Indodian.com – Diskursus seputar oligarki senantiasa relevan untuk Indonesia. Hal ini cukup beralasan mengingat perbincangan ini beriringan dengan eskalasi keterlibatan oligarki yang kian massif dalam ranah demokrasi di Indonesia. Dahsyatnya kekuataan oligarki di Indonesia dapat dibaca dalam Laporan Credit Suisse bertajuk ‘Global Wealth Report 2018’ yang menunjukan bahwa 1 % orang terkaya mendominasi 46 % total kekayaan pendudukan dewasa. Sementara 10 orang terkaya menguasai 75,3% total kekayaan penduduk dewasa.[1]
Sesungguhnya, dominasi oligarki ini memungkinkan demokrasi mengalami distorsi. Mereka menyeret, membantai, dan mereduksi demokrasi sebagai ladang kepentingan parsial semata. Dengan itu, posisi rakyat sebagai tuan kekuasaan pun dilengser. Kedaulatan rakyat diganti dengan kedaulatan para oligark. Kesejahteraan demos digeser dengan kesejahteraan segelintir orang.
Karena itu, melalui tulisan ini, penulis hendak mengetengahkan persoalan oligarki di Indonesia. Sebagai opsi solutif, penulis memproposalkan Populisme yang digagas Ernesto Laclau. Hemat penulis, di tengah amukan badai oligarki, populisme yang dicanangkan beliau dapat menjadi ‘acuan kolektif’ dalam melawan dan mendekonstruksi tahta oligarki di Indonesia.
Problematisasi Oligarki
Jeffry Winters dalam karyanya Oligarchy mengemukakan bahwa transisi demokrasi orde baru menuju reformasi sesungguhnya beriringan dengan transisi oligarki sultanisitik menuju oligarki penguasaan kolektif yang tak jinak.[2] Reformasi suci yang digalakan saat itu hanya berhasil meruntuhkan oligarki sultanistik Soeharto dari puncak kekuasaan.
Sementara itu, oligarki penguasaan kolektif tak jinak tetap menyusup masuk dalam arus reformasi demokrasi. Penyokong oligarki kolektif tak jinak adalah para kroni Soeharto yang semasa orde baru turut terlibat dalam pelbagai pelbagai mal-praktik politik semasa itu.
Seyogiannya, tipikal oligarki kolektif tak jinak turut mengarah pada politik pertahanan kekayaan (wealth defense) yang dilakukan segelintir orang dengan konsentrasi kekayaan yang besar yang bersumber dari kekuasaan. Politik pertahanan kekayaan itu dilakukan dengan mengamankan klaim hak milik dan menjaga sebanyak mungkin sumber akumulasi kekayaan.
Para oligark (oligarch) yang berkelindan adalah pelaku yang menguasai dan mengendalikan sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan kekayaan pribadi atau posisi eksklusifnya dalam ranah demokrasi. Dalam usahanya mempertahankan kekayaan (memaksimalisasi harta) demikian, para oligark bekerja dengan mengedepankan kuasa material yang dimilikinya.[3]
Dengan kekuasaan material yang dimiliki, para oligark membiak dan mempertahankan diri dengan cara membajak institusi demokrasi, seperti partai politik dan proses pemilihan umum.[4] Para oligark menjadikan partainya sebagai ladang akumulasi kekayaan. Melalui penguasaan partai, mereka ingin memperkaya dan memperkuat posisi tawar menawar pribadi sekaligus partai politiknya.[5]
Penetrasi oligarki dalam lingkaran partai justru membawa konsekuensi serius. Kesejatiaan partai sebagai gelanggang peradaban politis menjadi tidak nampak. Sebab bagi para oligark, kapasitas dan integritas para kader tidak menjadi ‘ukuran’, yang penting mereka bekerja demi mengafirmasi kekayaan partai sekaligus mempertahankan keberlangsungan para oligark.
Selain itu, melalui posisinya sebagai penguasa partai, para oligark bisa dengan mudah melakukan kontrol penuh terhadap instansi lain dalam demokrasi semisal, lembaga eksekutif maupun legislatif. Sebab bagaimanapun, mereka yang terlibat dalam lembaga tersebut punya afiliasi yang erat dengan partai yang dikuasai para oligark. Karena itu, melalui upaya kontrol yang dilakukan, keberlangsungan hidup sang oligark amat terjamin.
Selain membajak partai politik, para oligark rupanya turut membajak proses pemilihan umum. Dalam momentum konstestasi elektoral, para oligark rupanya turut menyuplai kemenangan sang kandidat. Aneka taktik dikedepankan di antaranya melalui afirmasi finansial, politisasi agama, maupun instrumentalisasi media. Semua taktik dicanangkan demi memintal kemenangan sang kandidat sekaligus demi mempertahankan kemapanan hidup dari para oligark.
Dalam Pemilihan Presiden 2019 lalu, misalnya, sejumlah oligark yang menjadi pemain utama dari kubu Jokowi mencakup Eric Tohir: ketua tim pemenang, pengusaha sukses, bos media (Mahaka Group); Hary Tanoesoedibjo, Pendiri Partai Perindo; Surya Palo pendiri Partai Nasdem; dan Oesman Sapta Odang, penguasaha asal Kalimantan Barat ini menguasai bisnis pertambangan, porpeti, perkebunan, di antara hal lain. Sementara itu, dari kubu Prabowo: ada Hashim Djojohadikusumo,Tommy Soeharto yang menurut Globe Asia memiliki kekayaan 600 juta dollar AS, Sandiaga Uno dan Aburizal Bahkrie.[6]
Selain itu juga, sebagaimana Jeffry Winters, salah satu komponen strategis bagi para oligark guna melanggengkan status qou kekuasaan ialah melalui upaya kontrol media.[7] Sejak era orde baru runtuh, sejumlah besar uang yang dimiliki para oligark dipakai untuk membeli dan menggenggam media mainstream di Indonesia. Proses ini senantiasa dipercepat begitu pemain-pemain politik besar menyadari bahwa media bisa mengangkat derajat dan melanggengkan kepentingan mereka.
Melalui media, para oligark ingin membangun persepsi dan pencitraan baik dihadapan publik seolah-olah demokrasi bebas dari tawanan kepentingan mereka. Selain itu, media mainstream juga dipakai untuk menunjang kepentingan mereka dalam kontestasi elektoral. Media dijadikan sebagai medium untuk membangun sederet keunggulan atas kontestan yang dijagokan, serentak juga dipakai untuk menstigmatisasi, menyebarkan kampanye hitam (black campaign), dan memviralisasi sederet opini buruk tentang lawan.
Kekuasaan Material dan Penetrasi Oligarki?
Sebagaimana pembacaan Jeffry Winters, eskalasi oligarki di Indonesia dapat dikaji seturut pendekatan sumber daya kekuasaan yang dimiliki. Daftar sumber daya kunci kekuasaan menurut Winters mencakup hak politik formal, jabatan resmi, kuasaan pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi (mobilizational power), dan kekuasaan material (material power). Empat sumber daya yang pertama, ketika didistribusikan dengan cara sangat ekklusif atau terkonstrasi, adalah dasar yang umum dikenal sebagai politik elit. Sementara itu, sumber daya yang terakhir, kekuasaan material, adalah basis oligarki.[8]
Karena itu, kekuasaan material yang dimiliki menjadi kekuataan utama oligarki. Kekayaan adalah sumber daya kekuasaan yang mendefenisikan oligark dan menggerakan politik serta proses oligarki. Sumber daya kekuasaan material menyediakan dasar bagi tegaknya oligarki sebagai pelaku politik yang tangguh.[9] Dengan adanya konsentrasi dan dominasi kekayaan, oligarki diberdaya dan berkembang dalam tatanan demokrasi bangsa. Kekayaan menjadi basis utama, sehingga oligarki dapat bertumbuh dan menjejaki seluruh elemen dalam korpus demokrasi.
Kekuasaan material (kekayaan) merupakan sumber daya kekuasaan yang sangat tangguh sebab ia dapat menerobos masuk ke dalam berbagai realitas, kondisi, dan keadaan. Karena itu, melalui sumber daya kekuasan yang ada, oligarki dapat menerobos ke dalam demokrasi, menguasai elemen politik-formal, melakukan pemaksaan, dan mengaktualisasi kuasa mobilisasi. Melalui kuasa material yang dimiliki, seorang oligark bisa ‘membeli jabatan’, mendirikan dan menguasai partai, media, dan pelbagai elemen demokratis lainnya.
Selain itu, melalui sumber kekuasaan material seorang oligark menyewa dan memberdaya para pelaku professional. Mereka dipekerjakan sebagai ‘advokat purnawaktu’, yang hadir sebagai agen legitimasi sekaligus pembela kepentingan utama oligarki. Mereka adalah para pekerja yang disewakan demi mengukuhkan dan menunjang keberlangsungan hidup para oligark.
Apabila merujuk pada analisis di atas, hemat penulis, taktik yang dikedepankan para oligark merupakan bagian dari mekanisme pertahanan sekaligus upaya akumulasi kekayaan. Mekanisme pertahan dimaksud untuk menjaga dan melindungi posisi dan juga klaim harta yang dimiliki dari pelbagai ‘ancaman’ maupun ‘serangan’.
Upaya pertahanan yang dimaksud dianggap penting demi menjaga keberlangsungan hidup mereka dari kerentanan, persaingan, dominasi, maupun pertentangan pihak lain. Selain sebagai bagian dari mekanisme pertahanan, taktik yang dimaksud juga merupakan bagian dari upaya akumulasi kekayaan. Mereka diarahkan untuk menjaga sebanyak mungkin sumber akumulasi kekayaan. Mereka menjadi pelaku yang menguasai dan mengendalikan sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan dan memberdaya akumulasi kekayaan.
Karena itu, seraya berpijak pada gagasan di atas, hemat penulis, oligarki sesungguhnya sudah menjerat demokrasi. Demokrasi sesungguhnya sudah lama direduksi dan dijadikan sebagai ladangan kepentingan para oligark. Mereka menguasai elemen demokrasi, mengontrol setiap kebijakan dan pembangunan demokrasi.
Mereka juga mengupayakan kontrol penuh atas partai, media, dan proses pemilihan umum. Dengan itu, keterlibatan mereka seyogianya mempengaruhi posisi rakyat sebagai tuan demokrasi. Dominasi oligarki justru mempengaruhi kedaulatan dan cita-cita kesejahteraan rakyat dalam demokrasi.
Menjejaki Populisme Laclauian
Dalam Opus Magnum-nya yang berjudul On Populist Reason (2005), Ernesto Laclau berusaha mengkonseptualisasi dan mengelaborasikan gagasannya tentang populisme secara lebih komperhensif. Dengan berpijak pada faktum yang terjadi dalam praksis politik, Ernesto berusaha menjadikan populisme sebagai bagian dari logika politik. Sebagai suatu logika politik, populisme itu dimengerti sebagai sebuah jalan dalam membangun yang politik. Hal ini dapat disimak pada halaman awal tulisannya yang menyatakan “Populisme is, quite simply, a way of constructing the political”.[10]
Meskipun demikian, sebagai sebuah medium untuk menggapai yang politik, terlebih dahulu populisme berfokus pada sebuah cara mengonstruksi identitas popular-yang diamininya sebagai the people yakni sebuah kelompok yang mempunyai kesatuan kokoh dalam masyarakat. The people terbentuk dengan sangat jelas dalam suatu cakupan logika persamaan dalam masyarakat.
Menurut Ernesto Laclau, sebagaimana dikemukakan Manuel Anselmi, Logika persamaan akan benar-benar nampak di permukaan ketika suatu tuntutan (demand) dari masyarakat tidak dipenuhi oleh institusi-institusi Negara.[11] Pada tataran ini akan terjadi gejolak, sehingga masyarakat mulai memobilisasi diri dan kemudian membentuk jalinan solidaritas di antara mereka. Menurut Laclau, ini merupakan pra-kondisi pertama yang memungkinkan terjadinya sebuah mode artikulasi politik yang disebutnnya sebagai populisme.
Walaupun demikian tuntutan yang bersifat tunggal hanya memberikan peluang kecil untuk terjadinya populisme, sebab tuntutan tersebut hanya dari satu kelompok saja. Oleh sebab itu, hemat Laclau yang menyebabkan populisme muncul adalah adanya kemajemukan tuntutan (popular demand). Selanjutnya, tuntutan-tuntutan sosial yang tidak terpenuhi mesti diartikulasikan ke dalam rantai ekuivalensial (equivalential chain).
Rantai ekuivalensial adalah jalinan kesamaaan atau kesepadanan yang menghubungkan berbagai demands dari kelompok-kelompok masyarakatoleh karena sama-sama tidak dipenuhi oleh penguasa. Tanpa ekuivalensi, tidak akan ada populisme. Untuk menghasilkan rantai ekuivalensi, perlu dibuat garis batas internal antara rakyat dan kekuasaan. Dalam tubuh masyarakat sendiri, kelompok-kelompok yang sebelumnya heterogen dengan tuntutan-tuntutan yang terpisah (isolated) satu sama lain, kini diartikulasikan melalui rantai kesepadanan dalam the people.[12]
Menurut Laclau, rakyat merupakan suatu bagian dari masyarakat yang memandang dirinya sebagai satu-satunya totalitas yang sah; dalam situasi ini, baik satu tuntutan khusus maupun serangkaian tuntutan mewakili rakyat keseluruhan (the sosial whole). Karena itu, untuk mencapai suatu kemajuan tuntutan, maka mesti ada kolaborasi tuntutanan dalam suatu jalanian kesamaan. Kolaborasi suatu rantai ekuivalensial memungkinkan adanya mode artikulasi politik yakni populisme.
Selanjutnya, kemajemukan tuntutan yang terikat dalam rantai ekuivalensial inilah yang kemudian mengarah pada empty signifier. Empty signifier mempunyai peran yang sangat sentral sebab ia adalah simbol yang menyatukan dan merepresentasikan tuntutan-tuntutan melalui jalinan kesamaan (chain of equivalences) dalam suatu masyarakat. Peran empty signifier ini sangat penting sebab ia diyakini sebagai sebuah simbol perekat persatuan aneka tuntutan dalam chaing of equivalences yang digalakan.[13]
Jika proses artikulasi demand terjadi dalam chain of equivalences yang kokoh lalu mengarah kepada empty signifier (penanda yang kosong), maka tahap pembentukan the people pun tercapai. Sebagaimana dijelaskan Laclau, the people sesungguhnya merupakan aktor kolektif yang sentral untuk melabrak habis tatanan the others (the elite). The people yang dikonstruksikan disini, menurut Laclau, bukan suatu dasar dari ekspresi ideologis, tetapi merupakan relasi real antara agen-agen sosial.
Konstruksi the people sesungguhnya buah dari praktik artikulasi diskursif yang dilaksanakan dalam serangkaian tahap-tahap yang kompleks. Ernesto Laclau mengakui konstruksi the people tidak secara sederhana dimengerti dalam bingkai sosiologis misalnya: kaum marginal, orang miskin, atau orang-orang yang tidak diakui haknya.
Pengertian the people, menurut Laclau, mesti melampaui itu dengan mengarah pada suatu dimensi politikal. Dengan demikian, kaum marginal, orang miskin, atau orang-orang yang tidak diakui haknya bisa mendapat titel the people tatkala mereka secara aktif mengungkapkan demand dan menyatu dalam rantai ekuvalensial hingga mengarah dan mengisi penanda yang kosong (empty signifier).
Setelah memahami genealogi pembentukan the people, selanjutnya unsur lain yang hendak digarap ialah terkait populisme sebagai medium dalam membangun yang politik (the political). Populisme dilihat sebagai medium dalam membangun yang politik sebab di dalam kawasan populisme, the people secara aktif menempatkan batasan politis dengan the elite sebagai penguasaha yang lalim. Di dalamnya the people ditempatkan sebagai subjek politik otentik sebab mereka secara aktif memperjuangkan kepentingan bersama.
Mereka menggonggong dan melakukan protes atas segenap kegagalan yang dibidani para penguasah. Mereka adalah agen partisipatoris yang menggalakan dan menyeruhkan kepentingan dari bawah ke atas (bottom-up). Dengan demikian, setelah melihat populisme sebagai jembatan pembangun yang politik, dengan sendirinya populisme Ernesto Laclau dapat dimengerti sebagai sebuah kekuatan emansipatoris dalam demokrasi. Ia membawa sebuah gerakan progresif demi kemaslahatan bersama di tengah gelanggang demokrasi.
Populisme Laclauian Kontra Oligarki di Indonesia
Di tengah eskalasi amukan badai Oligarki di Indonesia, Populisme yang diproposalkan Ernesto Laclau sesungguhnya dapat dijadikan sebagai kerangka perlawanan. Populisme Ernesto Laclau, hemat penulis, dapat menjadi suatu acuan yang bagus dalam mendobrak dan mendekonstruksi kekusaan oligarki di Indonesia.
Dapat disadari, memang ada begitu banyak pihak: invidu, agen, atau kelompok, yang merasa dirugikan akibat penetrasi oligarki dalam demokrasi. Keberadaan oligarki memungkinkan tuntutan di antara mereka tidak dipenuhi. Mereka tidak mengalami kesejahteraan. Kedaulatan dan kepentingan mereka diabaikan. Karena itu, mereka merasa diculikan, diabaikan, dan diasingkan dalam demokrasi.
Dengan mengacu pada kerangka intelektual Laclau, hemat penulis, sudah saatnya semua tuntutan (demand) dari setiap individu dan kelompok sosial, disatukan dalam jalinan yang sama dan membentuk popular demand. Beragam tuntutan itu mestinya disimpulkan dalam suatu kesadaran dan keinginan yang sama yakni meruntuhkan para oligark. Semua pihak harus bersatu dan membentuk simpul atau penanda gerakan yang sama guna menyeruhkan dan melabarkan status quo kekuasaan oligarki.
Alhasil, dengan dibentuknya suatu popular demand dalam suatu rantai ekuvalensial, maka dengan sendirinya the people pun terbentuk sebagai sebuah agen yang melakukan protes atas ketidakberesan para elite oligarkis di Indonesia. The people adalah subjek politik itu sendiri yang secara aktif menyeruhkan kepentingan dari bawah ke atas. Mereka membawa sebuah gerakan emansipatoris yang progresif dengan melabrak dan meruntuhkan kekuatan oligarki di Indonesia.
Daftar Rujukan
[1] Https://databooks.katadata.co.id/datapublish/2018/11/09/10-orang-terkata-di-indonesia-kuasai-75-kekayaan-penduduk, diakses pada Minggu, 5 Juli 2020.
[2]Jeffry Winters, Oligarki, penerj. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 266.
[3] Ibid., hlm. 27.
[4] Otto Gusti Madung, “Populisme, Demokrasi Disensus, dan Relevansi Untuk Indonesia”, dalam Mathias Daven dan Georg Kirchberger, Hidup Sebuah Pertanyaan: Kenangan 50 Tahun STFK Ledalero (Maumere: Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 157.
[5] Boni Hargens, “Kartelisasi Oligarkis”, Kompas, 28 Maret 2020.
[6] Frendy Kurniawasan, “Para Konglomerat di Belakang Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019”, dalam tirto.id, diakses pada Senin, 25 Mei 2020.
[7] Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, dalam AE Priyono dan Usman Hamid (eds.), Merancang Arah Baru Demokrasi Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014), hlm. 218.
[8] Jerry A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, dalam Prisma Vol. 33, No. 1 (LP3ES, 2014), hlm. 14.
[9] Jefrry A. Winters, op.cit., hlm. 26.
[10] Ernesto Laclau, On Populist Reason (London: Verso, 2005), hlm. xi
[11] Manuel Anselmi, Populisme An Introduction (New York: Routledge, 2018), hlm. 32
[12] Enrique Peruzzotti, “Laclau’s Theory of Populisme: A Critical Review”, dalam Carlos De La Torre, Routledge Handbook of Global Populism (London: Routledge, 2018), hlm. 36.
[13] Yohanes Engelbertus Paji, “Populisme Menurut Ernesto Laclau dan Relevansinya untuk Konteks Indonesia” (Skripsi Sarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, 2019).