Uskup Mesti Mengendus Kasus Perampasan Tanah di Labuan Bajo

- Admin

Jumat, 1 Oktober 2021 - 14:25 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Seorang uskup pertama-tama dan terutama merupakan seorang pemimpin rohani. Tugas pokoknya adalah memberi kesaksian tentang iman akan kasih, persaudaraan dan keadilan. Ia terutama bertugas untuk menyerukan suara kenabian dan merangkul semua orang dalam kegembalaan suci. Uskup dan seluruh komponen pastoral keuskupan harus sungguh-sungguh menampilkan kekudusan pelayanan imamat. Uskup berani menyampaikan suara kenabian untuk membela umat yang sekian sering dibelenggu oleh sistem sosial, ekonomi dan politik yang kerap tidak memihak  kepentingan rakyat dan bahkan sebaliknya malah mengeksploitasi mereka. Hal-hal seperti ini mesti dilakukan oleh uskup Keuskupan Ruteng bersama seluruh komponen agen pastoralnya.

Bahaya Jadi Orang Asing di Tanah sendiri

Selain itu, menurut saya, ada beberapa hal mendesak yang perlu mendapat perhatian khusus dari uskup bersama seluruh komponen agen pastoralnya demi keselamatan dan kesejahteraan jasmani dan rohani dari umat Kristen Katolik maupun warga masyarakat agama lainnya di wilayah Gereja Keuskupan Ruteng.

Pertama, masalah kemungkinan umat Kristen Katolik Manggarai menjadi orang asing di tanah sendiri. Kalau orang sungguh membuka mata, era Reformasi sejak tahun 2000-an ini, selain ditandai oleh perampasan tanah warga masyarakat miskin oleh industri pertambangan yang sangat bermasalah dari pelbagai segi (bdk Alex Jebadu dkk, Pertambangan di Flores: Berkah atau Kutuk?, 2010), juga sangat kuat ditandai oleh gejala jual-beli tanah yang semakin semarak.

Baca juga :  Bahasa sebagai Instrumen Simbolik Kekuasaan

Didesak oleh kemiskinan, banyak umat Katolik di Manggarai terutama di tempat- tempat strategis seperti di kota Ruteng, umat sepanjang jalan trans-Flores dari Waelengga ke Labuan Bajo, umat sepanjang pantai dari Dintor di Pulau Mules, Nangalili, Lembor, Labuan Bajo, Rangko, Boleng, Terang, Nanga Kantor, Bari, Nanga Asu, Nggilat, Lemarang, Piso, Robek, Reo, Dampek dan Pota telah menjual tanahnya kepada pihak luar, baik itu kepada orang asing  maupun kepada saudara-saudaranya sendiri di Jakarta atau Surabaya.

Seperti sudah banyak terjadi di banyak tempat lain di seluruh dunia dan wilayah-wilayah lain di Indonesia, di Manggarai sedang terjadi fenomena perampasan tanah (landgrabbing) dari tangan warga masyarakat miskin oleh orang kaya atau pemerintah negara dengan pelbagai modus pembangunan model neokapitalistik seperti Pariwisata Premium Labuan Bajo yang digulir pemerintah sejak sekitar tahun 2010.

Bukan tak mungkin suatu saat, sebahagian besar umat Keuskupan Ruteng akan menjadi orang asing di tanahnya sendiri karena ketiadaan tanah untuk hidup. Karena itu, uskup bersama seluruh komponen Keuskupan Ruteng mesti sigap membaca fenomena ini dengan mata seorang nabi. Uskup  bersama seluruh agen pastoral Keuskupan Ruteng mesti mengedukasi baik umat Kristen Katolik Manggarai maupun warga masyarakat penganut agama lainnya agar tidak mudah tergiur uang milliaran rupiah tapi kehilangan tanah sebagai sumber hidup bagi anak cucu, cece, cicit dan buyut untuk selama-lamanya.

Baca juga :  Dekalog sebagai Vaksin Anti Korupsi

Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mencegah hal ini adalah uskup dan Keuskupan Ruteng mesti mendorong dan memfasilitasi pemerintah ketiga kabupaten di Manggarai supaya setiap daerah kabupaten menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) untuk mengamankan lahan-lahan pertanian warga masyarakat di seluruh Keuskupan Ruteng mulai dari Wae Mokel di bagian timur hingga Selat Sape di bagian barat.

Warga masyarakat mesti dididik untuk tidak menjual tanahnya kepada pihak luar demi sebuah kehidupan yang berkelanjutan (sustainable life) hingga anak cucu dan buyut. Setiap pemerintah daerah kabupaten di Keuskupan Ruteng mesti memaksa warga masyarakat melalui sebuah Peraturan Daerah (Perda) untuk tidak menjual tanah-tanah mereka kepada orang asing kecuali disewakan atau dikontrak.  

Hal ini sudah dipraktikkan di beberapa tempat lain di Indonesia termasuk Bali. Di Bali, hampir tidak ada warga masyarakat Bali yang mau menjual tanah. Kalau orang Bali tidak memiliki cukup modal untuk membuka usaha, mereka biasanya hanya menyewakan atau mengontrak tanah mereka dengan ukuran luas tertentu kepada pebisnis entah selama 10 tahun atau 25 tahun.

Baca juga :  Metafora Perang dalam Penanganan Covid

Setelah kontrak selesai, ia bisa memperoleh kembali tanah itu beserta seluruh aset yang telah dibangun di atasnya. Atau setelah itu kontraknya bisa diperpanjang dengan sebuah perundingan baru lagi. Oleh karena itu, orang Bali dan anak-anak cucu mereka tidak akan pernah kehilangan tanah untuk berpijak yang artinya sama dengan tidak akan pernah kehilangan hidup. Mesti disadari, tanah adalah hidup. Memiliki tanah artinya memiliki hidup dan kehilangan tanah artinya menerima kematian.

Kebijakan yang yang telah dihidupi oleh pemerintah Bali ini seharusnya mesti dibuat juga oleh ketiga daerah kabupaten di Manggarai. Tanah warga masyarakat mesti diamankan dengan Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Gereja Katolik Manggarai, dalam rangka keberlanjutan hidup umatnya yang sejahtera lahir dan batin, atau yang adil di bidang sosial dan ekonomi seturut Pancasila, mesti mendorong dan bahkan bila perlu mendesak pemerintah daerah ketiga kabupaten Manggarai untuk melakukan hal ini, yaitu menerbitkan perda yang memaksa warga masyarakat untuk tidak menjual tanahnya kepada orang asing.

Dorongan ini merupakan bagian hakiki dari tugas kenabian dan kegembalaan seorang uskup bersama segenap agen pastoral di keuskupannya dan menjadi bagian dari misi suci yang sering diserukan oleh Ajaran Sosial Gereja Katolik.

Komentar

Penulis : Dr. Alexander Jebadu

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 52 kali dibaca

Berita Terkait

Kamis, 13 Juni 2024 - 18:26 WITA

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Jumat, 17 Mei 2024 - 17:05 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Menggelar Diskusi AI dan Masa Depan Filsafat

Kamis, 25 April 2024 - 00:16 WITA

Sejumlah Catatan Kritis Pers dan Warganet terhadap Amicus Curiae dan Dissenting Opinion dalam Putusan MK

Selasa, 23 April 2024 - 22:42 WITA

Prodi Ilmu Pemerintahan Unwira Selenggarakan Seminar Hari Kartini

Selasa, 13 Februari 2024 - 13:56 WITA

Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA