Tag: Filsafat Teknologi

  • Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi

    Emotikon, Krisis Perhatian dan Filsafat Teknologi

    Indodian.com – Teknologi mengubah cara kita berkomunikasi, mengajar, menasehati, berkhotbah, memberi kuliah, berdagang, bertransaksi, dan bertahan hidup sejak beberapa dekade lalu. Kita berkomunikasi, mengikuti pertemuan, mengadakan seminar, melangsungkan perkuliahan, menyembuhkan, sekolah, berbisnis, mengobati rindu dengan orang-orang tercinta, dan berdoa tidak mesti hadir secara presen, tetapi bisa juga telepresen (kehadiran jarak jauh) lewat platform-platform digital. Teknologi menawarkan berkat baru bagi umat manusia.   

    Kita mungkin tidak hadir atau berada secara fisik di wilayah lain, tetapi foto, gambar, tulisan, dan video kita diakses, ditonton, dan dilihat di mana-mana. Kita tidak perlu membeli tiket pesawat yang mahal, memikirkan penginapan mewah, dan tempat-tempat wisata untuk dapat melihat Spanyol, sebab Spanyol dapat ditemukan, dan dijelajahi dari sudut ke sudut kapan dan di mana saja di jagat digital itu.

    Gadis-gadis cantik Spanyol dapat ditemukan di media sosial. Begitu pun kemiskinan dan perdagangan manusia di NTT, pelanggaran HAM di Papua, dan pemerkosaan dan mutilasi di Indonesia yang nyaris terjadi tiap hari, justru lebih terbuka di ruang digital daripada di ruang nyata.

    Teknologi dan Omnipresencia

    Saya coba menguraikan sedikit bagaimana teknologi begitu membantu dan memanjakan kita. Sebelum terbang ke Jakarta September 2022 lalu, kawan saya memesan tiket pesawat lewat Traveloka. Supaya tidak repot memegang kartu vaksin Covid-19, kami mengunduh Peduli Lindungi (sekarang SATUSEHAT Mobile).

    Sesampai di Bandara Internasional Soekarno–Hatta, Jakarta, kami tidak perlu repot-repot mencari travel di luar bandara, kami tinggal pilih salah satu jasa travel lewat Gojek, Grab, Maxim, MyBluerbird, dll. Dua bulan menunggu visa di Jakarta, kami membeli buku, pakaian, koper, dan lain-lain lewat Tokopedia, Lazada, Shopee, dan lain-lain.

    Menjelang ibu saya merayakan ulang tahun dan Natal 2022, saya kirim kado dari Jakarta menuju kampung Mbawar, Manggarai, NTT lewat jasa JNE Express, hanya habis waktu tiga hari. Di Jakarta, sesekali kami masuk McDonald, KFC, Starbucks, dll dengan sistem teknologi canggih.

    Pada 25 November 2022 setelah tiba di Bandara Doha, Qatar, kami memberi kabar kepada keluarga di rumah dengan video call lewat WhatsApp. Dari Hamad, Qatar menuju Adoldo Suárez Madrid, dengan maskapai Qatar Airways QR151 kami menonton film sesuka hati, dan menonton pertandingan bola piala dunia di atas udara di layar TV masing-masing.

    Selama di Madrid, Spanyol saya mengikuti beberapa seminar, webinar, dan pertemuan dengan kawan-kawan di Indonesia lewat Zoom meeting. Sebelum dan sesudah studi bahasa Spanyol, saya mendengarkan lagu Bahasa Spanyol dan Inggris lewat Spotify. Ketika jenuh belajar, saya menonton video-video menarik di TikTok atau Instagram.

    Di Spanyol ketika kami memasuki bar, cafetería atau restaurant, saya sering temukan orang-orang membayar pesanan dengan scanning Kartu Bank atau aplikasi Bank di Hp. Begitu kami sakit gigi, di klinik gigi, gigi-gigi diperiksa secara lengkap, dan ditambal dengan bantuan teknologi canggih, dan hasilnya sangat memuaskan.  

    Uraian di atas mau menunjukkan teknologi membantu dan mempermudah urusan-urusan kita pada era ini. Teknologi memungkinkan kita bisa hadir di mana-mana (omnipresencia), yang hadir di mana-mana (omnipresente) dan juga yang berkuasa di mana-mana (omnipetente). Pada era teknologi ini, kita tidak kesulitan mencapai apa tujuan kita dan apa yang kita butuhkan.

    Teknologi memang memberi tahu kita bagaimana mencapai tujuan kita melalui alat-alat dan terminologi-terminologi teknologis seperti kemajuan, peradaban, modern, progresivitas. Namun teknologi tidak memberi tahu kita apa tujuan hidup kita. Tujuan hidup kita dan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan filosofis Robert W. McGee di atas, kita membutuhkan filsafat. Filsafat membantu kita menemukan subjek diri, berpikir kritis terhadap realitas, dan bertindak etis, juga pada era teknologi ini. 

    Teknologi sebagai Problem Filosofis

    Teknologi tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti yang ditulis oleh Robert W. McGee (2023): “1. What is the nature of reality? 2. What is the meaning of life? 3. What is knowledge and how is it acquired? 4. What is the relationship between mind and body? 5. What is the role of consciousness in the world? 6. What is free will and how does it relate to determinism? 7. What is the nature of moral value and obligation? 8. What is the nature of beauty and aesthetic experience? 9. What is the relationship between language and thought? 10. What is the nature of truth? 11. What is the nature of existence? 12. What is the relationship between the individual and society? 13. What is the role of religion in society and human experience? 14. What is the nature of time? 15. What is the relationship between reason and faith?16. What is the nature of justice? 17. What is the nature of the self? 18. What is the relationship between ethics and politics? 19. What is the relationship between perception and reality? 20. What is the nature of consciousness?

    Pertanyaan-pertanyaan filosofis Robert W. McGee di atas dan masih begitu banyak pertanyaan filosofis lainnya yang justru sangat melekat dalam kondisi kemanusiaan kita dan proyek pencarian kita mencapai tujuan hidup kita, tidak bisa dijawab oleh teknologi.

    Mario Bunge dalam bukunya Epistemología. Curso de Actualización (Mexico: Siglo Veintiuno Editores, s.a. de c.v., tercera edición, 2002) mengatakan “teknologi menawarkan akumulasi problem-problem filosofis, sejak pencarian kebenaran flosofis dari teknik, obat, dan administrasi, sampai investigasi keganjilan atas pengetahuan teknologis, alat-alat, dan tindakan manusia yang dikendalikan oleh teknologi”. Inilah yang disebut Mario Bunge sebagai filsafat teknologi.

    Menurut Mario Bunge, tema filsafaat teknologi bergitu baru sejak pertemuan dua tahunan dari Philosophy of Science Association yang bertempat di Chicago pada Oktober 1976. Pada pertemuan itu, ada sebuah simposium yang berbicara dengan pertanyaan “Adakah problem-problem filosofis yang menarik dalam teknologi?”. Mario Bunge berpendapat bahwa ada begitu banyak problem filosofis mulai dari problem kebenaran dan teknologi, problem gnoseologi, ontologi teknologi, sampai etika teknologi (teknoaksiologi, teknoetika, teknopraksiologi).

    Mario Bunge mau menunjukkan bahwa teknologi membawa serta paradoks yang mesti dipersoalkan oleh filsafat. Apakah teknologi mengurangi kasus permerkosaan, penderitaan, pembunuhan, peperangan, pandemi, wabah, kemalangan, penipuan, dan kefanaan kita? Atau justru sebaliknya, teknologi meningkatkan kasus pemerkosaan, penderitaan, pembunuhan, peperangan, pandemi, wabah, kemalangan, penipuan, kebohongan, dan mempercepat kematian kita? Inilah pertanyaan-pertanyaan filosofis.

    Pembunuhan, peperangan, pandemi, wabah, kemalangan pemerkosaan, penderitaan, dan penipuan itu menyesatkan, tetapi mengapa manusia tetap melakukan dan mempropagandakannya? Bukankah kebohongan mendaruratkan dan menyulut api kebencian hingga pertarungan, konflik, sengketa, pembunuhan, dan peperangan?

    Berkat teknologi, sentimen-sentimen primordial masyarakat yang kian lama dibungkam dalam hati yang sentimental. Sentimen-sentimen primordial—entah politik, bisnis ekonomi, agama, suku, ataupun ras—tersebut alih-alih dibungkam, justru diinvestasikan dan kemudian disemburkan secara leluasa lewat media sosial.

    Paradoks Teknologi: dari Emotikon sampai Krisis Perhatian

    Sebagian kita pada era teknologi canggih ini hidup selama 24 jam. Tubuh biologis kita memang tidur, kerja, kerja, buang ari besar (BAB), masak, dll., tetapi tubuh digital kita hidup 24 jam. Apabila kita tidak memasuki ruang digital, kita mendadak kesepian, kehampaan dan seolah-olah kehidupan tidak memiliki arti lagi.

    Apabila kita tidak mengklik tombol-tombol digital, dan menyentuh layar ponsel pintar, kita seolah-olah mendadak sepi.Di ruang digital dengan bantuan pulsa sebagai pulse, denyut jantung digital, kita dapat bernafas, beraktivitas, dan merancang baru masa depan kita. Kita memperjuangkan kelanggengan entitas korporeal dan serentak entitas digital kita (F. Budi Hardiman, 2021).

    Kita mungkin tidak hadir secara fisik di mana-mana, tetapi tubuh digital kita hadir di mana-mana (omnipresencia). Orang-orang di luar sana tidak perlu menyaksikan, dan mendengar kita sedang menangis, tetapi ketika kita mengklik dan mengunggah caption, stiker atau emotikon menangis, mereka langsung tahu kita sedang menangis.

    Di sini emotikon, stiker, simbol, lambang, atau label memiliki pengertian, kekuatan, dan kekuasaan tertentu. Emotikon adalah keterwakilan subjek pengirim pesan (perasaan benaran atau kebohongan, propaganda) dan alat kekuasaan itu sendiri, yang tak henti-hentinya mengatur, menguasai, dan mengendalikan manusia.

    Kita hidup pada era emotikon di mana kehadiran emotikon lebih mewakili dan menghibur daripada kehadiran korporeal (tubuh biologis yang nyata). Emotikon tidak berbicara tetapi cukup mengekspresikan perasaan, dan ekspresi-ekspresinya dapa memengaruhi suasana hati subjek penerima pesan. Meskipun pengirim emotikon tidak hadir secara langsung, namun penerima emotikon merasa cukup terwakili, menghibur, dan menyembuhkan meskipun hanya lewat emotikon.

    Ketika saya merindukan orang tua di kampung, saya cukup mengirim emotikon love atau peluk kepada orang tua, kerinduan saya terwakili oleh emotikon. Dan orang tua saya merasa terhibur, dan kerinduan orang tua pun terkabulkan. Namun orang tua tidak tahu kalau saya sesungguhnya sedang tidak merindukan mereka entah karena sibuk belajar, jalan-jalan atau lagi menikmati anggur/bir di cafetaría, bar atau restaurante di Madrid.

    Di sini saya tidak hanya menipu orang tua, tetapi juga menciptakan krisis perhatian dari saya sebagai anak dalam diri orang tua. Akibat lainya, ketika saya menipu orang tua, saya akan dinilai oleh orang lain sebagai anak yang krisis perhatian dari orang tua. Itulah satu ketakutan dari paradoks teknologi yang memproduksi paradoks kondisi kemanusiaan kita: cinta, peluk, rindu, rasa aman, perhatian, dll.

    Ketakutan lain ketika saya sedang menderita sakit, saya mengirim emotikon sedih karena saya sangat membutuhkan orang yang dapat mendengarkan, mengompres kepala saya, membeli obat, dst., tetapi orang tersebut tidak merespons kebutuhan dasariah itu.

    Ia tidak datang karena dua alasan, yakni pertama, dia sibuk atau sedang sakit, dan kedua, dia berpikir bahwa saya tidak sedang sakit atau menderita–saya sedang menipu dia. Ia tidak percaya pada emotikon sedih yang saya kirim, karena ia pernah mengirimkan emotikon sedih kepada orang, meskipun dia tidak benar-benar sedang menderita.

    Emotikon adalah penghibur, dan juga pengkhianat: jembatan sukacinta, dan juga jalan tol menuju dukacinta! (Melki Deni, “Emotikon”, dalam Lubet Arga Tengah, Dunia: Suara Penyair Mencatat Ingatan, 2022).

    Emotikon alih-alih menghibur hati yang sepi, dan menyembuhkan hati yang tersakiti, justru meningkatkan krisis subjek: kesadaran, perhatian, kehormatan, pujian, pengakuan, dan penghargaan diri. Subjek bisa hadir di mana-mana, yang hadir di mana-mana, dan yang berkuasa di mana-mana, tetapi jangan lupa ada subjek lain juga ingin seperti itu.

    Subjek satu berkompetisi dan berperang melawan subjek lain di dunia digital. Korban pemerkosaan dan mutilasi, pelanggaran HAM, perdagangan manusia, korupsi, marginalisasi, mafia tanah, buzzer politik digital, dan perampasan kepemilikan di Indonesia tentu saja tidak bisa dibayar tuntas hanya dengan emotikon sedih.

    Dibutuhkan perhatian khusus dan secara menyeluruh melalui supremasi hukum yang jelas dan objektif agar negara tidak mengalami krisis kemanusiaan dan krisis identitas nasional.

    Inilah salah satu problem filsafat teknologi. Tentu masih begitu banyak problem lain, yang lolos dari perhatian mata teknologis kita. Dibutuhkan mata filosofis untuk meninjau, mempersoalkan, mendiskusikan, mengkritik, dan memperoyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru penggunaan teknologi demi meningkatkan kualitas hidup kita. Tentu saja yang dimaksud di sini bukan hanya etika teknologi, tetapi juga kesadaran filosofis, dan pertimbangan filosofis atas teknologi.

    Kemajuan teknologi meninabobokan nalar kritis, refleksi rasional, dan keputusan logis kita. Mula-mula kita menguasai teknologi, tetapi kemudian kita dikontrol, dikuasai, dan dikendalikan oleh algoritma teknologi tersebut. Alih-alih sebagai objek, teknologi kemudian menjadi subjek yang mengatur, dan mewaspadai kehidupan kita.

    Algoritma teknologi membuat kita tidak aman, bila tidak “bermain” dengannya, seabgai teman hidup, dan menggunakannya. Alih-alih sebagai partner “bermain” dan teman hidup, seperti vampir, teknologi hidup hanya dengan mengisap “darah” kita yang hidup. Teknologi semakin berkembang luas, bila semakin banyak “darah” kita yang dikendalikan, dan diisapnya.

  • ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi

    ChatGPT dan Tugas Filsafat Teknologi

    Indodian.com – ChatGPT sedang masuk ke dalam ranah diskusi publik akhir-akhir ini. Kekuatan yang ditawarkan oleh ChatGPT sangat besar, dan jutaan orang dari seluruh dunia telah mencoba menemukan kemampuannnya untuk menjawab setiap pertanyaan. Tanpa terkapar oleh kelelahan, kesepian, dan kesakitan, ChatGPT dapat berkomunikasi dengan kita tanpa pandang bulu‒seolah-olah kita sedang membangun komunikasi intersubjektif dengan orang lain.

    Kita bisa ajukan pertanyaan tentang apa saja, sejauh ia tahu ia pasti menjawab dengan ketat tanpa bertele-tele. ChatGPT dapat menjadi teman curhat, psikolog, psikiater, dan psikoanalis tatkala kita dikepung oleh pelbagai persoalan, kesulitan, dan kebingungan dalam hidup sehari-hari.

    Ia memberikan beberapa panduan, solusi, saran, dan harapan agar kita dapat menjadi orang kaya, jatuh cinta, membangun rumah tangga, mempunyai anak, cara ber-KB, berbisnis, berpolitik, termasuk beragama yang benar.

    ChatGPT tidak membatasi dirinya untuk mengungkap definisi atas pertanyaan yang kita ajukan kepadanya atau membuat daftar perbedaan, melainkan menghubungkan dan berpendapat, membuat teks yang koheren yang mempertahankan pendapat di antara berbagai kemungkinan pendapat. AI generatif, teknologi di balik ChatGPT, dapat menulis puisi, novel, menghasilkan gambar yang hampir serupa dengan wajah manusia, membuat musik, dan menyusun teks doa.

    Amerika Serikat, China, Spanyol, dan beberapa negara Eropa mulai mempelajari kemungkinan pengaruh terhadap negara dan masyarakat pengguna yang dihasilkan ChatGPT. Sementara itu, pada akhir Maret lalu Italia menghentikan operasi ChatGPT setelah badan pengawas data Italia membatasi pemrosesan data pribadi ChatGPT. Badan pengawasan data Italia menyelediki dugaan pelanggaran aturan privasi oleh ChatGPT.

    Namun beberapa hari kemudian, Pasquale Stanzione, ketua badan pengawas data Italia, mengatakan siap untuk membuka kembali ChatGPT pada 30 April 2023 lalu jika OpenAI bersedia mengambil langkah-langkah positif bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat Italia.

    AI Menciptakan Agama Baru?

    Anne Foerst, dalam bukunya God In the Machine: What Robots Teach Us About Humanity and God (New York, NY: Dutton, 2004), mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan masa depan trans-manusia di mana robot dan manusia hidup berdampingan atau mungkin juga robot dan manusia bergabung menjadi spesies cyborg baru. Anne Foerst sesungguhnya mempertimbangkan apa artinya menjadi manusia, memiliki jiwa, dan mempunyai relasi kesalingan-setimpal dengan Tuhan di tengah kemajuan teknologi canggih.

    Menariknya tekonologi ini menghapus hirearki dan superioritas dalam mengakses ilmu pengetahuan. Ia membuka peluang sebesar-besarnya bagi semua orang mengakses ilmu pengetahuan, ideologi ekononi politik, mendirikan agama baru, dan berkomunikasi langsung Tuhan setiap waktu. Neil McArthur (2023) berpendapat bahwa bukan tidak mungkin ada agama baru yang dihasilkan oleh AI.  Lalu apakah AI dapat menciptakan agama baru? Tentu saja. Mengapa AI tidak dapat menciptakan agama baru?

    Inilah babak baru sejarah peradaban manusia. Masa depan manusia digital tidak hanya berurusan dengan agama-agama tradisional, keyakinan-keyakinan konservatif, dan model penghayatan iman yang dogmatis: suka mengklaim kebenaran tunggal dan/atau ketunggalan kebenaran satu agama serentak mengkafirkan pemeluk agama yang lain; agamaisasi politik-politisasi agama; hirearki dalam pengenalan dan penguasaan akan pengetahuan tentang agama, Tuhan, dan semua ciptaan‒seolah-olah hanya orang/keturunan tertentu yang bisa mengenal dan mengakses Yang Ilahi.

    AI memungkinkan kurang terjadinya praktik pembakaran rumah ibadat atau pelarangan pembangunan rumah umat beragama lain berbasis kepentingan agama tertentu. AI memungkinkan rumah ibadat kesepian, kedinginan, dan keletihan setelah menunggu pemeluk agama yang sentimentalis, fundamentalis, radikalis, dan teroris, tetapi kedamaian dan kebebasan hidup terjamin. “Agama AI”, tulis Neil McArthur, “kurang hirearkis, karena tidak ada yang dapat mengklaim punya akses khusus kepada kebijaksanaan ilahi”.

    Efek Bumerang AI

    Terlepas dari beberapa manfaat positif di atas, AI generatif ini dapat merekam dan mencuri data pribadi pengguna, data penagihan, dan percakapan untuk kepentingan tertentu. Salah satunya adalah algoritma. Selain itu teknologi ini akan menggantikan pekerja dengan mengotomatisasi banyak tenaga kerja, menyebarkan hoaks, misinformasi, serangan siber, propaganda digital, menyalahi hak cipta, melakukan kompromisasi pada privasi, dan membocorkan informasi sensitif (Mediaindonesia.com, 25/04/2023).

    Efeknya tidak hanya pada ranah privat seperti data pribadi, tetapi juga data-data negara. Data-data negara berkaitan dengan kebijakan politik, ekonomi, agama, Pendidikan, kebudayaan, sejarah, dan segala sesuatu yang menjadi arsip penting negara. Apabila teknologi ini menyerang beberapa data penting negara, negara akan huru-hara untuk menyelamatkannya. Tetapi jauh sebelum teknologi ini muncul, penyerangan siber dan perncurian data negara pernah terjadi.

    Manusia mula-mula menciptakan, mengatur, dan menguasai teknologi, tetapi kemudian ia dikuasai oleh teknologi. Mula-mula manusia berperilaku sebagai subjek atas teknologi, tetapi kemudian diobjekkan oleh teknologi. Homo digitalis lebih gandrung di ruang digital daripada ruang korporeal.

    Akibatnya kehadiran korporeal menjadi kurang aktual, dan dengannya mengikis dimensi historisitas, rasionalitas, dan pemaknaan hidup. Kehadiran korporeal menjadi telepresen, sedangkan kehadiran digital menjadi omnipresen‒namun tidak lebih dari avatar 3D. Seperti roh, kehadiran digital tidak mesti menghadirkan atau dihadirkan manusia bertubuh biologis, tetapi cukup dengan kehadiran pesan, chatbots, voice bot, voice note, emoticon, emoji, bitemoji, gif picture/video 3D, stiker, dan seterusnya. Kehadiran emotikon, emoji, pesan suara, dst. lebih penting daripada kehadiran manusia korporeal yang bertubuh.

    Pada momen lain kami berpendapat kita sedang hidup di era emotikon: kehadiran digital (emotikon) lebih menghibur daripada kehadiran korporeal (tubuh biologis yang nyata). Namun demikan ada ketakutan: kehadiran nyata yang didekorprealisasikan kehadiran emotikon akan mengkhianati kebutuhan-kebutuhan nyata kita, seperti cinta, makan/minum, pelukan, penyembuhan, pengakuan, perhatian, pembebasan, dan keadilan.

    Apabila beberapa dari kebutuhan dasariah itu tidak terpenuhi, kita akan mengalami krisis makna. Krisis makna adalah krisis hidup. Di sinilah teknologi ternyata memiliki efek bumerang: Menyerang kembali pusat kesadaran dan aktivitas pencariaan makna dari sang subjek. Krisis makna juga dapat terjadi karena krisisnya/ terbungkamnya pertanyaan-pertanyaan kritis, refleksi-refleksi rasional, dan pertimbangan-pertimbangan progresif.

    Tugas Filsafat Teknologi

    Filsafat tidak pernah mati atau dapat dibunuh dengan teknologi canggih apa pun: Filsafat bisa mendahului, menengahi (mempertimbangkan secara rasional), dan mengevaluasi secara kritis terhadap setiap perkembangan. Filsafat teknologi adalah refleksi sistematis atas hakikat realitas (ontologi), tataran cara-pandang/keterpahaman realitas (epistemologi), dan sikap terhadap realitas/ tataran praksis (aksiologi).

    Filsafat teknologi sering berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apa itu teknologi? Bagaimana teknologi dibedakan dari bentuk pengetahuan lainnya? Bagaimana teori-teori ilmiah dibangun dan divalidasi? Bagaimana data empiris berhubungan dengan teori-teori ilmiah? Apa peran observasi dan penelitian dalam teknologi? Bagaimana hubungan teknologi dan manusia? Kami tidak sedang menjelaskan semuanya itu, tetapi mengungkapkan beberapa tugas filsafat teknologi pada era kecerdasan buatan (AI) ini.

    Pertama, filsafat teknologi dapat memberikan kerangka konseptual untuk memahami sifat dan batasan pengetahuan ilmiah tentang ChatGPT. Ini mengandaikan adanya refleksi sistematis atas realitas ChatGPT (aspek ontologi) sebelumnya. Sebagai pengetahuan reflektif, filsafat membongkar ambivalensi dan paradoks yang dihasilkan oleh teknologi, mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, dan memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan baru dalam penggunaan teknologi tanpa mendaruratkan kemanusiaan kita (F. Budi Hardiman, 2021).

    Filsafat dapat membantu kita untuk memahami bahwa: (1) teknologi adalah proses membangun pengetahuan yang berkelanjutan, (2) ChatGPT bukanlah kebenaran mutlak melainkan penjelasan sementara yang dapat berubah, dan direvisi, dan (3) ChatGPT tidak dapat memberikan jawaban pasti untuk semua pertanyaan.

    Kedua, sebagai pengetahuan kritis, filsafat teknologi membantu kita merefleksi, mempertimbangkan, dan mengkritisi setiap informasi baru, perkembangan ilmu pengetahuan, propaganda digital, propaganda agama, klaim kebenaran, kebebasan di ruang digital, keindahan artifisial, gerakan terorisme digital, buzzer politik digital, akun robot, hoaks, dll., yang cenderung sensasional, sensual, irasional, dan kontroversial.

    Di era screenshot, share it, dan viralisasi ini, kita tidak dapat lagi berbohong, dan menipu seperti yang sering kali kita lakukan di ruang korporeal/nyata sebelumnya. Kalau kita tetap nekat berbohong dan menipu, kebohongan dan penipuan kita mudah terekam dan tersebar di mana-mana. Bila kebohongan dan penipuan kita sudah terekam dan tersebar di mana-mana, harga diri kita pun mendadak tercerabut. Daya kritis dan refleksi filosofis membantu kita menemukan siapa kita (subjektivitas), relasi kesalingan-setimpal dengan sesama (intersubjektif), dan aktivitas kita di ruang digital.

    Ketiga, filsafat teknologi dapat membantu kita memahami aspek etis dan sosial dari penggunaan teknologi. Filsafat teknologi dapat membantu kita bagaimana teknologi dapat berdampak positif atau negatif bagi kita, masyarakat, ekologi, dan bagaimana nilai dan norma dapat memengaruhi keputusan kita.

    Kita dapat memperoleh manfaat dari pemahaman dasar filosofi teknologi untuk mengatasi masalah etika dan sosial yang terkait dengan penelitian ilmiah, seperti manipulasi genetik, kecerdasan buatan, privasi data, akses yang adil ke informasi, teknologi, dan lain-lain. Sebagai pengetahuan praktis, filsafat teknologi “harus menghasilkan kembali dunia milik bersama, mulai dari sopan santun, kode etik, asas-asas moral, sampai pada tuntutan hak-hak komunikasi warga digital” (F. Budi Hardiman, 2021). Filsafat teknologi mesti mempromosikan kebenaran, keadilan, kebebasan, dan keindahan tanpa direkayasa atau dimanipulasi oleh teknologi.  

    Beberapa Minggu lalu (Reuters, 18 April 2023), Elon Musk mengatakan akan meluncurkan TrutGPT. “I’m going to start something which I call ‘TruthGPT’, or a maximum truth-seeking AI that tries to understand the nature of the universe,” katanya. Elon Musk berharap: TruthGPT “might be the best path to safety” that would be “unlikely to annihilate humans”.

    Namun demikian apa bentuk dan cara kerja TruthGPT, itu adalah kecerdasan buatan yang rentan dimanipulasi dan direkayasa. Kebenaran, kebebasan, keindahan, dan keamanan tetap ada dalam diri setiap manusia yang tidak mencela atau mengutuk filsafat‒sebab filsuf adalah manusia bukan teknologi!