Calon Presiden dan Tantangan Geopolitik

- Admin

Minggu, 20 November 2022 - 20:37 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Salah satu isu yang terus berlanjut dan membara di negara kita saat ini adalah bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan bagaimana kita memandang orang lain, termasuk dalam masalah ras dan biologis tertentu. Masalahnya adalah bagaimana orang memandang satu sama lain dan makna yang mereka berikan pada perbedaan fisik atau biologis di antara mereka. Mungkin salah satu cara untuk mendekati ini adalah dalam konteks apa yang membuat sekelompok orang memandang diri mereka sebagai bagian dari kewarganegaraan atau komunitas bersama sebagai “bangsa.”

Kualitas yang menentukan dari orang-orang yang berasal dari bangsa yang sama adalah keinginan untuk memiliki masa depan bersama dan juga masa kini Bersama, ingin memiliki masa depan sosial, politik, dan budaya yang sama. Dengan siapa ia merasa “terikat” karena kesamaan sejarah, nilai, kepercayaan, adat istiadat, dan tradisi.

Apa hubungannya semua ini dengan isu dan ketegangan rasial di Indonesia saat ini? Ini memiliki relevansi karena sampai pada pertanyaan krusial, “Apakah orang Indonesia itu? Apa karakteristik yang menentukan dari orang seperti itu?

Ketika seseorang menjadi WNI, mereka mengucapkan sumpah setia yang sebagian berbunyi: Demi Allah/demi Tuhan Yang Maha Esa, saya bersumpah melepaskan seluruh kesetiaan saya kepada kekuasaan asing, mengakui, tunduk, dan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pancasila, dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan akan membelanya dengan sungguh-sungguh serta akan menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada saya sebagai Warga Negara Indonesia dengan tulus dan ikhlas.

Baca juga :  Generasi Muda: Penentu Kemenangan Partai Golkar dalam Pemilu 2024

Perhatikan bahwa ketika secara resmi menjadi orang Indonesia tidak ada persyaratan bahwa mesti memiliki latar belakang ras atau etnis tertentu, bahasa tertentu, menganut agama tertentu, namun yang penting adalah bersumpah setia untuk Konstitusi Indonesia.

Tantangan lain lagi adalah Indonesia dihadapkan dengan perubahan drastis dalam lanskap internasional, terutama upaya eksternal untuk memeras, dan memberikan tekanan pada negara kita. Dapat dikatakan bahwa kebijakan luar negeri terus mencari musuh baru. Bahkan ketika sebuah konflik selesai, pemerintah negara-negara memiliki kemampuan luar biasa untuk dengan cepat terjun ke dalam peperangan dengan yang baru. Kita harus mengutamakan kepentingan nasional, mempertahankan tekad strategis internal yang kuat.

Kita mesti menjaga keseimbangan kekuatan pertahanan melawan kekuatan jahat dimana-mana – di Eropa dan Asia dan Afrika, di Atlantik dan Pasifik, baik di darat, udara dan laut. Pertahanan Negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman serta gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.

Baca juga :  Tata Kelola Pandemi: Zombinasi dan Politik Ketakutan

Pemerintah Negara Indonesia diamanatkan mewujudkan tujuan nasional yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Ini adalah waktu untuk melihat dan mendapatkan beberapa perspektif tentang posisi kita sebagai sebuah bangsa. Perang adalah musuh terbesar kebebasan, dan musuh kemajuan ekonomi yang mematikan. Sejarah mengajarkan bahwa negara yang sering berperang akhirnya kehilangan karakternya sebagai negara bebas. Oleh karena itu, perang harus dilakukan hanya untuk mempertahankan bangsa kita dari serangan orang jahat.

Pemimpin Tegas dan Cerdas yang Paham Geopolitik

Indonesia dapat memunculkan koalisi penyeimbang yang tidak memihak poros manapun. Permainan hegemonik negara-negara adikuasa mesti dihadapi dengan prinsip nonalignment. Hal ini sebenarnya telah dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan Gerakan Non Blok, To build The World a New. Pembuat kebijakan harus keluar dari kelengkungan waktu geopolitik abad ke 20 dan menyadari bahwa hubungan internasional telah berubah secara drastis. Tidak ada lagi momen unipolar di mana AS hanya bisa memaksakan kepentingannya. Pemerintah harus menolak dorongan intervensionis dan mengekang perluasan militer negara-negara adikuasa.

Ini adalah posisi Soekarno dan orang-orang lain yang memimpin kelahiran negara kita Itu bisa disebut non-intervensi, memberikan alternatif dalam To Build The World a New. Ini adalah sebuah peradaban yang khas dan potensi warisan pendiri negara kita.

Baca juga :  Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Dalam praktiknya, kata-kata itu berarti tidak ada capur tangan dalam kontroversi dan perang dan penolakan terhadap intrusi kekuatan, sistem, dan ambisi negara mana saja. Implikasi penting dari prinsip ini adalah bahwa, meskipun kami menghormati perjuangan untuk kemerdekaan negara lain namun kami tidak akan menjadi agresor menyebarkan cita-cita kami ke seluruh dunia dengan kekuatan senjata.

Negara Indonesia yang tidak memihak ini menjadi keajaiban dunia karena memecahkan masalahnya sendiri dan mengembangkan peradabannya sendiri. Ini menunjukkan kepada bangsa lain jalan menuju kebesaran dan kebahagiaan. Sekarang adalah giliran kita. Giliran kita untuk memindai calon presiden 2024-2029 yang akan memikul tanggung jawab kepemimpinan geopolitik untuk menjaga perdamaian dunia, untuk menyelamatkan peradaban, dan melayani umat manusia. Hanya calon presiden yang berpengetahuan luas/cerdas dengan tulang punggung yang keras/ tegas dapat mengakhiri ketegangan geopolitik di negara kita.

Mari merebut kembali ‘medan yang hilang’ dari masa kejayaan pendiri bangsa Presiden Soekarno, rasa cinta kebebasan politik yang dipenuhi hasrat rela mati untuk itu. Kiranya ada pemimpin yang muncul dengan ketegasannya, kecerdasannya, sehingga pantas memperjuangkannya.

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 228 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA