Bahaya Model Pembangunan Neokapitalistik
Kedua, mengkritisi pembangunan model neokapitalistik. Bersamaan dengan fenomena perampasan tanah milik para petani miskin oleh orang kaya dan pemerintah negara, Manggarai di Keuskupan Ruteng juga sedang digalakkan pembangunan kolosal dalam bentuk Pariwisata Premium yang berpusat di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat.
Kurang lebih sejak tahun 2010 pemerintah Indonesia telah menggulirkan sebuah proyek nasional. Taman Nasional Komodo telah dirancang untuk dipersolek menjadi tujuan wisat
a berkelas dunia. Untuk itu, misalnya, Kota Labuan Bajo yang selama ini sumpek akan diperluas dan diperindah. Hotel-hotel berkelas dunia akan ditambah jumlahnya.
Pelabuahan niaga/peti kemas yang identik dengan kotor-motor itu telah dipindahkan ke Rangko. Dari pulau yang satu ke pulau yang lain di Kepulauan Komodo akan dihubungan dengan kereta kabel gantung seperti di Pegunungan Alpen di Swiss. Tiket masuk Taman Nasional Komodo nanti menjadi US$1000 atau sekitar Rp14 juta per orang.
Wah, tiket masuk Komodo nanti menjadi Rp14 juta per orang. Rakyat miskin mana nanti yang mau habiskan uang segede itu untuk pelesir beberapa jam lihat binatang komodo di Pulau Komodo? Kalaupun ada orang miskin yang paksa diri, ia nanti harus piara 4 ekor babi selama setahun lebih untuk dapat uang Rp14 juta untuk bayar tiket pergi lihat kecantikan Varanus Komodo di Pulau Komodo.
Semakin jelas bahwa proyek wisata premium yang sedang digulirkan oleh pemerintah ini bukan untuk mengangkat ekonomi rakyat kebanyakan seperti yang digembar-gemborkan. Ini adalah proyek negara yang dibuat atas nama rakyat tapi nikmatnya nanti bukan untuk rakyat melainkan untuk segelintir orang kaya.
Selain tiket masuk Komodo yang super mahal itu, sudah diendus beberapa hal lain yang menunjukkan bahwa pembangunan wisata premium ini bukan untuk rakyat kebanyakan. Hal ini bisa dilihat dari usaha Pemerintah yang sudah memberi izinan investasi eksklusif kepada sejumlah perusahaan swasta. Mereka bisa mengkapling-kapling tanah dengan ukuran maha luas di Pulau Rinca dan Komodo.
Tanpa disadari banyak orang, ini merupakan bagian dari privatisasi ekonomi yang digulirkan oleh sistem ekonomi kapitalis neoliberal atau sistem ekonomi pasar bebas tanpa kendali. Dalam privatiasi ekonomi ini, banyak politisi yang merangkap sebagai pebisnis berlomba-lomba mengkapling tanah di Taman Nasional Komodo, tanah di Labuan Bajo dan sekitarnya serta tanah-tanah sepanjang pantai dari Labuan Bajo hingga Reo dan Pota di Manggarai Timur.
Tak berlebihan untuk disimpulkan bahwa pembangunan pariwisata premium Labuan Bajo merupakan proyek dari para oligarki yang berpakaian sebagai politisi dan pemerintah negara. Pelaksanaannya dieksekusi oleh perusahaan-perusahaan swasta milik mereka sendiri maupun perusahaan-perusahaan asing. Dengan sendirinya keuntungannya nanti akan didulang perusahaan pribadi mereka sendiri.
Pembangunan pariwisata premium Labuan Bajo bukan untuk rakyat miskin, meskipun sering digembar-gemborkan dibuat atas nama rakyat. Lapangan Terbang Komodo Labuan Bajo, misalnya, telah diserahkan pengelolaannya oleh sebuah perusahaan Singapura
.
Kebohongan pembangunan pariwisata premium seperti ini, yang sudah banyak terjadi di tempat lain di seluruh dunia, disebut oleh John Madeley dalam bukunya Big Busines Poor Peoples sebagai sebuah ilusi besar.
Menurut hasil penelitian John Madeley, industri pariwisata hanya menguntungkan dunia perhotelan, maskai penerbangan, biro-travel dan bukan mayoritas warga masyarakat miskin. Lahan yang strategis biasanya direbut untuk pembangunan hotel-hotel mewah. Sebagian besar air minum harus diperuntukkan bagi pelbagai keperluan hotel-hotel, termasuk untuk kolam renang yang merendam tubuh para tamu kaya dari seluruh dunia yang datang berbaring di hotel-hotel mewah.
Menurut ajaran sosial Gereja Kristen Katolik, ilusi pembangunan seperti ini masuk dalam kategori pembangunan yang tidak adil dan bertentangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang dibawa oleh Yesus Kristus. Atas nama Tuhan dan demi orang miskin yang dirugikan, dieksploitasi dan dibohong oleh teori trickle-down effect dari para pengusung sistem ekonomi pasar bebas tanpa kendali alias sistem ekonomi neoliberal, Gereja mesti berani melancarkan suara kenabian untuk mengeritik praktik tersebut.
Untuk itu, uskup bersama seluruh agen pastoral Keuskupan Ruteng perlu mengkaji pembangunan neokapitalistik di Labuan Bajo ini dan menjadikannya sebagai satu prioritas misi keuskupan (an urgent mission frontier) demi umat gembalaannya. Bila hasil kajiannya menunjukkan bahwa pembangunan wisata premium ini ternyata tidak menguntung umat Keuskupan Ruteng dan warga Manggarai pada umumnya, Gereja Keuskupan Ruteng mesti tunjukkan sikap kenabian dan berani katakan: No (Tidak) terhadapnya.
Penulis : Dr. Alexander Jebadu
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya