Ajip Rosidi
Sama seperti Mochtar Lubis, Ajip Rosidi juga mengendus tendensi koruptif masyarakat Indonesia melalui kultur hidupnya. Hal ini dibicarakan Rosidi dalam salah satu karangan populernya berjudul Korupsi dan Kebudayaan. Menurut Rosidi, korupsi di Indonesia merupakan hasil pertemuan antara mentalitas atau kultur manusia Indonesia dan kolonialisme Belanda.
Sebelum kedatangan Belanda di Hindia Belanda (Indonesia), masyarakat hidup dalam sistem kerajaan. Sistem ini sarat akan relasi tuan-hamba, sembah-menyembah, dan litani praktik feodal lainnya. Pada mulanya, Belanda berniat mengubah sistem ini. Namun, niat itu diurungkan sebab tuan-tuan pribumi ternyata potensial untuk dijadikan instrumen politik kolonial. Feodalisme itu pun dilestarikan.
Sebab itu, Ajip Rosidi menulis:
Kalau kita bepergian dengan mobil di Jawa, sering perjalanan terhalang oleh karena ada perbaikan jalan atau pembangunan masjid. Di tempat perbaikan jalan, sejumlah orang – sering anak-anak – berdiri sambil menadahkan kaleng, plastik atau wadah lainnya, yang diangsurkan kepada setiap mobil yang lewat. … praktek seperti itu kita dengar terjadi dalam bidang perpajakan, dalam bidang penegakan hukum, dalam urusan pemberian izin kepada usaha baru, dalam pemberian izin untuk berbagai kegiatan, dll (2006:35)
Bagi Rosidi, bahkan religiositas dan moralitas kita gadaikan dengan cara-cara yang begitu memalukan. Ke dalam yang religius kita menginfiltrasi kalkulasi dan logika ekonomis: yang penting uang. Namun, entah kenapa, masyarakat Indonesia menerimanya begitu saja (taken for granted) dan menganggapnya sebagai sesuatu yang niscaya.
Di satu sisi, Ajip Rosidi cenderung melihat korupsi sebagai suatu fenomena yang telah berurat akar dalam kultur hidup masyarakat Indonesia. Di lain sisi, ia juga menegaskan, korupsi merupakan suatu fenomena struktural. Ada kekuasaan ekonomi politik yang melanggengkan korupsi. Hal ini terepresentasi melalui kritik Ajip Rosidi terhadap pemerintahan Soeharto. Ia menulis:
Jelas sekali langkah-langkah Soeharto adalah untuk mengangkangi kekayaan negara dengan mengikutsertakan seluruh pejabat negara. Seorang pejabat ditempatkan dalam sesuatu tempat, harus kreatif menciptakan sumber-sumber dana, bukan untuk melaksanakan tugasnya sebaik-baiknya, melainkan untuk berbagi ke atas (2006:27)
Strategi politik yang sama tetap terpelihara hingga saat ini. Elit politik, bersama elit ekonomi, memanipulasi anggaran negara demi kepentingan partai dan kelompok. Partai-partai politik pun menempatkan kadernya di setiap sektor. Mereka ditugaskan untuk mengangkangi peraturan demi menguras uang negara.
Hal ini, misalnya, terindikasi melalui kasus korupsi dana bantuan sosial Covid-19 yang melibatkan Juliari Batubara, Menteri Sosial Kabinet Indonesia Maju. Pandemi Covid-19 yang telah menimbulkan kerugian multidimensional, terutama bagi masyarakat miskin, justru menjadi lahan garapan korupsi berjemaah di negeri ini.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya