Pada Mulanya adalah Menulis
Dalam Where Writings Begin, A Postmodern Reconstruction, Michael Carter menulis tentang “menulis sebagai permulaan segala sesuatu”, sejajar dengan prolog Injil Yohanes tentang Sabda, logos (kata-kata/bahasa) sebagai permulaan dunia. Kata-kata itu tak sekadar diucapkan tetapi ditulis dalam sebuah buku, yang disebut Kitab Suci.
Carter (2003:105) menulis, arche is beginnings; writing is arcrheological; therefore, writing is beginning. Menulis menciptakan makna, membongkar kembali sesuatu yang berlalu, hilang dan mati, seperti pekerjaan seorang arkeolog dan cukup sering membawa penulisnya kepada kontradiksi-kontradiksi yang memurnikan pikiran dan membebaskan batin. Dengan kata lain, menulis menghidupkan yang mati, menyingkap yang tersembunyi, menampakkan yang telah tiada, melawan lupa dan banalitas.
Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
Menulis sebagai permulaan segala sesuatu itu turut menjelaskan arti menulis sebagai titik simpul membaca, berpikir dan mendemontrasikan pemahaman. Lewat menulis, aktivitas-aktvitas literasi tersebut memiliki nilai reproduktif.
Menulis berarti membaca. Menulis dan membaca adalah dua sisi dari satu koin. Menulis membutuhkan gagasan-gagasan baru dan segar. Gagasan yang segar adalah mata uang penulis. Dia harus terus aktual dan selalu memiliki “kepala baru” setiap harinya. Maka, dia harus membaca, membaca dan membaca. Itu wajib hukumnya.
Membaca adalah makanan penulis. Penulis yang tak membaca adalah penulis “gizi buruk”. Francis Bacon, penelur gagasan “pengetahuan adalah kekuasaan”, menegaskan: “Reading make a full man”, tetapi “Writing make an exact man”. (M. Alfan Allfian, 2016:8). Artinya jelas: tanpa membaca, wawasan kita kerdil, pemikiran tak segar. Singkatnya, penulis sejati adalah pembaca yang disiplin, dan pembaca sejati adalah penulis.
Tapi membaca tak sekadar berarti membaca buku, melainkan membaca “teks”. Derrida, filsuf postmodern Prancis bilang: “Teks adalah segala sesuatu, maka tak ada sesuatupun di luar teks”. Artinya membaca bisa berarti membaca buku dan membaca teks-teks lain yang disebut konteks: realitas mahaluas.
Menulis juga adalah jalan berpikir. Tak sekadar media komunikasi, menulis adalah medium untuk mengingat dan berpikir. Menulis mengubah kata-kata menjadi permanen dan memperluas memori kolektif umat manusia. Di situ, menulis menjernihkan pemikiran, mempertajam kesadaran, memecah masalah, membentuk argumentasi dan opini publik, mengembangkan pengetahuan yang jelas dan detail.
Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
Dengan menulis, penulis dilatih mengorganisasi pikiran secara sistematis dan rasional, sehingga jauh dari kengawuran dan kesembarangan. Di sini, menulis berbeda dari berbicara. Berbicara itu natural, sedangkan menulis itu tidak natural.
Tidak semua orang yang bisa berbicara bisa menulis dengan baik. Tidak semua orang pandai bisa menulis. Tidak semua demagog yang sanggup beretorika secara mencengangkan bisa menulis dengan baik. Bahasa lisan bisa jadi sangat baik, tetapi ketika menulis, bahasanya menjadi amburadul, kalimatnya ngawur. Umumnya, para politisi menderita penyakit semacam ini.
Seorang penulis selalu harus cermat memilih sebuah kata atau membangun kalimat sebab ia sadar, bahasa adalah asal muasal segala sesuatu. Kata bisa membangun, bisa juga menghancurkan. Pernyataan Ahok beberapa waktu silam: “Jangan mau dibohongi pakai Almaidah 51” misalnya, menyulut polemik yang menguras pikiran para pakar bahasa dan memanaskan situasi bangsa.
Bayangkan apa akibatnya seadainya kita tak memedulikan perbedaan arti kata “menggagahi” dan “menggagahkan”, “meniduri” dan “menidurkan”. Kengawuran semacam itu bisa memicu kesalahpahaman dan kegaduhan. Pesannya jelas: ketepatan rumusan bahasa bukan perkara sepele, apalagi di Indonesia yang mudah menyeruduk karena bahasa.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya






