Pengorbanan Melahirkan Kehidupan

- Admin

Rabu, 14 April 2021 - 11:26 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kampung adat Wae Rebo - Manggarai  (sumber: Instagram @efenerr,2017)

Kampung adat Wae Rebo - Manggarai (sumber: Instagram @efenerr,2017)

Filosofi Dibalik Mitos Asal-Usul Kehidupan Menurut Orang-Orang Manggarai

(Bernard Raho, SVD)

Dosen Sosiologi di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero

Ada bermacam-macam versi mitos tentang asal-usul kehidupan menurut orang Manggarai. Pater Jilis A.J Verheijen, SVD,  misalnya, dalam buku Manggarai dan Wujud Tertinggi  menyampaikan sebuah laporan dari Bapak J. Dampung, wakil dalu wilayah Riwu pada masa itu yang menceriterakan asal-asul kehidupan manusia menurut orang-orang Manggarai. Menurut ceritera itu, manusia diciptakan oleh ‘Tuang Alang’ atau Mori Keraeng (Tuhan Allah). Setelah manusia menciptakan bumi, Dia pun selanjutnya menciptakan matahari, bulan, dan langit.

Pada awalnya bumi dan langit masih sangat dekat satu sama lain sehingga tidak ada manusia di bumi oleh karena terlalu panas. Tetapi sesudah agak lama muncullah serumpun bambu pering. Di dalam bambu itu ada dua orang yakni seorang laki-laki dan perempuan. Sesudah waktu agak lama bambu itu pun terbelah dan muncullah dua orang manusia. Setelah kedua manusia itu muncul di atas muka bumi, maka keduanya menebang bambu dan membuat rumah. Lalu keduanya menjadi suami-isteri dan melahirkan anak.

Menurut Bapak Petrus Pampo dari desa Desu Todo – sebagaimana diceriterakan oleh Pater Jilis Verheijen – nama anak itu adalah Nabit Alang, sedangkan nama ibunya adalah Nabit Tana. Seturut ceritera itu, anak itu kemudian disembelih dan disayat-sayat dan kemudian dihamburkan ke tanah dan menjadi tumbuh-tumbuhan.

Ceritera bahwa manusia berasal dari bambu dan tumbuh-tumbuhan berasal dari daging anak manusia yang dicincang-dicincang ditemukan juga dalam buku Maribeth Erb, seorang Antropolog berkebangsaan Amerika yang melakukan banyak penelitian tentang Manggarai. Seturut versi yang diceritakan oleh Mariberth Erb, pada awal mulanya belum ada kehidupan di bumi ini.     

Sekedar mengingatkan, dunia dalam Bahasa Manggarai berarti Tana Lino yang berarti bumi kosong. Seturut cerita, manusia pertama orang Manggarai merupakan hasil perkawinan dari Ame Eta (Bapa yang di atas – langit) dan Ine Wa (Ibu yang di bawah – bumi). Pada awal mula, sinar matahari yang berasal dari Ame Eta memancarkan sinarnya dan mengenai serumpun bambu yang berada di bumi yakni Ine Wa dan memunculkan dua orang manusia. Dua manusia yang pertama ini adalah laki-laki dan perempuan.    

Pada waktu itu belum ada bahan-bahan makanan seperti padi, jagung, atau ubi-ubian. Oleh karena itu, mereka makan bermacam-macam umbi hutan, daun-daun pepohonan, jamur-jamur, atau madu-madu hutan. Kemudian mereka mengambil bambu yang kering dan membelahnya menjadi dua. Mereka lalu menggosokkan belahan bambu yang satu pada belahan bambu lainnya dan di bawahnya di letakkan bulu pelepah pohon enau (dudutBahasa Kolang) guna menangkap bunga api sehingga terciptalah api. Selanjutnya mereka mengenakan pakaian yang terbuat dari kulit kayu Lale yang banyak tumbuh di mana-mana di Manggarai sehingga Manggarai juga disebut Nusa Lale.   

Kedua manusia pertama itu kawin dan melahirkan seorang anak. Ketika anak itu berusia lima tahun, ayah anak itu bermimpi. Dalam mimpi itu dia diperintahkan oleh Murin agu Ngaran (Tuhan Allah sebagai pencipta) untuk membunuh anak itu. Murin agu Ngaran memberitahukan anak ayah itu untuk membuka kebun berbentuk lingkaran dan apabila kebun itu selesai disiapkan dia diperintahkan untuk membunun anak itu dan mencincang-cincang daging anak itu dan disiaram-siram di seluruh bagian kebun.   Setelah bangun dari tidur pada pagi harinya, ayah anak itu merasa galau karena harus membunuh puteranya sendiri. Tetapi karena itu adalah perintah Murin agu Ngaran, dia segera melakukan apa yang diperintahkan di dalam mimpi. Dia pergi ke hutan dan membuka sebuah kebun berbentuk lingkaran sesuai dengan instruksi di dalam mimpi. Sesudah semua dikerjakan dia memberitahukan isterinya supaya keesokannya harinya si isteri menyuruh anak yang berusia lima tahun itu untuk membawa makanan bagi dirinya.

Orang Manggarai pada zaman dahulu. Foto ini diambil pada tahun 1920 (sumber: Tropenmuseum – Belanda)

Keesokan harinya ketika anak itu tiba di kebun, ayah anak itu segera membunuh anak itu sesuai dengan instruksi di dalam mimpi. Kemudian dia mencincang-cincang daging anak itu dan menyiramnya ke seluruh kebun. Setelah menyelesaikan pekerjaannya itu, ayah anak itu kembali ke rumah. Setiba di rumah dia berpura-pura seolah-olah anak itu tidak pernah sampai ke kebun.

Baca juga :  Kisah Yuliana Mijul, Gali Pasir dan Menenun Demi Menyambung Hidup Keluarga

Dia pura-pura memarahi isterinya: “Mengapa engkau tidak menyuruh anak itu ke kebun membawa makanan untuk saya?” Dengan terheran-heran isterinya menjawab: “Tadi, saya telah menyuruh dia ke kebun untuk membawa makananmu. Aneh bin ajaib kalau dia tidak sampai di kebun?” Dengan pura-pura sedih, ayah anak itu memberitauhkan isterinya: “Kalau begitu, jangan-jangan anak kita telah diculik oleh roh-roh halus”. Kemudian, keduanya menangis karena kehilangan anak mereka yang tunggal. Beberapa hari kemudian orang itu pergi ke kebun. Dia melihat daging anak itu telah berubah menjadi bermacam-macam tumbuhan. Ada yang berupa padi, jagung, kestela, ubi kayu, labu, dan bermacam-macam tanaman yang kemudian bisa dikonsumsi oleh manusia. Lalu  orang itu pulang ke ke rumah. Kira-kira tiga bulan sesudahnya dia kembali ke kebun. Dia melihat jagung sudah tinggi dan berbuah. Ketika dia berusaha memetik jagung itu, tiba-tiba saja jagung itu berkata: “Ayah, ini adalah aku – ame, aku gho’o se”.  Kemudian ayah itu teringat bahawa anaknya telah bertumbuh menjadi jagung dan tumbuh-tumbuhan lain di kebun itu.

Pada malam harinya dia bermimpi lagi. Murin agu Ngaran datang lagi dan menjumpai dirinya. Dia berkata kepada manusia itu. “Tanaman yang tidak mengeluarkan suara waktu engkau memetiknya adalah buah tanaman yang sudah matang dan siap dipetik dan dimakan. Tetapi buah tanam-tanaman yang mengeluarkan suara, ‘ayah ini adalah saya’, menunjukkan bahwa buah-buah itu belum matang dan tidak boleh dipetik. Kemudian Murin agu Ngaran memperkenalkan nama dari tanam-tanaman itu. Tanaman yang melata di tanah bernama mentimun. Tanaman yang seperti mentimun tetapi daun dan buahnya lebih besar bernama kestela. Tanaman yang berdiri dan agak pendek disebut padi. Sedangkan tanaman yang lebih tinggi dan daunnya lebih besar adalah jagung. Dalam mimpinya itu semua tanaman sudah diperkenalkan.

Seorang Bapak di Wae Rebo, Manggarai mengenakan kain Songke berwarna merah. sumber: Instagram @efenerr,2017)

Keesokan harinya dia pergi ke kebun lagi. Dan benar saja. Ketika dia memetik jagung yang sudah matang, jagung itu tidak mengeluarkan suara sehingga dia terus memetik jagung-jagung itu. Tetapi ketika dia hendak memetik jagung yang belum ada isinya, jagung itu berseru: “Ayah, ini adalah aku – ame aku gho’o se”.  Ayah itu pun tidak jadi memetik jagung karena seturut mimpi kalau ada suara seperti itu maka itu berarti bahwa buah tanaman itu belum matang. Dia membawa hasil panen ke rumah dan memberikannya kepada sang isteri. Isterinya terkejut melihat hasil-hasil yang diberikan oleh suaminya. Mereka memasak sayur-mayur dan merebus jagung, lalu memakannya dan mereka merasakan sangat enak dibandingkan buah-buah hutan dan akar-akar serta umbi-umbian hutan. Ketika isterinya bertanya dari mana dia dapatkan semuanya, orang itu menyuruh isterinya untuk keesokannya berangkat berdua ke kebun

Baca juga :  Cerita Wartawan di NTT Dapat Sinyal 4G di Pohon Jambu

Keesokan harinya, isterinya pergi bersama suaminya ke kebun dan memetik jagung dan padi seperti telah diinstruksikan oleh suaminya. Ketika jagung sudah matang, tidak ada suara yang keluar dari jagung itu. Tetapi ketika jagung itu masih muda dan belum ada isinya jagung itu berkata: “Mama, ini adalah saya – Ine, aku gho’o”.  Perempuan itu ketakutan dan menanyakan suaminya apa yang sedang terjadi. Dia berpikir ada roh-roh halus yang mengganggu. Suaminya memeluk isterinya dan menjelaskan: “Jagung, padi, mentimun, kestela, dan lain-lain di kebun itu adalah anak kita”.

Kemudian dia menceriterakan bahwa dulu dia berbohong bahwa anaknya tidak sampai di kebun. Sesungguhnya yang terjadi adalah anak itu sampai di kebun. Lalu dia membunuhnya dan mencincang dagingnya dan disiram ke seluruh kebun. Dan hasilnya adalah semua tanaman itu. Keduanya menangis sesaat, tetapi kemudian mereka bergembira karena mereka tidak kekurangan makanan untuk hidup. Selain tumbuh-tumbuhan dari kebun itu muncul juga bermacam-macam binatang yang membantu manusia seperti kerbau, kuda, anjing, ayam, dan lain-lain.

Begitulah mitos tentang asal-usul manusia dan kehidupan seturut filsafat hidup orang Manggarai berdasarkan versi yang diceritakan oleh Jilis A.J. Verheijen dan Maribeth Erb. Seturut kisah-kisah yang dilaporkan itu, kehidupan berhubungan satu sama lain. Manusia berasal dari tumbuhan yakni serumpun bambu dan kemudian tanam-tanaman seperti padi, jagung, kestela, mentimun, dan bahkan binatang-binatang juga berasal dari manusia. Tetapi darah atau pengorban darah perlu dilakukan untuk menghasilkan kehidupan dan kesejahteraan.  

Karena itu di seluruh wilayah Manggarai ditemukan ritual pengorbanan hewan baik dalam ritus-ritus yang berkaitan dengan siklus kehidupan manusia mulai dari kelahiran sampai dengan kematian maupun ritus-ritus berladang mulai dari pembukaan kebun baru sampai dengan penyimpanan hasil ke kebun ke atas loteng rumah. Sesungguhnya hewan-hewan yang dikorbankan menggantikan pengorbanan manusia pertama yang dikorbankan supaya orangtua dan adik-adiknya bisa hidup.

            Di dalam kaitan dengan ritual pembukaan kebun baru, ritus itu dibuat di tengah ladang yang disebut lodok. Di tengah lodok itu ditanamlah kayu teno yang merupakan simbol kelaki-lakian dan  mewakili Ame-Eta. Kemudian sebuah batu diletakkan dekat kayu teno itu yang merupkan simbol keperempuanan dan mewakili Ine-Wa. Kadang-kadang kayu teno itu dilingkari dengan sebuah tali hutan yang melambangkan rahim atau alat produksi perempuan.

            Di Lodok itulah dibuat ritual pengorbanan hewan pembukaan kebun baru untuk mengenangkan korban manusia pertama yang telah berkorban dan menjadi sumber hidup bagi bapa-mama dan adik-adik yang lahir sesudah dia. Sesungguhnya korban darah merupakan satu fenomena yang bisa ditemukan di seluruh wilayah Manggarai. Darah adalah lambang kehidupan dan kesejahteraan. Pada masa dulu ketika kebun baru akan ditanami diadakan permainan caci. Dipercayai bahwa apabila dalam permainan caci ada pihak yang terkena pukulan sampai darah keluar, maka hal itu berarti bahwa kebun baru akan memberikan banyak hasil.

Baca juga :  Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

            Kenyataan bahwa tumbuh-tumbuhan berasal dari manusia menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuh seperti padi dan jagung dapat dianggap sebagai anak-anak dari manusia. Oleh   karena padi dan jagung berasal dari manusia, maka kita semua adalah bersaudara. Dalam tradisi orang Manggarai, pada musim mengetam ada banyak pantangan. Padi yang diketam dipercayai sebagai manusia yang masih kecil atau anak-anak. Karena itu selama mengetam, anak-anak tidak boleh ditakut-takuti agar dia tidak takut dan lari (tidak ada hasil). Hindari kemungkinan bahwa anak kecil (padi itu) takut. Karena itu kerbau tidak boleh disebut kerbau melainkan ekor pendek (iko wokok) supaya anak kecil (padi) tidak lari ketakutan. Demikian juga tidak disebut dengan kuda melainkan ekor panjang (iko lewe) supaya anak kecil tidak lari ketakutan. Di Kolang selama mengetam, orang tidak boleh teriak: “Darad”. Alasannya adalah agar anak kecil tidak takut dan melarikan diri dan karena itu panen bisa gagal.

Berhubung manusia berasal dari tumbuhan (bo one mai belang) dan kemudian tanam-tanaman yang memberi kehidupan kepada manusia berasal dari manusia (daging manusia pertama yang dipotong-potong dan disiram-siram ke seluruh kebun), maka dapat dikatakan bahwa manusia dan pohon-pohon adalah bersaudara. Itu sebabnya dalam pemotongan kayu untuk membuat rumah gendang, misalnya, dibuatlah sebuah ritus sebelum kayu itu dipotong dan ketika masuk kampung kayu (yang akan digunakan sebagai hiri bongkok) akan diarak-arak sebagaimana layaknya seorang isteri baru diarak sebelum masuk rumah gendang.

Tiang agung (Siri Bongkok) biasanya disebut Molas Poco (gadis pegunungan). Andaikata setiap manusia memperlakukan pohon-pohon di hutan sebagai saudara, niscaya tidak akan terjadi pembabatan hutan yang semena-mena dan alam raya menjadi tempat yang nyaman untuk didiami. Kenyataannya alam telah diperkosa dan karena itu manusia sendiri juga yang menerima akibatnya. Bukankah covid 19 disebabkan karena manusia berlaku sewenang-wenang terhadap binatang yang seturut mitologi orang Manggarai masih bersaudara dengan manusia?

Sebagai kesimpulan dapatlah dikatakan bahwa bagi orang-orang Manggarai, kemakmuran dan kesejahteraan hidup diperoleh melalui pengorbanan. Dalam  mitologi dua mitologi  tadi, manusia berkorban (dibunuh dan dicincang) supaya manusia yang lahir sesudah dia bisa hidup.  Filsafafat hidup orang Manggarai adalah orang mesti berkorban supaya bisa memperoleh hidup.

Filosofi ini nyata dalam ungkap-ungkapan yang lazim didengar: “Olo la’it pa’it detak nggera, iti po ita di’a – olo tela tuni agu dempul wuku, iti po ita di’a.” (terjemahan secara harafiah: terlebih dahulu mengecap pahit dan asin – terlebih dahulu punggung melepuh dan kuku tumpul baru mendapatkan kehidupan yang baik. Secara umum ungkapan ini berarti hidup akan menjadi lebih baik jika ada kerja keras dan pengorbanan). Darah menghasilkan kehidupan atau kesuburan. Pengorban membawa keberhasilan. Kematian membawa kehidupan. Bukankah pandangan ini tidak jauh berbeda dari perkataan Yesus di dalam Injil: “Sesungguhnya, jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati ia tinggal satu biji saja; tetapi kalau ia mati maka dia akan mengasilkan banyak buah” (Yoh. 12:24).

Bahan bacaan:

Erb Maribeth, The Manggaraian: A Guide to Traditional Lifestyle.  Singapore: Times Edition, 1999.

Verheijen, Jilis, A.J.Manggarai dan Wujud Tertinggi. Jakarta: LIPI-RUL, 1981.

Komentar

Berita Terkait

Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama
Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT
Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Namanya Yohana. Yohana Kusmaning Arum
Berita ini 37 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA