Aku dan Kisahku

- Admin

Sabtu, 14 Agustus 2021 - 19:57 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

“Cepat mengaku!!”
“Bukan saya, Pak!!”
“Lalu kenapa bendera itu berkibar?”
“Saya tidak tahu…!!”

Sementara pukulan memberondong di tubuhku, aku masih lemah. Wajah jadi lebam. Darah bercampur peluh. Dunia gelap!

Aku terus mengerang. Erangan demi erangan memenuhi sebuah sudut di bibir pantai Pulau Kosong, sedangkan ombak dan nyiur tak hiraukan eranganku. Mereka terus menari sehingga masyarakat kampung tak mendengarkan teriakanku minta tolong. Gelap sudah duniaku.

Memoria dua puluh tahun ini terus merasuk ingatanku. Sebenarnya aku tak tahu apa-apa. Apalagi soal pengibaran bendera terlarang yang dituduhkan kepadaku. Toh momen seperti itu bisa saja memakan banyak tumbal, melibatkan banyak otak, sebab manusia berakal berseliweran di pulau ini.

Dalam kebingungan aku terpaksa menjadi warga binaan lembaga pemasyarakatan. Jalan panjang menuju pembebasan bagiku memakan puluhan tahun. 

Pasca peristiwa naas itu namaku menjadi topik perbincangan pemuda-pemuda desa, bahkan anak-anak. Mereka melakukan diskusi-diskusi dan membentuk opini publik.

“Adakah sesuatu yang baik dari tempat ini?”

Libertus adalah satu dari lima kawan saya yang kebetulan menghuni satu kamar huni di blok timur. Dia memulai obrolan ringan sore ini di sudut koridor.

“Aku merindukan sanak keluargaku.”
“Kita kok tiba-tiba di sini, ya?” Liber bertanya dengan tatapan nanar.
“Aku hampir melupakan kepedihan yang dilalui.”
“Teman, menuduh tanpa bukti, apakah berdosa?”
“Tergantung suara hati, teman!”
“Suara hati tak pernah berbohong. Tapi bisa saja ia tumpul.”

Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

Angin bertiup melalui celah ventilasi. Biasan cahaya menguning. Aku dan Libertus terbuai dalam percakapan seru.

“Bagaimana kalau obrolan kita lanjutkan ketika matahari terbit?”Pinta Liber.

Aku diam seribu bahasa. Mataku menatap kosong. Menerawang jauh di cakrawala.

Putaran jarum jam tak mau diajak kompromi. Gulita memenuhi bumi. Nyamuk pun menari ria. Mengisap darah di raga harapan.

“Bangun, cepat!!”

Dari pojok ruangan berukuran 4×6 meter suara petugas menggema. Hari baru datang lagi. Matahari bersandar manja di bukit kembar paling timur. Muara segala kehidupan.

“Emeritus, tugasmu hari ini memperbaiki instalasi listrik!” Perintah si petugas.

Aku memang tamping. Lebih tepatnya tamping listrik, sehingga ilmu kelistrikan semasa kuliah, terus dikembangkan meski di dalam lembaga.

“Baik, Pak!” Jawabku sambil memberi dia senyuman.
“Setelah itu menghafal lagu kebangsaan negara kita. Ini perintah!!!”
“Harus kah itu dinyanyikan, Pak?”

Brakkkk!!! Tangan petugas mendarat lagi pada pipiku. Seakan bertanya adalah melawan.

Baca juga :  Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu

“Kau bilang apa? Kebebasan berbicara dibatasi di sini!!” bentak si petugas lagi.
“Ada apa, Pak?” Tiba-tiba suara Libertus dan Isidorus terdengar dari ujung ruangan.
“Ah, kau. Lanjutkan tugasmu. Bersihkan halaman kompleks lembaga!”

Libertus pun menghilang dari pandangan mata. Mataku kunang-kunang. Suasana kembali normal. Selang beberapa menit lagi ia muncul dan membawakan sebuah mop bersama Ignasius.

Tapi mop urung diceritakan, karena kami harus mencuri waktu untuk memperbincangkan hal-hal urgen. Waktu angin-angin toh hanya seperempat jam.

Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan

Mereka hanya mencercaku dengan pertanyaan laksana Pak Hakim yang mulia ketika sidang pembebasanku berlangsung dua bulan lalu.

“Kawan, apa komitmenmu setelah keluar dari tempat ini?”
“Perubahan adalah dambaan umat manusia.”
“Ya, begitulah. Komitmen itu perkara konsistensi.”
“Heii, kalian tak bisa mengobrol sebebasnya!!” Teriak si petugas sembari mengarahkan telunjuknya hingg membuyarkan konsentrasi kami.

Kami membaur lagi. Inti pembicaraan belum ditemukan. Terhalang petugas garang yang meradang.

Waktu berlalu, aku dan Libertus akan dibebaskan minggu kedua bulan ini setelah mendapat remisi bulan Desember. Tapi harus memenuhi persyaratannya!!

Sepenggal informasi tertempel di dinding ruang tamu dengan pintu berukuran 1×0,5 meter di dekat portir. Setiap pengunjung dan pejabat dari ibu kota membacanya ketika bertandang ke tempat ini. Tak terkecuali pengunjung lainnya dan pengacaraku.

Puluhan napi akan dibebaskan saat hari ulang tahun kemerdekaan”

Tertulis judul berita pada harian Kasuari. Aku mengelipingnya. Menyimpan rapat-rapat di dada. Membenam di kepala.

Penghuni Pulau Kosong segera mengetahui kabar tersebut, hingga sebulan penuh mereka mempersiapkan penyambutan dan memasang umbul-umbul di jalanan.

“Kawan, bumi ini indah. Luas. Tapi kita di neraka,” kata Libertus sambil memicingkan mata melalui ventilasi.

“Ya, seluas itulah isi kepala kita.”

“O, ya! Gimana komitmenmu jika kelak di luar jeruji?”

“Aku….”

Baca juga :  Lelaki Banyak Masalah

“Hmmm, andai angin mengantarkan jeritan pendamba surga.”

Aku terdiam saja. Di jeruji aku lebih banyak diam. Diam adalah bahasa ambigu. Tapi juga trik diplomasi. Diplomasi diam. Diam memang bahasa yang rumit. Maka butuh kemampuan dan pengetahuan serius untuk mengetahui maksud tersembunyi.

Baca Juga : Merawat Simpul Empati
Baca Juga : Cerita Pensiunan Guru di Pelosok NTT yang Setia Mendengarkan Siaran Radio

Hari berganti hari, kami yang berjumlah seribu orang di kompleks seluas satu hektare ini terus menanti keajaiban. Penantian adalah masa dimana pandangan tentang waktu dan ruang sangat subjektif. Tak ada yang mutlak. Tak ada definisi baku. Begitu pula tentang hidup yang dijalani.

Begitu pula Aku, Libertus, dan ribuan penduduk Pulau Kosong, yang tak berdaya melawan dunia yang begitu kejam. Hanya terbesit komitmen, kelak manusia harus sama seperti elang. Bersama melintasi dunia nyata.

Tapi kini, jeruji, kicauan-kicauan dan ciutan penantang nyali seakan suara abadi.

Petugas berseragam memberi aba-aba. Ribuan penghuni bui berbaris rapi bagai kawanan domba. Sebentar lagi halaman tengah dijejali anak-anak binaan.

Sidang terbuka tanpa hakim menyambut desahan napas penyemangat jiwa. Satu per satu kami membacakan komitmen selepas pensiun dari lembaga.

Aku, dengan kaki gemetar dan bibir yang mengulum senyum hambar, maju selangkah. Membaca komitmen. Semacam pidato perpisahan dan komitmen.

“Salam sejahtera teman-teman!”

Ribuan tepukan tangan seperti pekikan menggemakan harapan di bawah mentari yang menguning. Sebentar-sebentar diam.

