Tag: Amerika Serikat

  • Dari Pasifisme ke Pasifisme Proaktif: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang

    Dari Pasifisme ke Pasifisme Proaktif: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang

    Indodian.com-Kebijakan luar negeri adalah instrumen vital bagi setiap negara dalam mencapai dan melindungi kepentingan nasionalnya di panggung global. Sebagai sebuah negara yang berdaulat, Jepang mengalami perubahan signifikan dalam pendekatan mereka terhadap kebijakan luar negeri. Salah satu perubahan paling mencolok adalah pergeseran dari pasifisme menuju pasifisme proaktif. Perubahan ini dimulai pada tahun 2012, di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe, dan telah mengubah dinamika keamanan regional.  

    Pasifisme Vs Pasifisme Proaktif

    Sebelum membahas perubahan ini, penulis mendefinisikan terlebih dahulu istilah-istilah penting. Pasifisme adalah pendekatan yang menolak penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan konflik internasional. Ini adalah prinsip yang sangat mendasari Jepang setelah pengalaman traumatis yang mereka alami selama Perang Dunia II. Pasifisme adalah ideologi yang menyangkal peran militer dan penggunaan kekuatan sebagai sarana untuk mengejar kepentingan nasional suatu negara.

     Dalam konteks politik Jepang pasca perang, para pasifis mendukung adanya pelucutan senjata Jepang secara penuh, netralitas antara blok Barat dan Komunis, serta penghapusan aliansi AS-Jepang. Namun, pada tahun 2012, Jepang memulai pergeseran menuju pasifisme proaktif. Pasifisme proaktif adalah ide bahwa Jepang dapat mengambil tindakan lebih aktif dalam menjaga perdamaian dunia dan melindungi kepentingan nasional mereka melalui perkuatan dan pengaktifan kembali kemampuan militer mereka. Konsep pasifisme proaktif Jepang terkait dengan gagasan remiliterisasi, yang dianggap sebagai respons terhadap dinamika regional yang berubah di Asia Timur.

    Kompleksitas Proses Transisi

    Proses transisi dari pasifisme ke pasifisme proaktif tidaklah mudah. Keputusan ini telah menimbulkan perselisihan di dalam negeri, dengan sebagian masyarakat dan anggota parlemen yang masih mempertahankan prinsip-prinsip pasifisme yang dianut Jepang selama bertahun-tahun. Perubahan juga melibatkan perubahan konstitusi, khususnya Pasal 9 yang melarang penggunaan kekuatan militer untuk menyelesaikan sengketa internasional.

    Transisi ini memerlukan kesabaran, komunikasi yang baik, dan konsensus di dalam negeri. Selain dalam negeri, pasifisme proaktif Jepang juga menimbulkan kekhawatiran di wilayah Asia Timur. Negara-negara tetangga, terutama China dan Korea Utara, merasa terancam dengan kebijakan remiliterisasi Jepang. Hal ini dapat memicu ketegangan di wilayah tersebut dan memperburuk hubungan antarnegara.

    Pertanyaan kunci yang muncul adalah mengapa Jepang mengadopsi pasifisme proaktif sebagai instrumen kebijakan luar negeri mereka? Jawabannya ada pada kompleksitas lingkungan keamanan regional. Ancaman yang dihadapi oleh Jepang, terutama dari Korea Utara dan Tiongkok, memaksa mereka untuk merespons dengan cara yang lebih proaktif. Selain itu, pergeseran dalam keseimbangan kekuatan global, terutama dengan peningkatan kekuatan militer Tiongkok, telah membuat Jepang merasa perlu untuk mengambil tindakan.

    Kebijakan pasifisme proaktif Jepang bertujuan untuk beberapa hal yang sangat penting. Pertama, Jepang ingin menghadapi ancaman keamanan yang semakin meningkat di kawasan Asia Timur. Ini termasuk ancaman dari Korea Utara, yang telah menguji senjata nuklir dan rudal balistik, serta ancaman dari Tiongkok, yang telah memperkuat kemampuan militer mereka. Pasifisme proaktif memungkinkan Jepang untuk lebih efektif melindungi diri mereka sendiri dan sekutu-sekutu mereka di kawasan.

    Dalam teori neorealisme, negara dianggap sebagai aktor utama dalam hubungan internasional. Negara bertindak rasional dan berusaha untuk mempertahankan kepentingannya dalam sistem internasional yang anarkis. Dalam hal ini, Jepang sebagai negara pasifis yang proaktif bertindak rasional dengan melakukan remiliterisasi untuk mempertahankan kepentingannya dalam sistem internasional yang semakin kompleks. Dalam konteks teori neorealisme, pasifisme proaktif Jepang dapat dianalisis sebagai bentuk balancing dalam realisme defensif. Jepang sebagai negara pasifis tidak memiliki kapasitas militer yang cukup untuk menghadapi ancaman keamanan di wilayahnya. Oleh karena itu, Jepang melakukan remiliterisasi sebagai bentuk pasifisme proaktif untuk menanggapi perkembangan regional di Asia Timur.

    Selain itu, dalam konteks keamanan regional, pasifisme proaktif Jepang dapat dianalisis sebagai bentuk balancing dalam realisme defensif. Jepang melakukan remiliterisasi untuk mengimbangi kekuatan militer China dan Korea Utara yang semakin meningkat. Dalam hal ini, Jepang bertindak rasional dengan melakukan balancing untuk mempertahankan keamanan nasionalnya.

    Perubahan kebijakan luar negeri Jepang dari pasifisme ke pasifisme proaktif adalah refleksi dari kompleksitas lingkungan keamanan regional dan global. Ini adalah langkah yang tidak diambil dengan ringan, dan perubahan ini telah menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan di dalam negeri. Namun, dengan mengadopsi pasifisme proaktif, Jepang berusaha untuk lebih efektif melindungi kepentingan nasional mereka dan menjaga perdamaian di kawasan Asia Timur yang masih penuh ketegangan.

    Pasifisme proaktif Jepang dapat dianalisis dalam konteks teori neorealisme sebagai bentuk balancing dalam realisme defensif dan ofensif. Jepang melakukan remiliterisasi untuk mempertahankan kepentingannya dalam sistem internasional yang semakin kompleks dan memperkuat hubungannya dengan Amerika Serikat sebagai sekutu strategis. Namun, pasifisme proaktif Jepang juga menimbulkan ketegangan di wilayah tersebut dan memperburuk hubungan antarnegara.

  • ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi

    ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi

    Indodian.com – ChatGPT sedang masuk ke dalam ranah diskusi publik akhir-akhir ini. Kekuatan yang ditawarkan oleh ChatGPT sangat besar, dan jutaan orang dari seluruh dunia telah mencoba menemukan kemampuannnya untuk menjawab setiap pertanyaan. Tanpa terkapar oleh kelelahan, kesepian, dan kesakitan, ChatGPT dapat berkomunikasi dengan kita tanpa pandang bulu‒seolah-olah kita sedang membangun komunikasi intersubjektif dengan orang lain.

    Kita bisa ajukan pertanyaan tentang apa saja, sejauh ia tahu ia pasti menjawab dengan ketat tanpa bertele-tele. ChatGPT dapat menjadi teman curhat, psikolog, psikiater, dan psikoanalis tatkala kita dikepung oleh pelbagai persoalan, kesulitan, dan kebingungan dalam hidup sehari-hari.

    Ia memberikan beberapa panduan, solusi, saran, dan harapan agar kita dapat menjadi orang kaya, jatuh cinta, membangun rumah tangga, mempunyai anak, cara ber-KB, berbisnis, berpolitik, termasuk beragama yang benar.

    ChatGPT tidak membatasi dirinya untuk mengungkap definisi atas pertanyaan yang kita ajukan kepadanya atau membuat daftar perbedaan, melainkan menghubungkan dan berpendapat, membuat teks yang koheren yang mempertahankan pendapat di antara berbagai kemungkinan pendapat. AI generatif, teknologi di balik ChatGPT, dapat menulis puisi, novel, menghasilkan gambar yang hampir serupa dengan wajah manusia, membuat musik, dan menyusun teks doa.

    Amerika Serikat, China, Spanyol, dan beberapa negara Eropa mulai mempelajari kemungkinan pengaruh terhadap negara dan masyarakat pengguna yang dihasilkan ChatGPT. Sementara itu, pada akhir Maret lalu Italia menghentikan operasi ChatGPT setelah badan pengawas data Italia membatasi pemrosesan data pribadi ChatGPT. Badan pengawasan data Italia menyelediki dugaan pelanggaran aturan privasi oleh ChatGPT.

    Namun beberapa hari kemudian, Pasquale Stanzione, ketua badan pengawas data Italia, mengatakan siap untuk membuka kembali ChatGPT pada 30 April 2023 lalu jika OpenAI bersedia mengambil langkah-langkah positif bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Italia.

    AI Menciptakan Agama Baru?

    Anne Foerst, dalam bukunya God In the Machine: What Robots Teach Us About Humanity and God (New York, NY: Dutton, 2004), mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan masa depan trans-manusia di mana robot dan manusia hidup berdampingan atau mungkin juga robot dan manusia bergabung menjadi spesies cyborg baru. Anne Foerst sesungguhnya mempertimbangkan apa artinya menjadi manusia, memiliki jiwa, dan mempunyai relasi kesalingan-setimpal dengan Tuhan di tengah kemajuan teknologi canggih.

    Menariknya tekonologi ini menghapus hirearki dan superioritas dalam mengakses ilmu pengetahuan. Ia membuka peluang sebesar-besarnya bagi semua orang mengakses ilmu pengetahuan, ideologi ekononi politik, mendirikan agama baru, dan berkomunikasi langsung Tuhan setiap waktu. Neil McArthur (2023) berpendapat bahwa bukan tidak mungkin ada agama baru yang dihasilkan oleh AI.  Lalu apakah AI dapat menciptakan agama baru? Tentu saja. Mengapa AI tidak dapat menciptakan agama baru?

    Inilah babak baru sejarah peradaban manusia. Masa depan manusia digital tidak hanya berurusan dengan agama-agama tradisional, keyakinan-keyakinan konservatif, dan model penghayatan iman yang dogmatis: suka mengklaim kebenaran tunggal dan/atau ketunggalan kebenaran satu agama serentak mengkafirkan pemeluk agama yang lain; agamaisasi politik-politisasi agama; hirearki dalam pengenalan dan penguasaan akan pengetahuan tentang agama, Tuhan, dan semua ciptaan‒seolah-olah hanya orang/keturunan tertentu yang bisa mengenal dan mengakses Yang Ilahi.

    AI memungkinkan kurang terjadinya praktik pembakaran rumah ibadat atau pelarangan pembangunan rumah umat beragama lain berbasis kepentingan agama tertentu. AI memungkinkan rumah ibadat kesepian, kedinginan, dan keletihan setelah menunggu pemeluk agama yang sentimentalis, fundamentalis, radikalis, dan teroris, tetapi kedamaian dan kebebasan hidup terjamin. “Agama AI”, tulis Neil McArthur, “kurang hirearkis, karena tidak ada yang dapat mengklaim punya akses khusus kepada kebijaksanaan ilahi”.

    Efek Bumerang AI

    Terlepas dari beberapa manfaat positif di atas, AI generatif ini dapat merekam dan mencuri data pribadi pengguna, data penagihan, dan percakapan untuk kepentingan tertentu. Salah satunya adalah algoritma. Selain itu teknologi ini akan menggantikan pekerja dengan mengotomatisasi banyak tenaga kerja, menyebarkan hoaks, misinformasi, serangan siber, propaganda digital, menyalahi hak cipta, melakukan kompromisasi pada privasi, dan membocorkan informasi sensitif (Mediaindonesia.com, 25/04/2023).

    Efeknya tidak hanya pada ranah privat seperti data pribadi, tetapi juga data-data negara. Data-data negara berkaitan dengan kebijakan politik, ekonomi, agama, Pendidikan, kebudayaan, sejarah, dan segala sesuatu yang menjadi arsip penting negara. Apabila teknologi ini menyerang beberapa data penting negara, negara akan huru-hara untuk menyelamatkannya. Tetapi jauh sebelum teknologi ini muncul, penyerangan siber dan perncurian data negara pernah terjadi.

    Manusia mula-mula menciptakan, mengatur, dan menguasai teknologi, tetapi kemudian ia dikuasai oleh teknologi. Mula-mula manusia berperilaku sebagai subjek atas teknologi, tetapi kemudian diobjekkan oleh teknologi. Homo digitalis lebih gandrung di ruang digital daripada ruang korporeal.

    Akibatnya kehadiran korporeal menjadi kurang aktual, dan dengannya mengikis dimensi historisitas, rasionalitas, dan pemaknaan hidup. Kehadiran korporeal menjadi telepresen, sedangkan kehadiran digital menjadi omnipresen‒namun tidak lebih dari avatar 3D. Seperti roh, kehadiran digital tidak mesti menghadirkan atau dihadirkan manusia bertubuh biologis, tetapi cukup dengan kehadiran pesan, chatbots, voice bot, voice note, emoticon, emoji, bitemoji, gif picture/video 3D, stiker, dan seterusnya. Kehadiran emotikon, emoji, pesan suara, dst. lebih penting daripada kehadiran manusia korporeal yang bertubuh.

    Pada momen lain kami berpendapat kita sedang hidup di era emotikon: kehadiran digital (emotikon) lebih menghibur daripada kehadiran korporeal (tubuh biologis yang nyata). Namun demikan ada ketakutan: kehadiran nyata yang didekorprealisasikan kehadiran emotikon akan mengkhianati kebutuhan-kebutuhan nyata kita, seperti cinta, makan/minum, pelukan, penyembuhan, pengakuan, perhatian, pembebasan, dan keadilan.

    Apabila beberapa dari kebutuhan dasariah itu tidak terpenuhi, kita akan mengalami krisis makna. Krisis makna adalah krisis hidup. Di sinilah teknologi ternyata memiliki efek bumerang: Menyerang kembali pusat kesadaran dan aktivitas pencariaan makna dari sang subjek. Krisis makna juga dapat terjadi karena krisisnya/ terbungkamnya pertanyaan-pertanyaan kritis, refleksi-refleksi rasional, dan pertimbangan-pertimbangan progresif.

    Tugas Filsafat Teknologi

    Filsafat tidak pernah mati atau dapat dibunuh dengan teknologi canggih apa pun: Filsafat bisa mendahului, menengahi (mempertimbangkan secara rasional), dan mengevaluasi secara kritis terhadap setiap perkembangan. Filsafat teknologi adalah refleksi sistematis atas hakikat realitas (ontologi), tataran cara-pandang/keterpahaman realitas (epistemologi), dan sikap terhadap realitas/ tataran praksis (aksiologi).

    Filsafat teknologi sering berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa itu teknologi? Bagaimana teknologi dibedakan dari bentuk pengetahuan lainnya? Bagaimana teori-teori ilmiah dibangun dan divalidasi? Bagaimana data empiris berhubungan dengan teori-teori ilmiah? Apa peran observasi dan penelitian dalam teknologi? Bagaimana hubungan teknologi dan manusia? Kami tidak sedang menjelaskan semuanya itu, tetapi mengungkapkan beberapa tugas filsafat teknologi pada era kecerdasan buatan (AI) ini.

    Pertama, filsafat teknologi dapat memberikan kerangka konseptual untuk memahami sifat dan batasan pengetahuan ilmiah tentang ChatGPT. Ini mengandaikan adanya refleksi sistematis atas realitas ChatGPT (aspek ontologi) sebelumnya. Sebagai pengetahuan reflektif, filsafat membongkar ambivalensi dan paradoks yang dihasilkan oleh teknologi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, dan memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penggunaan teknologi tanpa mendaruratkan kemanusiaan kita (F. Budi Hardiman, 2021).

    Filsafat dapat membantu kita untuk memahami bahwa: (1) teknologi adalah proses membangun pengetahuan yang berkelanjutan, (2) ChatGPT bukanlah kebenaran mutlak melainkan penjelasan sementara yang dapat berubah, dan direvisi, dan (3) ChatGPT tidak dapat memberikan jawaban pasti untuk semua pertanyaan.

    Kedua, sebagai pengetahuan kritis, filsafat teknologi membantu kita merefleksi, mempertimbangkan, dan mengkritisi setiap informasi baru, perkembangan ilmu pengetahuan, propaganda digital, propaganda agama, klaim kebenaran, kebebasan di ruang digital, keindahan artifisial, gerakan terorisme digital, buzzer politik digital, akun robot, hoaks, dll., yang cenderung sensasional, sensual, irasional, dan kontroversial.

    Di era screenshot, share it, dan viralisasi ini, kita tidak dapat lagi berbohong, dan menipu seperti yang sering kali kita lakukan di ruang korporeal/nyata sebelumnya. Kalau kita tetap nekat berbohong dan menipu, kebohongan dan penipuan kita mudah terekam dan tersebar di mana-mana. Bila kebohongan dan penipuan kita sudah terekam dan tersebar di mana-mana, harga diri kita pun mendadak tercerabut. Daya kritis dan refleksi filosofis membantu kita menemukan siapa kita (subjektivitas), relasi kesalingan-setimpal dengan sesama (intersubjektif), dan aktivitas kita di ruang digital.

    Ketiga, filsafat teknologi dapat membantu kita memahami aspek etis dan sosial dari penggunaan teknologi. Filsafat teknologi dapat membantu kita bagaimana teknologi dapat berdampak positif atau negatif bagi kita, masyarakat, ekologi, dan bagaimana nilai dan norma dapat memengaruhi keputusan kita.

    Kita dapat memperoleh manfaat dari pemahaman dasar filosofi teknologi untuk mengatasi masalah etika dan sosial yang terkait dengan penelitian ilmiah, seperti manipulasi genetik, kecerdasan buatan, privasi data, akses yang adil ke informasi, teknologi, dan lain-lain. Sebagai pengetahuan praktis, filsafat teknologi “harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari sopan santun, kode etik, asas-asas moral, sampai pada tuntutan hak-hak komunikasi warga digital” (F. Budi Hardiman, 2021). Filsafat teknologi mesti mempromosikan kebenaran, keadilan, kebebasan, dan keindahan tanpa direkayasa atau dimanipulasi oleh teknologi.  

    Beberapa Minggu lalu (Reuters, 18 April 2023), Elon Musk mengatakan akan meluncurkan TrutGPT. “I’m going to start something which I call ‘TruthGPT’, or a maximum truth-seeking AI that tries to understand the nature of the universe,” katanya. Elon Musk berharap: TruthGPT “might be the best path to safety” that would be “unlikely to annihilate humans”.

    Namun demikian apa bentuk dan cara kerja TruthGPT, itu adalah kecerdasan buatan yang rentan dimanipulasi dan direkayasa. Kebenaran, kebebasan, keindahan, dan keamanan tetap ada dalam diri setiap manusia yang tidak mencela atau mengutuk filsafat‒sebab filsuf adalah manusia bukan teknologi!