Pemandangan sore menjelang malam ini begitu ramai. Sekumpulan lelaki dan perempuan berpasangan. Berpelukan. Mesra di penghujung hari.
Satu dari kelompok manusia ini merasuk pandangan saya. Dia sibuk kiri-kanan. Sendirian. Mondar-mandir. Dia ber-make up biasa-biasa saja. Kaos yang dipakainya sederhana pula.
Dia memakai celana pendek levis. Panjangnya tak sampai lutut. Ditambah robekan di bagian paha. Tampak sekali kaki yang bersih dan mulus yang dipadukan dengan sandal jepit.
Sesekali dia berkaca. Lalu berkitar-kitar. Di depan pintu bangunan jelas terbaca: “Sophisticated“.
Sekonyong-konyong gadis itu mendekati saya, sehingga saya jadi kaget.
“Hai. Selamat malam,” sapanya.
“Malam juga nona.”
Saya pun memperkenalkan diri. Sesuai aturan mainnya, pria harus memperkenalkan diri terlebih dahulu. Apalagi di sini saya sebagai orang asing.
Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
Saya menyodorkan tangan. Memberi tahu nama dan tujuan kemari. Aduhai, tangannya lembut. Aliran darah di telapakku mendadak panas. Mengalir hingga mata kaki. Canggung.
“Saya Pelangi, Kak.”
“Nama yang indah.”
“Tidak juga.”
“Idealnya begitu.”
Usianya baru 23 tahun. Tinggi semampai. Tank top yang dikenakan membuatnya lebih dari sekadar pelangi. Saya menduga ini adalah karantina peragawati.
“Ngomong-ngomong, kita sambil ngopi yuk!” Dia membuka cerita dan saya mengamininya.
Kisahnya dimulai. Hari ini adalah hari yang istimewa bagi saya. Betapa tidak bidadari kayangan seperti dalam dongeng menampakkan diri di depan saya. Tentu saja ini berkat.
“Saban malam kami menunggu pria-pria parlente. Berdompet tebal,” ujarnya sambil menelan ludah.
Mendengar itu saya memasang telinga baik-baik. Menegakkan sandaran kursi. Menatap mata dan bibirnya yang seolah merinai puisi.
Meski ini percakapan serius, saya harus rileks. Bagaimana pun rileks adalah pintu masuk menyingkap kisah-kisah yang tak tersingkap.
Oleh sebabnya, seterampil mungkin saya menjaga etika dan menata kata, agar tidak dicurigainya sebagai interogasi.
Tape recorder yang saya sembunyikan di saku sweater menyala sejak satu jam yang lalu.
Lantas…
“Kakak mau berapa?”
“Hah? Maksudnya apa ya?”
“Idih, kok kak pura-pura sih?”
“Suer. Saya ke sini…..”
“Sudah-sudah. Mari ikut saya!”
Saya tak kuasa menahan ajakannya. Butuh dua menit kami ke ruangan kecil. Melewati lorong yang dipagari bidadari-bidadari.
Tempat tidur di kamarnya sangat sederhana. Tapi dinding-dinding dikelilingi poster dan stiker pesohor tanah air dan dunia. Saya melihat langit-langit kamar, dinding, dan seisi ruangan.
“Poster-poster ini?”
“Itu list pelanggan.”
“Astaga!!”
“Kenapa?”
“Tidak! Tidak!”
Dengan cekatan dia menanggalkan pakaiannya.
“Eitsss, sssaa…..bar!”
“Ada apa, kakak meremehkanku, ya?”
“Tidak. Saya ke sini untuk…”
“Ahhaaa, jangan beralibi.”
“Dengar dulu nona….”
Saya memintanya berpakaian agar obrolan kami semakin cair. Lumrah memang, bahwa ke Sophisticated berarti menghabiskan dompet dan energi semalaman dengan bercinta. Cinta Sophisticated.
Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
Tapi malam ini dia menyerah ketika mendengar penjelasanku. Saya profesional meski didera dilema, antara nafsu birahi, pikiran dan nurani. Tapi nurani berkata bahwa tujuan saya kemari adalah informasi, bukan kemolekan tubuh si bidadari.
Dia terlihat fokus mendengar penjelasan saya. Saya melihat kesedihan di sudut matanya. Bibir yang bergetar seolah menahan beban. Di sudut mata tergambar jelas ribuan cerita.
“Saya mau mewawancarai nona, bisakah?”
Ajakku sambil memberikan segepok uang ke tangannya.
“Hmmm, kasih tahu gak ya?” Jawabnya manja.
“Harus bisa dong.”
“Kan kita tidak untuk….”
“Baiklah,” jawabnya sambil berkedip-kedip.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya