ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi

- Admin

Rabu, 10 Mei 2023 - 21:40 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – ChatGPT sedang masuk ke dalam ranah diskusi publik akhir-akhir ini. Kekuatan yang ditawarkan oleh ChatGPT sangat besar, dan jutaan orang dari seluruh dunia telah mencoba menemukan kemampuannnya untuk menjawab setiap pertanyaan. Tanpa terkapar oleh kelelahan, kesepian, dan kesakitan, ChatGPT dapat berkomunikasi dengan kita tanpa pandang bulu‒seolah-olah kita sedang membangun komunikasi intersubjektif dengan orang lain.

Kita bisa ajukan pertanyaan tentang apa saja, sejauh ia tahu ia pasti menjawab dengan ketat tanpa bertele-tele. ChatGPT dapat menjadi teman curhat, psikolog, psikiater, dan psikoanalis tatkala kita dikepung oleh pelbagai persoalan, kesulitan, dan kebingungan dalam hidup sehari-hari.

Ia memberikan beberapa panduan, solusi, saran, dan harapan agar kita dapat menjadi orang kaya, jatuh cinta, membangun rumah tangga, mempunyai anak, cara ber-KB, berbisnis, berpolitik, termasuk beragama yang benar.

ChatGPT tidak membatasi dirinya untuk mengungkap definisi atas pertanyaan yang kita ajukan kepadanya atau membuat daftar perbedaan, melainkan menghubungkan dan berpendapat, membuat teks yang koheren yang mempertahankan pendapat di antara berbagai kemungkinan pendapat. AI generatif, teknologi di balik ChatGPT, dapat menulis puisi, novel, menghasilkan gambar yang hampir serupa dengan wajah manusia, membuat musik, dan menyusun teks doa.

Amerika Serikat, China, Spanyol, dan beberapa negara Eropa mulai mempelajari kemungkinan pengaruh terhadap negara dan masyarakat pengguna yang dihasilkan ChatGPT. Sementara itu, pada akhir Maret lalu Italia menghentikan operasi ChatGPT setelah badan pengawas data Italia membatasi pemrosesan data pribadi ChatGPT. Badan pengawasan data Italia menyelediki dugaan pelanggaran aturan privasi oleh ChatGPT.

Namun beberapa hari kemudian, Pasquale Stanzione, ketua badan pengawas data Italia, mengatakan siap untuk membuka kembali ChatGPT pada 30 April 2023 lalu jika OpenAI bersedia mengambil langkah-langkah positif bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Italia.

AI Menciptakan Agama Baru?

Anne Foerst, dalam bukunya God In the Machine: What Robots Teach Us About Humanity and God (New York, NY: Dutton, 2004), mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan masa depan trans-manusia di mana robot dan manusia hidup berdampingan atau mungkin juga robot dan manusia bergabung menjadi spesies cyborg baru. Anne Foerst sesungguhnya mempertimbangkan apa artinya menjadi manusia, memiliki jiwa, dan mempunyai relasi kesalingan-setimpal dengan Tuhan di tengah kemajuan teknologi canggih.

Menariknya tekonologi ini menghapus hirearki dan superioritas dalam mengakses ilmu pengetahuan. Ia membuka peluang sebesar-besarnya bagi semua orang mengakses ilmu pengetahuan, ideologi ekononi politik, mendirikan agama baru, dan berkomunikasi langsung Tuhan setiap waktu. Neil McArthur (2023) berpendapat bahwa bukan tidak mungkin ada agama baru yang dihasilkan oleh AI.  Lalu apakah AI dapat menciptakan agama baru? Tentu saja. Mengapa AI tidak dapat menciptakan agama baru?

Baca juga :  Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?

Inilah babak baru sejarah peradaban manusia. Masa depan manusia digital tidak hanya berurusan dengan agama-agama tradisional, keyakinan-keyakinan konservatif, dan model penghayatan iman yang dogmatis: suka mengklaim kebenaran tunggal dan/atau ketunggalan kebenaran satu agama serentak mengkafirkan pemeluk agama yang lain; agamaisasi politik-politisasi agama; hirearki dalam pengenalan dan penguasaan akan pengetahuan tentang agama, Tuhan, dan semua ciptaan‒seolah-olah hanya orang/keturunan tertentu yang bisa mengenal dan mengakses Yang Ilahi.

AI memungkinkan kurang terjadinya praktik pembakaran rumah ibadat atau pelarangan pembangunan rumah umat beragama lain berbasis kepentingan agama tertentu. AI memungkinkan rumah ibadat kesepian, kedinginan, dan keletihan setelah menunggu pemeluk agama yang sentimentalis, fundamentalis, radikalis, dan teroris, tetapi kedamaian dan kebebasan hidup terjamin. “Agama AI”, tulis Neil McArthur, “kurang hirearkis, karena tidak ada yang dapat mengklaim punya akses khusus kepada kebijaksanaan ilahi”.

Efek Bumerang AI

Terlepas dari beberapa manfaat positif di atas, AI generatif ini dapat merekam dan mencuri data pribadi pengguna, data penagihan, dan percakapan untuk kepentingan tertentu. Salah satunya adalah algoritma. Selain itu teknologi ini akan menggantikan pekerja dengan mengotomatisasi banyak tenaga kerja, menyebarkan hoaks, misinformasi, serangan siber, propaganda digital, menyalahi hak cipta, melakukan kompromisasi pada privasi, dan membocorkan informasi sensitif (Mediaindonesia.com, 25/04/2023).

Efeknya tidak hanya pada ranah privat seperti data pribadi, tetapi juga data-data negara. Data-data negara berkaitan dengan kebijakan politik, ekonomi, agama, Pendidikan, kebudayaan, sejarah, dan segala sesuatu yang menjadi arsip penting negara. Apabila teknologi ini menyerang beberapa data penting negara, negara akan huru-hara untuk menyelamatkannya. Tetapi jauh sebelum teknologi ini muncul, penyerangan siber dan perncurian data negara pernah terjadi.

Manusia mula-mula menciptakan, mengatur, dan menguasai teknologi, tetapi kemudian ia dikuasai oleh teknologi. Mula-mula manusia berperilaku sebagai subjek atas teknologi, tetapi kemudian diobjekkan oleh teknologi. Homo digitalis lebih gandrung di ruang digital daripada ruang korporeal.

Akibatnya kehadiran korporeal menjadi kurang aktual, dan dengannya mengikis dimensi historisitas, rasionalitas, dan pemaknaan hidup. Kehadiran korporeal menjadi telepresen, sedangkan kehadiran digital menjadi omnipresen‒namun tidak lebih dari avatar 3D. Seperti roh, kehadiran digital tidak mesti menghadirkan atau dihadirkan manusia bertubuh biologis, tetapi cukup dengan kehadiran pesan, chatbots, voice bot, voice note, emoticon, emoji, bitemoji, gif picture/video 3D, stiker, dan seterusnya. Kehadiran emotikon, emoji, pesan suara, dst. lebih penting daripada kehadiran manusia korporeal yang bertubuh.

Baca juga :  Zen, sebuah Agama Baru?

Pada momen lain kami berpendapat kita sedang hidup di era emotikon: kehadiran digital (emotikon) lebih menghibur daripada kehadiran korporeal (tubuh biologis yang nyata). Namun demikan ada ketakutan: kehadiran nyata yang didekorprealisasikan kehadiran emotikon akan mengkhianati kebutuhan-kebutuhan nyata kita, seperti cinta, makan/minum, pelukan, penyembuhan, pengakuan, perhatian, pembebasan, dan keadilan.

Apabila beberapa dari kebutuhan dasariah itu tidak terpenuhi, kita akan mengalami krisis makna. Krisis makna adalah krisis hidup. Di sinilah teknologi ternyata memiliki efek bumerang: Menyerang kembali pusat kesadaran dan aktivitas pencariaan makna dari sang subjek. Krisis makna juga dapat terjadi karena krisisnya/ terbungkamnya pertanyaan-pertanyaan kritis, refleksi-refleksi rasional, dan pertimbangan-pertimbangan progresif.

Tugas Filsafat Teknologi

Filsafat tidak pernah mati atau dapat dibunuh dengan teknologi canggih apa pun: Filsafat bisa mendahului, menengahi (mempertimbangkan secara rasional), dan mengevaluasi secara kritis terhadap setiap perkembangan. Filsafat teknologi adalah refleksi sistematis atas hakikat realitas (ontologi), tataran cara-pandang/keterpahaman realitas (epistemologi), dan sikap terhadap realitas/ tataran praksis (aksiologi).

Filsafat teknologi sering berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa itu teknologi? Bagaimana teknologi dibedakan dari bentuk pengetahuan lainnya? Bagaimana teori-teori ilmiah dibangun dan divalidasi? Bagaimana data empiris berhubungan dengan teori-teori ilmiah? Apa peran observasi dan penelitian dalam teknologi? Bagaimana hubungan teknologi dan manusia? Kami tidak sedang menjelaskan semuanya itu, tetapi mengungkapkan beberapa tugas filsafat teknologi pada era kecerdasan buatan (AI) ini.

Pertama, filsafat teknologi dapat memberikan kerangka konseptual untuk memahami sifat dan batasan pengetahuan ilmiah tentang ChatGPT. Ini mengandaikan adanya refleksi sistematis atas realitas ChatGPT (aspek ontologi) sebelumnya. Sebagai pengetahuan reflektif, filsafat membongkar ambivalensi dan paradoks yang dihasilkan oleh teknologi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, dan memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penggunaan teknologi tanpa mendaruratkan kemanusiaan kita (F. Budi Hardiman, 2021).

Filsafat dapat membantu kita untuk memahami bahwa: (1) teknologi adalah proses membangun pengetahuan yang berkelanjutan, (2) ChatGPT bukanlah kebenaran mutlak melainkan penjelasan sementara yang dapat berubah, dan direvisi, dan (3) ChatGPT tidak dapat memberikan jawaban pasti untuk semua pertanyaan.

Baca juga :  Dari Pasifisme ke Pasifisme Proaktif: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang

Kedua, sebagai pengetahuan kritis, filsafat teknologi membantu kita merefleksi, mempertimbangkan, dan mengkritisi setiap informasi baru, perkembangan ilmu pengetahuan, propaganda digital, propaganda agama, klaim kebenaran, kebebasan di ruang digital, keindahan artifisial, gerakan terorisme digital, buzzer politik digital, akun robot, hoaks, dll., yang cenderung sensasional, sensual, irasional, dan kontroversial.

Di era screenshot, share it, dan viralisasi ini, kita tidak dapat lagi berbohong, dan menipu seperti yang sering kali kita lakukan di ruang korporeal/nyata sebelumnya. Kalau kita tetap nekat berbohong dan menipu, kebohongan dan penipuan kita mudah terekam dan tersebar di mana-mana. Bila kebohongan dan penipuan kita sudah terekam dan tersebar di mana-mana, harga diri kita pun mendadak tercerabut. Daya kritis dan refleksi filosofis membantu kita menemukan siapa kita (subjektivitas), relasi kesalingan-setimpal dengan sesama (intersubjektif), dan aktivitas kita di ruang digital.

Ketiga, filsafat teknologi dapat membantu kita memahami aspek etis dan sosial dari penggunaan teknologi. Filsafat teknologi dapat membantu kita bagaimana teknologi dapat berdampak positif atau negatif bagi kita, masyarakat, ekologi, dan bagaimana nilai dan norma dapat memengaruhi keputusan kita.

Kita dapat memperoleh manfaat dari pemahaman dasar filosofi teknologi untuk mengatasi masalah etika dan sosial yang terkait dengan penelitian ilmiah, seperti manipulasi genetik, kecerdasan buatan, privasi data, akses yang adil ke informasi, teknologi, dan lain-lain. Sebagai pengetahuan praktis, filsafat teknologi “harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari sopan santun, kode etik, asas-asas moral, sampai pada tuntutan hak-hak komunikasi warga digital” (F. Budi Hardiman, 2021). Filsafat teknologi mesti mempromosikan kebenaran, keadilan, kebebasan, dan keindahan tanpa direkayasa atau dimanipulasi oleh teknologi.  

Beberapa Minggu lalu (Reuters, 18 April 2023), Elon Musk mengatakan akan meluncurkan TrutGPT. “I’m going to start something which I call ‘TruthGPT’, or a maximum truth-seeking AI that tries to understand the nature of the universe,” katanya. Elon Musk berharap: TruthGPT “might be the best path to safety” that would be “unlikely to annihilate humans”.

Namun demikian apa bentuk dan cara kerja TruthGPT, itu adalah kecerdasan buatan yang rentan dimanipulasi dan direkayasa. Kebenaran, kebebasan, keindahan, dan keamanan tetap ada dalam diri setiap manusia yang tidak mencela atau mengutuk filsafat‒sebab filsuf adalah manusia bukan teknologi!

Komentar

Berita Terkait

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!
Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Berita ini 133 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA