Surat yang Takkan Pernah Sampai

- Admin

Minggu, 12 September 2021 - 16:50 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Ini akhir pekan yang sendu. Hujan angin menghantam atap dan jendela. Erikh duduk menghadap jendela kaca itu dengan ekspresi wajah yang juga sendu. Di luar sana tidak ada apa-apa selain jalan dan pepohonan yang basah.

Serly, tetangga kamar sebelah, memutar musik dengan keras hingga hampir mengalahkan suara hujan. Suara basnya menumbuk dinding dan menggetarkan daun pintu serta jendela. Erikh menutup mata, menghirup bau tanah dan hujan lalu mulai menggerak-gerakan badannya mengikuti ritme musik itu.

Anak-anak kos lain tidak terlihat, mungkin masih terlelap di kasur masing-masing, bergelung seperti ular kekenyangan. Bagi manusia-manusia yang hampir selalu kekurangan makanan itu, tidak ada yang lebih nikmat dari tidur nyenyak di sore berhujan.

Baca juga :  Kain Songke dan Kenangan tentang Ibu

Erikh memutar badan lalu menatap kamar kos yang telah disewanya selama empat tahun terakhir ini. Sebuah meja plastik murahan terletak di tengah-tengah kamar, novel-novel bajakan dan kertas-kertas bekas berserakan di atasnya.

Di bawah meja itu ada sebuah dingklik kayu tempat ia biasa duduk. Ditariknya dingklik itu, lalu duduk dan mulai menulis di lembaran kertas yang masih putih polos. Erikh punya kebiasaan menuliskan hal-hal apa saja yang berseliweran di kepalanya.

Baca juga :  Ancaman Cerpen Tommy Duang

Baca Juga : Mengapa harus ada Negara?
Baca Juga : Sebelah Utara Kota Karang

Dan ketika hari hujan, kepalanya selalu dipenuhi dengan kenangan sebab dua hal itu selalu berjodoh. Erikh, seperti kebanyakan manusia lainnya, suka menjodoh-jodohkan hujan dan kenangan.

Tawa Maria, perempuan yang meninggalkannya tiga tahun silam, kembali memenuhi kepalanya. Ia tersenyum, tipis tapi pahit, lalu mulai menulis sebuah surat kecil untuk perempuan itu.

Baca juga :  Kota dan Rindu yang Setia

“Maria, saya menulis surat ini ketika kepala dipenuhi ingatan tentangmu.” Ia menyalakan sebatang rokok dan menghamburkan asapnya ke langit-langit kamar. Segelas kopi adalah sahabat karib sebatang rokok, namun sore itu tidak ada kopi, baik asli maupun kemasan.

“Apakah di kepalamu juga masih tersisa ingatan tentang kita? Saya tahu, ingatan-ingatan itu masih ada di sana, sebab perempuan tidak pernah melupakan apa pun. Hanya saja, mungkin sekarang ingatan itu tidak lagi berarti bagimu.”

Komentar

Berita Terkait

Suami Kekasihku
Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Sunset yang Hilang
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Berita ini 82 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA