Indodian.com – Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984, Indonesia memperingati 23 Juli sebagai Hari Anak Nasional (HAN). Hari Anak Nasional 2021 mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”. Sejatinya, Hari Anak Nasional bukan sekadar seremoni dan formalitas, tetapi menjadi momentum penting untuk membangun dan membangkitkan kepedulian juga partisipasi aktif setiap elemen bangsa Indonesia untuk mememuhi, menghormati dan melindungi hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Dan yang juga tak kalah penting adalah anak juga memiliki hak untuk berpartisipasi secara wajar dan bermakna dalam pembangunan, sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi.
Pertanyaannya sekarang, apakah anak Indonesia sudah mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk kekerasan? Angka kekerasan pada anak terbilang tinggi selama masa pandemik. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat setidaknya, ada sekitar 3.122 kasus kekerasan terhadap anak yang tercatat di SIMFONI PPA (sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak) per semester pertama 2021. Dari data tersebut, angka kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap anak masih mendominasi, terutama di masa pandemik.
Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati
Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri
Di tahun 2020, ada 4.116 kasus kekerasan anak pada semester pertama dengan klasifikasi 3.296 anak perempuan dan 1.319 anak laki-laki yang menjadi korban kekerasan. Pada tahun 2019, kejahatan seksual pada anak berbasis internet masih menjadi tren tertinggi. Menurut data yang dimiliki oleh Mabes Polri, sampai Agustus 2019 ada sekitar 236 kasus kejahatan seksual berbasis online (daring). Dari hasil pemantauan yang dilakukan ECPAT Indonesia pun pada kwartal pertama 2019 ditemukan bahwa kasus-kasus kejahatan seksual anak melalui daring cukup besar angkanya dari 37 kasus yang ditemukan, sekitar 35 persen-nya adalah kejahatan seksual anak berbasi online, baik itu kasus pornografi dan kasus child grooming online. Sementara itu, sepanjang tahun 2018, tercatat 1.685 anak-anak yang telah menjadi korban dari kekerasan dan eksploitasi seksual, yang mana 77 persen-nya teridentifikasi anak perempuan dan 33 persen-nya anak laki-laki.
Data-data di atas membuktikan bahwa upaya perlindungan terhadap anak belum selesai. Hampir tidak ada ruang aman bagi anak. Orang terdekat (seperti ayah, paman, pacar), tokoh agama dan guru justru menjadi pelaku kekerasan paling banyak. Media juga bahkan ikut melakukan kekerasan ganda terhadap anak lewat sejumlah pemberitaan di media yang hanya mengejar rating, click dan viralitas.
Baca Juga : Pelangi di Mataku
Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Melihat peningkatan pesat angka kekerasan terhadap anak di Indonesia selama empat tahun terakhir, bagaimana semestinya peran media? Apakah media kita di Indonesia sudah menerapkan jurnalisme ramah anak dan turut menjadi medium yang melindungi dan menyuarakan agar hak-hak anak senantiasa dipenuhi, dihormati dan dilindungi?
Tidak bisa kita nafikan bahwa sebagian besar media massa di Indonesia dmasih belum ramah anak. Meski isu anak dalam tema-tema tertentu telah menjadi isu menarik yang diangkat di media massa, namun seringkali potret anak dalam pemberitaan media massa masih belum mencerminkan perlindungan terhadap anak.
Alih-alih pemberitaan, media massa justru mengeksploitasi berbagai isu anak, terlebih lagi ketika ada kasus kekerasan seksual dan anak yang berhadapan dengan hukum. Media massa seringkali melanggar kode etik jurnalistik dalam memberitakan berbagai isu anak, semisal mengungkapkan identitas anak (baik sebagai pelaku maupun korban) dan penggunaan diksi yang bombastis, sensasional dan mengandung unsur cabul juga sadis. Identitas anak yang paling sering diekspos oleh media adalah nama, tempat tinggal, nama orang tua, bahkan foto atau video yang memperlihatkan wajah anak, tanpa sensor sama sekali. Mengungkap identitas anak secara terang-terangan dan berlebihan sesungguhnya bisa mengganggu perkembangan anak. Acapkali anak di-framing sebagai sosok yang ikut andil sebagai pelaku, padahal murni sebagai korban.
Media sebagai sebuah katalisator memiliki peran signifikan dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap perlindungan terhadap anak terutama anak dari eksploitasi seksual sesuai amanat dalam UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi
Setiap insan media harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua pekerja media seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Media terkadang hanya terjebak pada apa yag diomongkan, tidak menggali pada substansi persoalan.
Dalam aktivitas jurnalistik, wartawan tentu saja menjadi pionir dalam proses peliputan. Wartawan yang baik, kalau melakukan wawancara, harus sopan, memahami bahan secara utuh, menggali informasi sebanyak mungkin, tidak menunjukkan kesan sudah tahu, sok pintar, sok pamer juga tidak bernada menghakimi.
Mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tidaklah cukup. Wartawan harus menempatkan loyalitasnya secara tegas dan jelas. Apakah loyalitas kepada perusahaan,pembaca atau masyarakat? Perlu disadari bahwa wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang melangkahi kepentingan perusahaan dimana mereka bekerja. Walau demikian, tanggung jawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.
Dalam bisnis media, ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah khalayak. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah warga. Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, audiens bukanlah pelanggan. Kebanyakan media memberikan berita secara gratis. Adanya kepercayaan publik iniilah yang kemudian dipinjamkan perusahaan media kepada pemasang iklan. Dalam hal ini, pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan khalayaknya.
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
Baca Juga : Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik
Mirisnya, banyak media yang mengaitkan besarnya bonus atau pendapatan para redaktur dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan yang bersangkutan. Ini bisa mengaburkan tanggung jawab sosial para redaktur. Mengaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.
Jurnalisme yang bermutu adalah jurnalisme yang menolak menerbitkan berita yang sifatnya sexist, bias gender dan eksploitatif. Logikanya, laporan jurnalsitik harus proporsional dan komprehensif. Artinya, naskah berita yang tersurat atau tersirat sexist, bias gender dan eksploitatif adalah naskah yang tak tampil proporsional dan komprehensif. Naskah seperti ini yang bisa menimbulkan masalah dan punya bahaya laten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau memang mau membangun reputasi wartawan yang solid, yang tahu mana yang metodologis dan mana yang bakal mencoreng reputasi, naskah berita yang mengandung tiga paham tadi semestinya diperbaiki atau tidak dimuat sama sekali. Jurnalisme yang bermutu tidak mau menciptakan distorsi yang serius di dalam masyarakat. Makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat yang bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan yang dibuat.
Baca Juga : Perempuan, Iklan dan Logika Properti
Baca Juga : “Utang Budi” Pater Thomas Krump, SVD
Pemerintah juga sudah mengeluarkan berbagai regulasi guna memberikan perlindungan terhadap anak dalam pemberitaan, diantaranya ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) Standar Program Siaran (SPS), dan Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia. Dalam Pasal 17 KHA mengakui fungsi penting yang dilakukan media massa dan negara harus menjamin anak mempunyai akses terhadap informasi dan bahan dari suatu diversitas sumber-sumber nasional dan internasional, terutama yang ditujukan pada peningkatan kesejahteraan sosial, spiritual dan kesusilaannya serta kesehatan fisik dan mentalnya.
Berbagai regulasi memang sudah banyak dikeluarkan, namun yang lebih penting proses implementasi harus kita kawal bersama. Keterlibatan masyarakat dimana orang tua dan media massa berperan penting dalam upaya perlindungan anak. Di sisi lain, anak-anak juga perlu diberikan pemahaman, pengetahuan, dan penguatan untuk dapat melindungi dirinya sendiri. Pemberitaan terkait isu-isu anak tersebut sebaiknya dilakukan dengan mengembangkan jurnalisme empati.
Melalui program atau konten media massa yang edukatif, anak bisa ikut berpartisipasi sebagai agen perubahan, mendukung proses tumbuh-kembang anak, merangsang kecerdasan, dan meningkatkan kreativitas anak. Ingat, anak-anak bukan orang dewasa mini, jadi setiap kita mesti memahami psikologi perkembangan anak. Yuk, stop kekerasan terhadap anak melalui media. Sebab makin bermutu jurnalisme di dalam masyarakat, maka makin bermutu pula informasi yang didapat masyarakat yang bersangkutan. Terusannya, makin bermutu pula keputusan dan kebijakan yang dibuat!
Selamat Hari Anak Nasional!