Baca Juga : Cerita Tuna Penjaga Mata Air
Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan

Tapi tatapan mata mereka berkaca kaca. Kulihat masa depan mereka di pelupuk matanya.

Lagu kebangsaan negara pun dinyanyikan. Aku diam saja. Membenam kisah kelam. Ada apa gerangan? Tapi denyut nadi teratur. Menanti babak baru di luar sana.

Hadirin dan kawan-kawan!

Puluhan tahun aku bernapas bersama jeruji dan kawat-kawat karat. Tapi aku tak sekarat. Aku terkadang bertanya, apakah ini yang disebut neraka yang nyata? Tidak! Di ujung cerita kita pasti ada gita terindah.

Semua hening lagi…

Kemudian aku pun tahu, aku dijerat undang-undang melawan penguasa. Dua puluh tahun sudah jalan itu kulalui bersama air keruh dan santapan nasihat bejat. Aku bertanya: kapankah kisah ini bertepi?

Baca juga :  Surat yang Takkan Pernah Sampai

Nuraniku berkata, aku tak bersalah tapi aku dinyatakan bersalah. Lalu kenapa aku di sini dan kini berdiri di podium terhormat ini? Ini demi sebuah alasan. Kita berhak mencari alasan itu. Enduslah dia, selami… Dan kau akan memahaminya.

“Cukup. Ini provokasi basi!!”

Teriakan seorang petugas yang mengangkat senjata laras panjang menjeda pembacaan komitmenku.

“Tidak apa-apa. Lanjutkan!” Perintah pimpinan penjara dengan suara bariton.

Aku kemudian melanjutkan orasi. Derai-derai rindu terpancar di wajah yang semakin mengeluarkan keriput. Bacaan dilanjutkan. Bak membaca pledoi ketika Sang Mesias diadili di hadapan rakyatnya sendiri dua ribuan tahun lalu.

Mari, rapatkan barisan. Bersatulah dan jangan bercerai-berai. Suatu saat yang entah, aku akan membawa pulau ini ke babak baru penuh sukacita.

Kata kuncinya, hukum yang adil. Hukum nurani. Bukan hukum manusia durjana dan lintah darat. Semua hukum di bawah kolong langit ini hasil olahan pendapat, kepentingan dan sedikit dibumbui “suara hati”. Ada rasa subjektivitas. Alih-alih suara hati, ternyata untuk suara penguasa, korporasi, dan kelompok kepentingan.

Baca Juga : Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai
Baca Juga : Pelangi di Mataku

Semua diam ketika mendengar kata-kataku yang mencekik leher dan membuat telinga panas. Suaraku menusuk hingga ke ruang hati terdalam. Membahana hingga ke langit-langit pikiran. Memancing angkara murka.

Angin berhembus pelan….

“Demikian kisahku, Nak!” kataku pada putra semata wayangku, yang setia mendengar kisah kelamku, sambil menyeruput kopi dari Oksibil, ditemani semilir yang menggoyang bunga-bunga di taman.

“Lalu teman Bapa, Libertus dimana?” tanya putraku.

Aku tak mampu membendung air mata. Memoriku tak kuat menyimpan litani duka. Ratapan demi ratapan masih membekas.

“Hingga detik ini tak ada kabar, Nak! Entah di luar negeri. Padahal Bapa mau kirim ucapan selamat atau sekadar berkabar.”

“Panggillah dia bapak, majulah bapak berdua untuk menjadi presiden.”

“Ini tanah air kita, Nak. Namanya Pulau Kosong. Ceritanya panjang. Penjajah datang dan mengira kita tak pernah ada. Tapi….”

Lonceng gereja berdentang. Bergema di kesunyian senja yang berpendar. Aku dan keluarga kecilku bergegas menuju kapel untuk mengikuti misa Minggu di Sabtu sore. []

#AGUstus 2021

Jayapura

Komentar

Berita Terkait

Suami Kekasihku
Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Sunset yang Hilang
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Berita ini 58 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA