Sampai Kapan Kita Berutang ke World Bank?

- Admin

Selasa, 18 Oktober 2022 - 21:26 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Menurut data dari Laporan World Bank Oktober 2022, selama 28 tahun (periode 2014-2022) pemerintah Indonesia telah berutang ke mereka sebesar US$15,67 miliar. Jika dikonversikan ke rupiah, saat ini nilainya mencapai sekitar Rp242,1 triliun (kurs Rp15.449 per dolar AS). Jumlah utang pemerintah Indonesia ini merupakan yang terbesar dibanding negara-negara Asia Tenggara lainnya, misalnya Filipina (10,9 milyar), Myanmar (2,9 milyar), Kamboja (1,4 milyar), Laos (966,2 juta), dan Timor Leste (295,2 juta).

Adapun Malaysia, Thailand, dan Singapura tidak menerima pinjaman dari Bank Dunia selama periode 2014-2022. Apakah utang pemerintah Indonesia ini benar-benar membantu menyelesaikan masalah yang dialami masyarakat Indonesia? Mengingat bahwa World Bank didirikan oleh Keynesian di Bretton Woods, maka kita perlu agak skeptis terhadap klausul ekonomi dan politik yang diajukan sebagai pembenaran untuk skema utang tersebut.

Baca juga :  Uskup Mesti Mengendus Kasus Perampasan Tanah di Labuan Bajo

Dalam artikel yang ditulis Joseph Kahn, disebutkan ada dua isme yang dianut oleh World Bank. Pertama kubu ortodoks, yaitu kubu yang mengobati penyakit di dunia ketiga dengan resep sebagai berikut: liberalisasi perdagangan, bank sentral independen, pemerintah yang lebih efektif dan tidak boros, privatisasi aset negara, juga investasi di bidang kesehatan dan pendidikan.

Kubu kedua yaitu eksperimentalis, dimana mereka yakin bahwa pemerintah dapat menetapkan jalan dan langkah mereka sendiri kepada pasar. Kedua kubu ini sama-sama mengabaikan hal yang sangat penting yaitu sama-sama mendorong keterlibatan pemerintah dalam proses transisi ke sistem pasar. Padahal pasar, menurut naturnya, haruslah dibiarkan berkembang secara alami dengan membebaskan orang berperilaku, sehingga mereka dapat berinteraksi dan melakukan pertukaran.

Baca juga :  Merawat Simpul Empati

Pasar layaknya jaringan saraf yang saling berhubungan, yang tak terhitung banyaknya, sangat rumit, saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Tindakan memaksakan pada satu titik akan melumpuhkan sistem kerja pasar dan pada akhirnya akan merugikan masyarakat.

Mengutip Simon Wilson, bagi World Bank, ketiadaan regulasi otomatis sama dengan keterbelakangan. Pembangunan adalah pencapaian indikator tertentu dalam konsumsi dan pengeluaran sosial, lamanya tahun pendidikan yang dibiayai negara, dan implementasi ketentuan hukum seperti hak upah minimum.

Masalahnya, realisasi indikator-indikator pembangunan ini sangat terkait dengan orang-orang yang bekerja menerima upah, bekerja untuk bisnis, di mana mereka dikenakan pajak. Pajak-pajak ini kemudian digunakan untuk mendanai serangkaian program sosial yang diawaki oleh “profesional kemiskinan” yang mendedikasikan upaya mereka untuk mencari tahu mengapa setiap orang dalam mencari nafkah di area yang tidak diatur oleh pemerintah mengalami kesusahan.

Baca juga :  Bahasa sebagai Instrumen Simbolik Kekuasaan

“Pasar bebas” adalah pasar yang bebas dan tidak dibatasi. Keterlibatan pemerintah yang sangat besar dan berkelanjutan pasti akan menunda transisi menuju sistem ekonomi yang sejahtera. Penjaminan kepemilikan prbadi, persaingan berusaha merupakan jalan utama untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

Kapankah negara kita akan berubah, dari negara yang mengandalkan ‘kebaikan’ orang asing untuk membiayai gaya hidup pengeluaran pemerintah menjadi negara yang mengalami surplus dan dapat mengurus urusannya sendiri?

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 86 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA