Bandit Demokrasi
Bangsa Indonesia yang kini sedang mengalami proses transisi demokrasi, benar-benar sedang berada dalam situasi kritis. Karena kini kita tepat berada di persimpangan jalan keselamatan atau jalan kehancuran. Bila proses transisi ini tidak dapat kita lalui dengan baik, demikian sosiolog Imam Prasodjo, ancaman yang kita hadapi tidak saja proses disintegrasi bangsa (lepasnya wilayah tertentu dari negara).
Tetapi yang lebih mengkhawatirkan adalah kemungkinan terjadinya proses disintegrasi sosial atau hancurnya social bond (kerekatan sosial) dalam masyarakat. Bila social bond hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial. Sehingga kelompok satu dengan yang lain dalam masyarakat akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan saling berupaya meniadakan. Dalam situasi ini, tawuran massal gaya Thomas Hobbes, war of all against all (belum omnium contra omnes), bukan lagi menjadi khayalan.
Situasi yang penuh pertentangan diantara masyarakat itu dinamakan state of nature. Di mana manusia saling bersaing dan berkompetisi tanpa aturan dan ketiadaan hambatan atau restriksi untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Bahkan jika perlu membunuh dan penghalalkan segala cara lainnya atau paling tidak menguasai orang lain.
Pada tataran abstraksi ini, manusia dipandang sebagai serigala yang saling berkelahi untuk mendapatkan kebebasan atau makanan bagi dirinya. Jadi aturan yang adapun hanya dipergunakan agar tidak terjadi tindakan yang mungkin menghancurkan diri sendiri atau dalam bahasa lain “Suatu proses untuk memperoleh apa yang kita kehendaki ataupun mengelakkan apa yang tidak kita sukai” .
Bagi Hobbes, cara yang paling efektif untuk menghentikan situasi itu adalah dengan menciptakan suatu pemerintahan yang kuat agar mampu melakukan represi dan menegakkan aturan. Sosok pemerintah yang kuat itu digambarkan sebagai Leviathan, makhluk yang menyeramkan dari lautan dan setiap orang menjadi lemah dan takut berhadapan dengannya.
Dengan itu, masyarakat dapat ditertibkan dan dikendalikan. Uniknya, sosok itu sendiri dibutuhkan oleh masyarakat yang saling berkelahi itu untuk menciptakan ketertiban. Dalam nada yang lebih positif, John Locke menggambarkan situasi yang mendorong manusia untuk melakukan kesepakatan diantara mereka sendiri untuk mengadakan badan sendiri yang mempunyai kekuasaan politik. Kedua pemikir ini dipandang sebagai peletak dasar teori-teori kontrak sosial yang populer di dalam alam pikiran Barat.
Di Indonesia, konflik horizontal dan pertarungan kekuasaan antar elite politik baik yang berkedudukan di lembaga legislatif maupun eksekutif, telah menyeret kehidupan berbangsa dan bernegara ke dalam kekalutan, ketegangan dan krisis berkepanjangan. Indonesia sedang mengalami pembusukan (decaying), bukan hanya political decay tapi juga social-economic decay.
Modal politik (political capital) hancur berkeping-keping akibat konflik para elite yang terkesan tidak tahu diri dan irasional. Modal ekonomi (economic capital) meleleh akibat ketidakberesan dan ketidakmampuan para pengambil keputusan maupun kepemimpinan nasional dalam mengelola perekonomian, sedangkan modal sosial (social capital) tergerus habis akibat krisis kepercayaan dari masyarakat terhadap para pemimpin nasional yang ada.
Ancaman demokrasi saat ini bukan nampak pada ketidakadilan, ketidaksejahteraan masyarakat, etnonasionalisme atau etnodemokrasi, atau politik uang, akan tetapi hadirnya bandit-bandit demokrasi. Mancur Olson dalam Power and Prospertity (2000), mengatakan yang perlu kita waspadai saat ini maupun ke depan adalah hadirnya bandit-bandit demokrasi. Menurutnya bandit-bandit demokrasi hadir dalam bentuk dua wajah yaitu bandit menetap (stationary bandits) dan bandit berkeliaran (roving bandits).
Pada masa represif, seorang bandit berkuasa, tapi dia bandit menetap. Artinya, dia tidak akan menguras wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberi keleluasaaan kepada penduduknhya untuk terus maju. Dengan cara itu, ia akan terus dapat menarik berbagai pungutan yang merupakan sandaran hidupnya. Setelah rezim represif runtuh, muncullah bandit berkeliaran.
Sebagaimana di zaman kuno, jenis bandit ini mendatangi sebuah wilayah, menjaga habis wilayahnya, lalu pergi. Begitu cara kerjanya. Berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, menguras habis kekayaaan di tempat itu tanpa menyisakan apa pun.
Menurut Olson begitu bandit menetap runtuh muncullah bandit berkeliaran yang tak lagi terikat pada sang “boss”. Jika mereka semula tertunduk dan terbungkuk di depan bos, kini gerak mereka bebas tak terikat menjalankan perintah apapun termasuk menajarah harata kekakayaan Indonesia mulai dari pusat sampai ke desa-desa. Mereka-mereka itu ialah para pelaku pejabat di daerah dan kroni-kroninya. Mereka menancapkan diri sebagai pemalak dan pemerasa harta kekayaan masyarakat (I Wibowo, 2000). Rusaknya sistem demokrasi di Indonesia selain munculnya para bandit demokrasi ditambah juga hadirnya “economic hit man“
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya