Penulis: Maria Goreti Ana Kaka

  • Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

    Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

    Indodian.com- Para pasangan calon dalam debat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 sejak ronde pertama hingga ronde keempat kerap menggunakan istilah asing daripada bahasa Indonesia. Istilah asing yang sering disebut, misalnya green economy, carbon capture, tax ratio, green jobs, greenflation, dan sebagainya. Fenomena kebahasaan ini dikenal sebagai xenoglosofilia. Xenoglosofilia merupakan kecenderungan menggunakan bahasa atau istilah asing daripada menggunakan bahasa ibu atau bahasa Indonesia.

    Seiring dengan laju globalisasi, penggunaan istilah asing telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Maraknya media sosial juga berpengaruh besar dalam kebiasaan para penggunanya untuk menggunakan istilah asing, baik secara daring maupun luring. Istilah asing bahkan dicampur-adukkan dengan bahasa nasional.

    Dunia politik pun tidak luput dari pengaruh ini, di mana para pemimpin dan calon pemimpin cenderung menggunakan istilah asing dalam memberikan pertanyaan atau menanggapi argumen lawan. Namun, dalam konteks debat Pilpres, patut dipertanyakan apakah penggunaan istilah asing ini memudahkan atau malah menghambat para pemilih untuk memahami gagasan dan argumentasi yang dipaparkan setiap pasangan calon?

    Bahasa merupakan alat utama dalam menyampaikan ide dan gagasan. Dalam konteks politik, terutama dalam debat Pilpres, kejelasan dan komprehensibilitas bahasa menjadi kunci untuk memastikan pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik tidak hanya mencakup penggunaan kata-kata yang sederhana, tetapi juga penjelasan yang memadai terkait konsep-konsep kompleks yang mungkin dibahas dalam debat.

    Ada sejumlah faktor yang bisa saja memicu maraknya fenomena kebahasaan ini. Penggunaan istilah asing dirasa dapat memberikan kesan modern, terhubung dengan isu-isu global, dan menunjukkan bahwa calon pemimpin memiliki wawasan internasional. Calon pemimpin mungkin percaya bahwa penggunaan istilah asing akan meningkatkan daya tarik mereka terhadap pemilih yang lebih terdidik. Tidak menutup kemungkinan juga jika penggunaan istilah asing menjadi bagian dari strategi komunikasi politik untuk menciptakan kesan tertentu di antara pemilih atau untuk membedakan diri dari pesaing.

    Banyak juga istilah asing yang digunakan oleh para pasangan calon tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. Jika ada, seringkali kurang dikenal oleh masyarakat umum. Hal ini menciptakan kesenjangan pemahaman antara para pemilih dan para calon pemimpin. Masyarakat yang kurang terbiasa dengan istilah asing atau tidak memiliki latar belakang pendidikan tertentu mungkin merasa terpinggirkan atau merasa bahwa calon pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan dan aspirasi mereka. Ini dapat menciptakan kesan bahwa politik adalah urusan elit yang hanya dapat dipahami oleh segelintir orang yang memiliki pengetahuan khusus.

    Penggunaan istilah asing berpotensi mereduksi kualitas debat. Seharusnya, debat Pilpres adalah wadah di mana ide dan gagasan dari kandidat yang bersaing dapat disajikan dengan jelas dan dimengerti oleh seluruh pemilih. Namun, penggunaan istilah asing dapat mengaburkan esensi perdebatan dan menggeser fokus dari substansi ke bentuk bahasa yang kompleks. Penggunaan istilah asing dalam debat Pilpres dapat menjadi pisau  bermata dua.

    Meskipun tampak modern, fenomena ini memiliki risiko besar. Ketika debat terpusat pada penggunaan istilah asing yang kompleks, risiko terbesar adalah hilangnya makna substansial dari pesan yang ingin disampaikan kepada para pemilih. Padahal, jika mengutamakan kejelasan dan keterbacaan pesan, para calon pemimpin dapat memastikan bahwa debat Pilpres tetap menjadi wadah untuk para pemilih memahami dan mengevaluasi visi, kebijakan, dan program kerja setiap kandidat, bukan sekadar permainan kata atau pencitraan linguistik.

    Penggunaan istilah asing tak selamanya buruk, jika digunakan dengan bijaksana dan sesuai konteks. Namun, harus ada kesadaran bahwa debat Pilpres adalah panggung nasional di mana bahasa Indonesia memiliki peran kunci untuk menjadikan debat sebagai forum yang inklusif.  Ini menjadi sangat penting dalam konteks demokrasi, di mana setiap suara memiliki nilai yang sama.

    Penggunaan bahasa Indonesia yang baik juga mencerminkan penghormatan terhadap masyarakat yang memiliki beragam latar belakang. Ketika calon pemimpin mampu menyampaikan pesan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh pekerja, petani, pelajar, dan berbagai kelompok sosial lainnya, mereka memberikan ruang yang setara bagi semua pihak untuk terlibat dalam proses politik.

  • Ketua KPK Memimpin Dengan Contoh; Contoh Korupsi

    Ketua KPK Memimpin Dengan Contoh; Contoh Korupsi

    Indodian.com – Sebagai lembaga antirasuah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu menjadi sorotan publik. Namun, belakangan ini, sorotan publik malah tertuju pada Firli Bahuri selaku ketua KPK. Firli menjadi sorotan bukan karena aksi pemberantasan korupsi yang dilakukannya, tetapi karena menjadi tersangka pemerasan terhadap mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Penetapan Firli sebagai tersangka semakin mengundang pertanyaan besar tentang integritas dan moralitas pemimpin KPK tersebut.

    Sebelum ditetapkan sebagai tersangka, Firli telah terbukti melakukan berbagai tindak kontroversial yang bertentangan dengan nilai dan prinsip antikorupsi. Melansir dari Tempo.co, ada sejumlah jejak kontroversi Firli. Mulai dari kasus menjemput saksi yang hendak diperiksa (Bahrullah Akbar), pertemuan dengan Tuan Guru Bajang, penggunaan helikopter mewah, pertemuan dengan tersangka kasus gratifikasi (Lukas Enembe), aksi membuat nasi goreng, pembocoran dokumen penyelidikan, dan pemberhentian sewenang-wenang Direktur Penyelidikan KPK. Jangan lupa, masih ada kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) serta pembuatan hymne/mars KPK oleh istri Firli Bahuri.

    Laman: 1 2 3 4

  • Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah (2)

    Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah (2)

    Indodian.com – Menurut data yang kami peroleh dari banyak informan di Labuan Bajo, Rangko, Bari dan warga masyarakat lainnya yang mendiami wilayah pantai utara Pulau Flores, perburuan tanah sepanjang pantura Flores oleh para oligarki dan pebisnis kaya dari Ruteng, Labuan Bajo, Kupang, Surabaya, Jakarta dan bahkan dari luar negeri berlangsung marak sudah sejak sekitar tahun 2010. Ini merupakan tahun mulai digulirkannya program nasional negara Indonesia untuk membangun Labuan Bajo dan sekitarnya menjadi destinasi wisata premium berkelas dunia.

    Rencana nasional ini, seperti biasa, hanya diketahui oleh kalangan terbatas – oligarki dan pebinis kaya. Ia dirahasiakan untuk masyarakat kecuali beberapa tahun terakhir menjelang program ini dieksekusi. Labuan Bajo dan sekitarnya akan disulap menjadi kota yang indah. Jalan-jalan akan diperlebar dan dibuat licin. Puluhan, bahkan, ratusan hotel berbintang akan ditambah. Antara pulau-pulau kecil di Kepulauan Komodo akan dibangun kereta gantung untuk memudahkan wisatawan bergelantungan dari satu pulau ke pulau yang lain. Lapangan Terbang Komodo akan diperpanjang dan diperlebar supaya bisa menjadi lapangan terbang internasional.

    Untuk mempercepat pembangunan wisata premium ini, pelbagai event besar dirancang untuk dibuat di Labuan Bajo. Pertemuan G-20 (20 negara dengan volume ekonomi terbesar dunia), misalnya, diselenggarakan di Desa Golo Mori yang terletak 32 km kearah barat dari Labuan Bajo. Jalan raya yang lebarnya hanya 7 meter saat ini akan diperlebar menjadi 20 meter. Wah, ini sungguh-sungguh sebuah pembangunan yang luar biasa!

    Dalam rangka proyek besar nasional ini, pemerintah akan membutuhkan banyak lahan dan harus membebaskan lahan-lahan ini dari warga masyarakat miskin di wilayah pantai Pulau Flores di Kabupaten Manggarai Barat. Untuk maksud ini, pemerintah pusat menjaminnya dengan mengganti kerugian warga masyarakat miskin seperti yang diatur oleh UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

    Akan tetapi dalam pelaksanaannya di daerah, oleh karena kerasukan korupsi yang masih akut, pemerintah daerah melakukan pembebasan tanah dengan menuntut warga masyarakat miskin untuk menghibahkan lahan-lahan pribadi mereka tanpa ganti rugi sendikitpun atau dengan ganti rugi yang sangat tidak sepadan.

    Selain pemerintah negara, atau lebih tepatnya, pengusaha-pengusaha yang berpakaian sebagai politisi dan pemerintah negara, juga memburu tanah-tanah luas untuk kepentingan bisnis pribadi mereka. Jauh sebelum berita proyek nasional ini tiba di telinga warga masyarakat, mereka sudah hilir mudik dari satu kampung ke kampung yang lain di Manggarai Barat. Secara pribadi dan secara diam-diam mereka – pebisnis, DPR/D, birokrat, Jenderal, bule – mendatangi tu’a golo atau tu’a gendang dari satu kampung ke kampung yang lain untuk membeli atau minta untuk diberi tanah.

    Tangga 6 sampai 10 Agustus 2020 kami mengobservasi beberapa kawasan di sekitar Labuan Bajo seperti Rangko, Gorontalo, Dalong dan Naga Na’e. Kawasan-kawasan ini hanya terletak tidak seberapa jauh dari Kota Labuan Bajo. Di sekitar Rangko, misalnya, di mana-mana sejauh mata memandang masih terlihat hamparan tanah kosong yang luas seperti tanah tanpa tuan. Di mana- mana hanya ada belukar bambu hutan yang sudah kering. Tanpa ragu, para oligarki dan pebisnis dari Jakarta, Ruteng, Kupang, Surabaya atau luar negeri tergiur ketika melihat tanah- tanah kosong seperti tanpa tuan ini.  

    Karena itu, segala macam cara ditempuh termasuk dengan tipu-tipu warga masyarakat atau memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan perkembangan Labuan Bajo seperti apa ke depan. Di Kampung Rangko, misalnya, untuk memuluskan usaha perolehan tanah untuk kepentingan bisnis pribadi, para oligarki dan pebisnis ini, yang kemudian lebih tepat disebut sebagai para mafia tanah, dengan sangat berani melakukan sebuah permainan mengubah sistem sosial- ekonomi dan politik masyarakat tradisional. Pemimpin Kampung Rangko yang selama ini berstatus sebagai Tu’a Riang Rangko (wali, pengaja tanah Rangko) atas nama warga RAG Mbehal diubah menjadi Tu’a Golo Rangko.  

    Kelompok warga masyarakat Rangko yang tidak setuju dengan permainan ini disisihkan dari jabatannya sebagai Tu’a Riang Rangko. Sebagai gantinya, mereka mengangkat satu warga masyarakat yang setuju dengan konspirasi mereka menjadi Tu’a Golo Rangko dalam diri Bapak Abdullah Duwa. Lalu mereka mengklaim legalitas pembelian tanah dari warga Rangko dengan ditandatangani oleh seorang Tu’a Golo Rangko boneka ciptaan mereka. Padahal semua warga Rangko adalah orang Bonerate dari Sulawesi, Bajo dan Bima yang tidak tahu dan tidak mengerti sistem sosial-ekonomi dan politik suku Manggarai yang dikepalai oleh seorang Tu’a Golo atau Tu’a Gendang.

    Laman: 1 2 3

  • Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah

    Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah

    Indodian.com – Tulisan ini berusaha mempresentasikan fenomena perampasan tanah (land grabbing) warga masyarakat desa di Manggarai Barat-Flores. Perampasnya adalah pemerintah negara sendiri atas nama pembangunan. Nama lain dari pelaku ini adalah para oligarki, pengusaha besar dan bule dari luar negeri yang memboncengi program nasional membangun Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata premium. Masyarakat desa yang terancam akan kehilangan tanah sebagai sumber hidup bangkit membangun persekutuan di antara mereka untuk mempertahankannya. Dalam tulisan ini, kebangkitan masyarakat Boleng untuk membentuk Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng (selanjutnya disingkat KAWPGPTB) dipresentasi sebagai contoh.

    Boleng sebagai Bekas Kedaluan
    Menurut Bonaventura Abunawan,Boleng, sebagai salah satu dari bekas kurang lebih 39 kedaluan di Manggarai (yang berakhir tahun 1960-an), mempunyai kampung (beo) yang pernah menjadi pusat pemerintah kedaluan, yaitu Beo Mbuit, Beo Mbehal dan Beo Rareng. Oleh karena pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Kampung Mbuit maka ia disebut Dalu Mbuit.


    Pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Mbehal maka ia disebut Dalu Mbehal. Demikian halnya dengan Dalu Rareng karena ia berasal dan tinggal di Kampung Rareng maka dia disebut Dalu Rareng. Walau tinggal di masing-masing kampung ini, ketiga dalu ini tetap merupakan dalu yang memerintah seluruh tanah Boleng pada masalalu.


    Sekarang ini Kampung Mbuit telah berkembang menjadi Kampung Bentala di Lando, wilayah Terang. Kampung Mbehal dari dulu hingga sekarang tetap disebut Kampung Mbehal dan Kampung Rareng tetap disebut Kampung Rareng yang terletak di dekat Wae Bobok yang sekarang ini telah dibangun sebuah wisata alam di tengah hutan pada Jalan Provinsi Labuan Bajo-Boleng-Pacar-Rego-Reo.


    Di wilayah bekas Kedaluan Boleng yang demikian, dari dulu hingga sekarang ada 7 Rumah Adat Gendang. Artinya, ada 7 kampung utama yang memiliki gendang sebagai simbol yang menandai 7 kampung itu masing-masing: pertama, mengakui diri sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Kedua, mengakui berasal dari satu nenek moyang. Ketiga, memiliki hak ulayat atas lahan pertanian dan hutan dengan batas-batasnya sendiri. Kekuasaan atas lahan pertanian dan hutan dengan batas- batasnya masing-masing diakui, ditaati dan dihormati oleh masing-masing Kampung Gendang.

    Seperti yang berlaku di seluruh Manggarai, setiap Rumat Adat Gendang (RAG) memiliki sistem sosial dan kepemerintahannya sendiri yang disebut pemerintahan masyarakat tradisional Manggarai. Setiap kampung dengan satu RAG atau lebih bersifat independen. Kampung-kampung dengan RAG ini tidak saling memerintah atau menguasai. Di antara mereka, tidak ada kampung dengan RAG yang kedudukannya lebih tinggi dan tidak ada kampung dengan RAG yang kedudukannya lebih rendah.


    Semua kampung dengan RAG di dalamnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama tinggi, dan mereka 100% otonom. Artinya mereka 100% mengurus rumah tangganya sendiri dan memerintah diri sendiri entah di bidang sosial, ekonomi, politik atau di bidang keagamaan. Lebih dari itu, dari segi ini sebenarnya, orang Manggarai termasuk masyarakat egaliter. Mereka mengaku bahwa semua orang dilahirkan sama sebagai manusia dengan martabat yang sama. Kategori kelas sosial seperti ata kraeng (bangsawan) dan ata mendi atau ata leke (hamba) merupakan perkembangan kemudian karena pengaruh sistem kepemerintahan kedaluan yang bukan merupakan sistem sosial politik asli dari orang Manggarai.


    Tujuh Rumah Adat Gendang Boleng

    Khusus untuk Kedaluan Boleng, dari dulu hingga sekarang ada tujuh Rumah Adat Gendang antara lain: 1) Gendang Mbehal di Kampung Mbehal, 2) Gendang Mbehel di Kampung Mbehel, 3) Gendang Lada di Kampung Lada, 4) Gendang Legam di Kampung Legam, 5) Gendang Mbuit di Kampung Mbuit, 6) Gendang Rareng di Kampung Rareng dan 7) Gendang Sepang di Kampung Nggieng di wilayah Terang.
    Ulayat Rumah Adat Gendang Mbehal

    Wilayah ulayat Gendang Mbehal meliputi: 1) di bagian timur adalah Laing Bakok Boleng Torong Boleng, Golo Pate Lamba, Golo Tado, Golo Rungkam, Bungki Em Rampas, Lekes Kira, Golo Ruteng, Tonggong Sita-MataWae Bobok, Golo Ngkiong, Golo Kerak, Dencang Pau, Wae Nuwa, 2) di bagian selatan adalah Loleng Wae Nuwa, Sunga Wae Sipi, 3) di bagian barat adalah Sunga Wae Sipi-Loleng Wae Sipi-Mata Wae Wangga-Wase Kimpur-Liang Mbako-Mata Wae Hali-Poco Mawo-Kelumpang Tanda-Watu Kator, dan 4) di bagian utara adalah Watu Katur-menyusuri Laut Flores hingga Liang Bakok Torong Boleng.
    Tebedo adalah bagian dari ulayat Gendang Mbehal. Kampung Tebedo tidak memiliki gendang. Ia merupakan uma randang atau lumpung (semacam koloni) dari warga masyarakat Gendang Mbehal. “Ase ka’e Tebedo ata jera pande uma le Gendang Mbehal” (saudara-saudara kami di Tebedo hanya diamanatkan untuk buka kebun di sana oleh warga Gendang Mbehal” kata Bapak Theodorus Turuk (86 tahun) di rumahnya di Menjerite dekat Rangko pada tgl 6 Agustus 2020.
    Tebedo itu merupakan mukang (rumah yang dibangun untuk menjadi kebun) dari warga Gendang Mbehal. Nama asli dari kampung ini adalah Tobodo yaitu dari kata tobo dan do. Tobo artinya tubuh atau mayat orang meninggal yang diyakini masih bergelintangan, sedangkan do artinya banyak. Menurut orang Mbehal, dulu di Tebedo ada banyak tubuh orang meninggal yang berserakan atau bergentayangan.

    Riang Rangko


    Kampung Rangko di tepi pantai Laut Flores, yang terletak hanya sekitar 5 km di sebelah timur Kota Labuan Bajo, merupakan wilayah ulayat Gendang Mbehal. Dari segi hukum Rumah Adat Gendang Manggarai, Rangko merupakan anak kampung dari Gendang Mbehal dan warga Kampung Rangko diberi kuasa dan hak hanya untuk riang yang artinya menjaga tanah ulayat Mbehal yang berada di sekitar Kampung Rangko.
    Hampir 100% warga masyarakat Kampung Rangko bekerja sebagai nelayan penangkap ikan. Sedangkan dari segi etnis, mereka adalah orang yang berasal dari Pulau Bonerate di Sulawesi Selatan, suku Bajo dan Bima. Orang Bonerate generasi pertama tiba di Rangko sekitar tahun 1860-an yang dihitung berdasarkan masa hidup orang dari RAG Mbehal yang mengizinkan orang Bonerate untuk tinggal di Rangko.


    Sewaktu orang Bonerate tiba di Rangko tahun 1860-an itu, nenek moyang orang Mbehal sebagai penduduk asli mengira bahwa mereka adalah orang-orang Empo Gorak yang datang untuk menculik warga dari penduduk asli yaitu orang Mbehal. Didorong oleh kecurigaan ini, maka nenek moyang warga RAG Mbehal turun dari Kampung Mbehal yang terletak agak di pedalaman dengan membawa persenjataan berupa kope (parang), sola (kapak), kurung (lembing) dan panah untuk membunuh orang Bonerate. Orang-orang Bonerate sangat terkejut dan ketakutan. Menurut ceritera, nenek moyang orang Mbehal dan orang Bonerate tidak bisa berkomunikasi satu sama lain karena tidak ada bahasa pengantar. Mereka berbicara dalam bahasa mereka masing-masing tanpa saling mengerti.


    Dalam kesulitan ini, mereka hanya berkomunikasi dengan bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Menurut sejarah, orang-orang Bonerate tidak siap untuk berperang melawan nenek moyang warga RAG Mbehal. Mereka hanya meminta belaskasihan. Sebagai tanda bahwa mereka tidak mempunyai niat jahat, sebaliknya minta belas kasihan dan ingin mencari nafkah di laut di sekitar pantai yang sekarang disebut Rangko, orang-orang Bonerate mengumpulkan semua perlengkapan kerja mereka berupa parang dan menyerahkannya kepada nenek moyang warga RAG Mbehal. Melalui bahasa isyarat, orang-orang Bonerate mengatakan: “Kalau kalian orang Mbehal mau membunuh kami semua, inilah saatnya. Kami menyerahkan parang-parang ini kepada kalian dan sekarang kalian bisa menggunakannya untuk membunuh kami sendiri jika kalian mau…”

    Janji Wasiat antara Gendang Mbehal dan Orang Rangko


    Oleh karena bahasa isyarat dalam bentuk penyerahan parang-parang orang Bonerate ini, nenek moyang warga RAG Mbehal akhirnya mengerti bahwa orang-orang Bonerate ini merupakan orang-orang baik dan tidak bermaksud untuk menyerang atau menduduki tanah ulayat mereka. Merekapun membuat sebuah perjanjian yang isi pokoknya adalah sebagai berikut. Pertama, orang Bonerate sebagai nelayan harus mengakui hak ulayat tanah warga RAG Mbehal hingga wilayah Pantai Rangko. Kedua, orang Bonerate sebagai nelayan akan tinggal di Rangko sebagai penjaga wilayah pantai Rangko dan pemimpin mereka akan disebut Tu’a Riang Rangko yang artinya wali atau wakil dari Tu’a Gendang Mbehal untuk mendiami sambil menjaga wilayah Pantai Rangko dan sekitarnya.
    Ketiga, setiap pergantian Tu’a Riang Rangko harus dibuat setelah diketahui dan mendapat pesetujuan Tu’a Gendang Mbehal. Keempat, batas-batas lahan yang dipercayakan untuk didiami, digunakan dan dijaga oleh Tu’a Riang Rangko adalah sebagai berikut: 1) Di sebelah timur adalah Nanga Lumut, 2) di sebelah utara adalah pantai laut Flores, 3) di sebelah barat adalah Wae Nampar dan 4) di sebelah selatan adalah Wae Tiku Timbus.
    Perjanjian di atas, dengan batas-batas tanah yang diserahkan untuk didiami, dikelola dan dijaga, dipegang oleh orang-orang Rangko dari dulu hingga orang-orang Rangko sekarang dari keturunan Bapak Semahi. Orang-orang Rangko keturunan dari Bapak Semahi ini yang diberi hak untuk mendiami dan menggarap tanah yang sudah ditetapkan dalam perjanjian antara nenek moyang warga RAG Mbehal dan nenek moyang orang-orang Bonerate yang tiba di Rangko pada tahun 1860-an itu dan secara hukum adat Manggarai, tanah dari orang Rangko dari keturunan Semahi tetap merupakan bagian dari ulayat RAG Mbehal. Hak atas tanah tetap ada pada warga RAG Mbehal dan orang Bonerate-Sulawesi, Bajo dan Bima di Rangko hanya diberi hak untuk menggarap sambil menjaganya.
    Konsekuensi lebih lanjut dari hukum adat Gendang ini adalah bahwa kalau orang Rangko ingin menjual tanah yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka oleh nenek moyang warga RAG Mbehal tempo dulu itu, maka mereka lakukan itu setelah mendapat persetujuan dari Tu’a Gendang Mbehal sebagai pemangku ulayat atas tanah dan hal itupun akan diperhatikan batas- batasnya yang sudah ditetapkan pada zaman dulu.

    Masalah Muncul


    Dalam perjalanan waktu, orang-orang Bonerate yang mendiami Rangko sekarang ini terdiri atas dua kelompok. Satu kelompok adalah orang Bonerate dari Sulawesi yang tiba di Rangko pertama kali pada zaman dulu di bawah pimpinan Bapak Pua Mandalay dan Pua Serina (atau Laanca). Mereka ini masih memegang janji wasiat antara nenek moyang mereka Pua Mandalay dan Laanca dan nenek moyang warga RAG Mbehal sebagai penduduk asli yang memegang hak ulayat atas tanah yang meliputi wilayah Rangko dengan batas-batasnya.
    Orang Rangko kelompok ini adalah orang-orang Rangko yang berada di bawah pimpinan Bapak Semahi (80-an tahun) sekarang ini. Kelompok yang lain adalah orang-orang Bonerate dari Sulawesi yang tiba kemudian di Rangko. Bisa dikatakan, mereka ini adalah para pendatang baru di Rangko. Orang Rangko kelompok ini berada di bawah pimpinan Bapak Abdullah Duwa (70-an tahun).


    Dalam rangka program pembangunan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium yang hanya berjarak 5 km dari Rangko, tampaknya banyak orang kaya, pebisnis dan para kapitalis dari pelbagai tempat, seperti Jakarta, Ruteng, Kupang, Surabaya dan bahkan dari luar negeri, ingin melirik tanah-tanah di sekitar Kampung Rangko dengan harga-harga yang menggiurkan. Tanah- tanah orang Rangko yang diserahkan melalui sebuah perjanjian wasiat tempo dulu oleh nenek moyang warga RAG Mbehal mulai dijual oleh orang Rangko dari kelompok Abdullah Duwa sejak tahun 2000-an. Padahal orang Rangko dari kelompok Abdullah Duwa tidak diakui oleh warga RAG Mbehal karena mereka adalah pendatang baru di Rangko.
    Orang-orang Rangko dari kelompok Semahi baru tahu hal tersebut di atas setelah banyak tanah dijual oleh orang-orang dari kelompok Abdullah Duwa kepada beberapa orang asing. Menyadari hal ini, orang-orang Rangko dari kelompok Bapak Semahi melaporkan hal ini kepada Tu’a Gendang Mbehal di Mbehal. Warga Mbehal pun turun ke Rangko dan menyatakan bahwa penjualan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Rangko dari keturuan Bapak Abdullah Duwa tidak sah.


    Menyikapi hal ini, para mafia tanah kemudian membuat sebuah siasat. Dengan memakai orang dalam, mereka secara sepihak menunjuk Bapak Abdullah Duwa sebagai Tu’a Golo Rangko. Para mafia tanah ini lalu mengklaim bahwa mereka membeli tanah di Rangko dari Tu’a Golo Rangko dan karena itu pembelian mereka sah menurut hukum adat tanah Manggarai. Padahal sejarah asal-usul orang Rangko dan segala haknya atas tanah di Rangko tidak demikian.


    Orang-orang Rangko adalah suku-suku pendatang. Mereka adalah orang Bonerate di Sulawesi, Bajo dan Bima yang bermigrasi ke Rangko tahun 1860-an silam dan melalui perjanjian dengan nenek moyang warga RAG Mbehal, mereka hanya diberi hak tinggal dan diberi peran sebagai penjaga tanah Rangko dengan batas-batasnya yang jelas. Dari dulu hingga sekarang, pemimpin warga Kampung Rangko disebut Tu’a Riang atau Wali atau Penjaga Wilayah Rangko dan pergantiannya harus selalu sepengetahuan dan setelah mendapat persetujuan dari Tu’a Gendang Mbehal sebagai pemegang ulayat atas tanah. Pemipin Kampung Rangko tidak pernah dan tidak bisa disebut Tu’a Golo atau Tu’a Gendang.
    Tu’a Golo atau Tu’a Gendang merupakan bentuk sistem sosial ekonomi dan politik tradisional yang khas suku Manggarai dan hanya bisa dimengerti oleh orang Manggarai sebagai penduduk asli. Suku-suku lain seperti orang Bonerate yang datang ke pesisir pantai Manggarai seperti di Rangko tidak memahami sistem sosial ekonomi dan politik tradisional orang Manggarai dan karena itu pempimpin kampung mereka tidak bisa disebut Tu’a Golo atau Tu’a Gendang. Dengan demikian, pengangkatan Bapak Abdullah Duwa sebagai Tu’a Golo Rangko tidak sah, tidak benar dan tidak dapat diterima dari segi hukum adat Manggarai. Akibat lebih lanjut, semua penjualan tanah kepada orang asing atas persetujuannya menjadi tidak sah.

    Mengapa Tergiur


    Kampung Rangko hanya berjarak 5 km dari Kota Labuan Bajo yang sedang didesain jadi kota wisata premium berkelas dunia. Para oligarki di Jakarta, dan para pebisnis dari mana-mana, sudah membayangkan dan sekaligus memprediksikan bahwa 10 hingga 25 tahun ke depan Labuan Bajo akan menjadi kota metropolitan yang berkembang secara luar biasa. Lalu daerah- daerah pinggiran Kota Labuan Bajo sekarang seperti Rangko, Dalong, Gorontalo atau Nanga Na’e akan perlahan-lahan berubah menjadi bagian dari perkembangan kota besar Labuan Bajo. Hal ini kurang lebih sama seperti Bogor, Tanggerang dan Bekasi yang zaman dulu merupakan kampung-kampung kecil, yang dulu tidak ada model, kini telah berkembang menjadi bagian dari Kota Metropolitan Jakarta. Sebelum Rangko dan Nanga Na’e berevolusi menjadi bagian dari kota besar Metropolitan Labuan Bajo di masa depan, maka para oligarki dan para kapitalis dari pelbagai penjuru dunia jauh-jauh hari sudah mengintip-intip peluang. Sebelum terlambat, mereka mau mendahului semua orang lain untuk mengakumulasi tanah dengan ukuran luas.

    Dr Alexander Jebadu SVD

    Dosen Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,Maumere-Flores-NTT.

  • Uskup Mesti Mengendus Kasus Perampasan Tanah di Labuan Bajo

    Uskup Mesti Mengendus Kasus Perampasan Tanah di Labuan Bajo

    Indodian.com – Seorang uskup pertama-tama dan terutama merupakan seorang pemimpin rohani. Tugas pokoknya adalah memberi kesaksian tentang iman akan kasih, persaudaraan dan keadilan. Ia terutama bertugas untuk menyerukan suara kenabian dan merangkul semua orang dalam kegembalaan suci. Uskup dan seluruh komponen pastoral keuskupan harus sungguh-sungguh menampilkan kekudusan pelayanan imamat. Uskup berani menyampaikan suara kenabian untuk membela umat yang sekian sering dibelenggu oleh sistem sosial, ekonomi dan politik yang kerap tidak memihak  kepentingan rakyat dan bahkan sebaliknya malah mengeksploitasi mereka. Hal-hal seperti ini mesti dilakukan oleh uskup Keuskupan Ruteng bersama seluruh komponen agen pastoralnya.

    Bahaya Jadi Orang Asing di Tanah sendiri

    Selain itu, menurut saya, ada beberapa hal mendesak yang perlu mendapat perhatian khusus dari uskup bersama seluruh komponen agen pastoralnya demi keselamatan dan kesejahteraan jasmani dan rohani dari umat Kristen Katolik maupun warga masyarakat agama lainnya di wilayah Gereja Keuskupan Ruteng.

    Pertama, masalah kemungkinan umat Kristen Katolik Manggarai menjadi orang asing di tanah sendiri. Kalau orang sungguh membuka mata, era Reformasi sejak tahun 2000-an ini, selain ditandai oleh perampasan tanah warga masyarakat miskin oleh industri pertambangan yang sangat bermasalah dari pelbagai segi (bdk Alex Jebadu dkk, Pertambangan di Flores: Berkah atau Kutuk?, 2010), juga sangat kuat ditandai oleh gejala jual-beli tanah yang semakin semarak.

    Didesak oleh kemiskinan, banyak umat Katolik di Manggarai terutama di tempat- tempat strategis seperti di kota Ruteng, umat sepanjang jalan trans-Flores dari Waelengga ke Labuan Bajo, umat sepanjang pantai dari Dintor di Pulau Mules, Nangalili, Lembor, Labuan Bajo, Rangko, Boleng, Terang, Nanga Kantor, Bari, Nanga Asu, Nggilat, Lemarang, Piso, Robek, Reo, Dampek dan Pota telah menjual tanahnya kepada pihak luar, baik itu kepada orang asing  maupun kepada saudara-saudaranya sendiri di Jakarta atau Surabaya.

    Seperti sudah banyak terjadi di banyak tempat lain di seluruh dunia dan wilayah-wilayah lain di Indonesia, di Manggarai sedang terjadi fenomena perampasan tanah (landgrabbing) dari tangan warga masyarakat miskin oleh orang kaya atau pemerintah negara dengan pelbagai modus pembangunan model neokapitalistik seperti Pariwisata Premium Labuan Bajo yang digulir pemerintah sejak sekitar tahun 2010.

    Bukan tak mungkin suatu saat, sebahagian besar umat Keuskupan Ruteng akan menjadi orang asing di tanahnya sendiri karena ketiadaan tanah untuk hidup. Karena itu, uskup bersama seluruh komponen Keuskupan Ruteng mesti sigap membaca fenomena ini dengan mata seorang nabi. Uskup  bersama seluruh agen pastoral Keuskupan Ruteng mesti mengedukasi baik umat Kristen Katolik Manggarai maupun warga masyarakat penganut agama lainnya agar tidak mudah tergiur uang milliaran rupiah tapi kehilangan tanah sebagai sumber hidup bagi anak cucu, cece, cicit dan buyut untuk selama-lamanya.

    Salah satu cara yang bisa ditempuh untuk mencegah hal ini adalah uskup dan Keuskupan Ruteng mesti mendorong dan memfasilitasi pemerintah ketiga kabupaten di Manggarai supaya setiap daerah kabupaten menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) untuk mengamankan lahan-lahan pertanian warga masyarakat di seluruh Keuskupan Ruteng mulai dari Wae Mokel di bagian timur hingga Selat Sape di bagian barat.

    Warga masyarakat mesti dididik untuk tidak menjual tanahnya kepada pihak luar demi sebuah kehidupan yang berkelanjutan (sustainable life) hingga anak cucu dan buyut. Setiap pemerintah daerah kabupaten di Keuskupan Ruteng mesti memaksa warga masyarakat melalui sebuah Peraturan Daerah (Perda) untuk tidak menjual tanah-tanah mereka kepada orang asing kecuali disewakan atau dikontrak.  

    Hal ini sudah dipraktikkan di beberapa tempat lain di Indonesia termasuk Bali. Di Bali, hampir tidak ada warga masyarakat Bali yang mau menjual tanah. Kalau orang Bali tidak memiliki cukup modal untuk membuka usaha, mereka biasanya hanya menyewakan atau mengontrak tanah mereka dengan ukuran luas tertentu kepada pebisnis entah selama 10 tahun atau 25 tahun.

    Setelah kontrak selesai, ia bisa memperoleh kembali tanah itu beserta seluruh aset yang telah dibangun di atasnya. Atau setelah itu kontraknya bisa diperpanjang dengan sebuah perundingan baru lagi. Oleh karena itu, orang Bali dan anak-anak cucu mereka tidak akan pernah kehilangan tanah untuk berpijak yang artinya sama dengan tidak akan pernah kehilangan hidup. Mesti disadari, tanah adalah hidup. Memiliki tanah artinya memiliki hidup dan kehilangan tanah artinya menerima kematian.

    Kebijakan yang yang telah dihidupi oleh pemerintah Bali ini seharusnya mesti dibuat juga oleh ketiga daerah kabupaten di Manggarai. Tanah warga masyarakat mesti diamankan dengan Perda yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Gereja Katolik Manggarai, dalam rangka keberlanjutan hidup umatnya yang sejahtera lahir dan batin, atau yang adil di bidang sosial dan ekonomi seturut Pancasila, mesti mendorong dan bahkan bila perlu mendesak pemerintah daerah ketiga kabupaten Manggarai untuk melakukan hal ini, yaitu menerbitkan perda yang memaksa warga masyarakat untuk tidak menjual tanahnya kepada orang asing.

    Dorongan ini merupakan bagian hakiki dari tugas kenabian dan kegembalaan seorang uskup bersama segenap agen pastoral di keuskupannya dan menjadi bagian dari misi suci yang sering diserukan oleh Ajaran Sosial Gereja Katolik.

    Laman: 1 2 3