Tiga tahun setelah Maria menghilang, Erikh masih tenggelam dalam penyesalan. Erikh, seperti kebanyakan laki-laki lain di bumi ini, amat susah berdamai dengan rasa bersalah. Tiga tahun ia mencoba memaafkan ketidaksabarannya itu dan rupanya belum berhasil sampai detik ketika ia menulis surat itu.
Surat-surat yang ditulisnya, baik yang berakhir dalam tempat sampah maupun yang tersusun rapi dalam map, adalah bentuk usaha-usaha berdamai dengan rasa bersalah.
“Semua ini begitu menyiksa,” tulisnya lagi pada paragraf yang baru. Lembaran itu hampir penuh. “Dulu engkau pernah bertanya, apakah saya ingat hujan yang berderai saat pertama kita berjumpa. Saya bilang, tidak. Begitulah, ingatan laki-laki memang selalu pendek. Tapi engkau harus tahu, bahwa saya ingat semua derai hujan yang menyiksaku semenjak engkau pergi.”
Erikh tersenyum sendu lalu menghujamkan puntung rokoknya ke asbak. Hujan mulai reda. Di teras depan seseorang memetik gitar.
Erikh mengagumi kerapian tulisan tangannya sendiri. Di zaman yang serba canggih ini, lebih masuk akal jika ia memilih untuk menulis di laptop lalu menyimpan semua tulisan itu di sana. Lebih awet.
Baca Juga : Kisah Seorang Istri yang Merawat Suami Gangguan Jiwa dan Dipasung Selama 12 Tahun
Baca Juga : Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?
Tapi ia lebih nyaman menulis dengan pena dan kertas. Ia menemukan kedamaian ketika otaknya memikirkan kata-kata dan tangannya bergerak pasti di atas kertas. Hatinya lebih puas memandang sederet tulisan tangan, tidak peduli indah atau jelek, ketimbang hasil print out dari komputer.
Ia pernah bercita-cita untuk menjadi seorang penulis, mendatangkan uang dengan menjual tulisan-tulisannya. Tapi kemudian ditinggalkannya cita-cita itu, setelah menyadari bahwa menulis demi uang itu benar-benar menyiksa.
Seorang teman baiknya pernah berkelakar, meminjam kata-kata Virginia Woolf. Menulis itu seperti seks. Pertama kamu melakukannya demi cinta, lalu kamu melakukannya untuk temanmu, dan kamu lalu melakukannya untuk uang.
Maka ia menyimpan semua tulisan tangannya untuk dirinya sendiri. Tahun lalu, ketika membaca semua tulisan yang pernah dihasilkannya, ia menemukan bahwa tema utamanya adalah Maria. Dunianya berporos pada perempuan itu.
Sebelum mencintai Maria, hatinya pernah singgah di banyak hati perempuan lain. Tapi di setiap tempat persinggahan itu, ia belum pernah merasakan cinta yang sebesar cintanya pada Maria. Ketika perempuan itu menghilang, dunianya juga turut menghilang.
Pernah pada suatu waktu, ketika masih bersama, Erikh mengutip sederet puisi, menuliskannya di atas sebuah kertas dengan menggunakan tinta basah. “Maria, padamu aku jatuh hati. Bahkan sebelum Tuhan merencanakan Adam dan Hawa diturunkan ke bumi.” Kutipan itu diambilnya dari internet.
Secarik kertas itu diam-diam diletakkannya di kaki lilin yang biasa Maria nyalakan saat berdoa sebelum tidur malam. Malam harinya, setelah membaca kutipan pendek itu, Maria menelpon dan mereka mengobrol sampai pagi.
Waktu bergerak begitu cepat. Di hari yang sendu ini, perempuan itu merayakan ulang tahunnya yang ke dua puluh lima. Maka ia memutuskan untuk menutup suratnya dengan sebuah ucapan singkat.
“Tidak peduli sejauh mana engkau pergi,” tulisnya lagi, “dan pada siapa hatimu kini tertambat, Engkau tetap menghuni tempat teristimewa di hatiku. Belum kutemukan seseorang yang bisa menggesermu dari sana. Dan mungkin tidak akan pernah kutemukan.”
“Selamat Ulang Tahun, Maria. Engkau sudah dewasa sekarang. Semoga hal-hal baik selalu mengelilingimu.”
Kemudian Erikh mengambil kertas itu, lalu melompat berdiri dan membuka lemari tempat folder-folder tulisannya disimpan. Bertambah satu lagi tulisan tentang Maria yang kini entah berada di mana dan hatinya untuk siapa.
Dari kamar sebelah, Serly kembali memperbesar volume musik, dan Erikh menyampirkan handuk ke pundaknya lalu bergegas ke kamar mandi.