. Untuk keperluan relevansi tulisan, istilah ‘wisatawan’ tadi saya coba ubah menjadi kata ‘pariwisata’. Mengacu pada teori Doxey, konteks hadirnya pariwisata di Manggarai Raya-kita berada di level yang mana? Apakah level euphoria: kita melihat pariwisata sebagai ‘sesuatu’ yang menjanjikan dengan sejuta harapan? Level apathy: aktivitas-kebijakan pariwisata sebagai sesuatu yang lumrah? Level annoyance: kita merasa terganggu dengan hadirnya pariwisata? Ataukah fase antagonism: kita tidak menyukai pariwisata karena sebagai sumber masalah? Pertanyaan reflektif tersebut, jawabannya ada dalam fenomena pariwisata dengan segala kompleksitasnya.
Kedua, pariwisata bukanlah entitas tunggal. Pariwisata melibatkan multisektor lainnya. Pada konteks Manggarai Raya tanpa adanya landscape pertanian di dalamnya – ini justru mengabaikan kerangka pemikiran dari pariwisata itu sendiri. Pertanian adalah basis kunci kebudayaan kita dan konsep hospitality sejatinya dibangun di atas basis material tersebut. Lebih jauh lagi – penilaian sedikit subjektif, bahwa bukan investor yang menyekolahkan kita, tapi orang tua kita yang kesehariannya di kebun dan piara babi di rumah dan lain-lain.
Ketika pariwisata dianggap sebagai sumber utama pemberi kesejahteraan, di situ sudah mengandung ide-ide dominatif dan memang terlihat siapa yang mendominasi dan siapa yang rentan. Ironisnya bertani dan lain-lain di Manggarai Raya tiba-tiba saja dipandang sebagai sektor yang melayani industri ini.
Kendati demikian, tidak ada yang salah dengan pembicaraan “Pariwisata Jadi Jiwa Manggarai Raya” karena sifatnya dalam momentum tersebut yang berbicara adalah orang punya wewenang dan kapasitas pada bidang pariwisata. Pada bagian yang lain, industri pariwisata telah membuktikan dirinya sebagai sebuah kekuatan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Wisnawa dkk, 2019: 5).