Indodian.com – Ketakutan adalah kata kerja. Ia beroperasi menggunakan logika eksklusi serentak integrasi, divide and rule dalam satu sapuan. Dalam sejarah manusia, tidak dapat dipastikan dari mana ketakutan bermula. Namun paska Perang Dunia II, teristimewa paska penyerangan WTC di New York diikuti instruksi Bush menginvansi Timur Tengah, ketakutan menjadi seperangkat instrumen politik.
Seperti bunglon, ketakutan sering bertukar tempat dengan kedaruratan. Lalu lahirlah konsep-konsep seperti krisis iklim, krisis kebangsaan, krisis kesehatan, krisis ekonomi, dan sterusnya dan seterusnya.
Diceritakan, wabah suatu penyakit sedang berjalan menuju Damaskus dan melewati suatu kafilah di padang gurun.
“Mau ke mana, begitu tergesa-gesa?” tanya kepala kafilah.
“Ke Damaskus. Saya mau merenggut 1.000 nyawa,” jawab wabah.
Sekembalinya dari Damaskus, wabah mendapati kafilah.
Kafilah itu berkata: “Engkau telah merenggut 50.000 nyawa; dan bukan 1.000.”
“Tidak,” kata wabah. “Saya hanya mengambil 1.000 dan yang lainnya mati, disebabkan oleh ketakutan.”
Baca Juga : Kisah Seorang Istri yang Merawat Suami Gangguan Jiwa dan Dipasung Selama 12 Tahun
Baca Juga : Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?
Film Zombi dan Ekstasi Ketakutan
Ilustrasi di atas menemukan relevansinya pada masa pandemi. Dengan bantuan referensial pada film zombi misalnya, kita menemukan bahwa komodifikasi ketakutan membuat rasa takut bukan hanya menjadi problem psikologis dan biologis melainkan juga problem politik. Itulah mengapa ada orang, yang meskipun takut pada hantu, tetap memaksa dirinya menonton film horror. Ya, karena dalam film, batas antara ketakutan dan kenikmatan menjadi pudar. Ia, menjadi apa yang dalam kosa kata psikoanalisa disebut dengan ekstasi ketakutan—ketakutan yang berlebih (surplus of fear) yang akhirnya memaksa seseorang menjadikan ketakutan sebagai bagian dari kenikmatan yang indah.
Seperti dalam kritik Marx terhadap 11 tesis Feuerbach tentang kemiskinan filsafat, alih-alih membongkar mekanisme terciptanya konsep ketakutan, orang belajar mencari dan menemukan dimensi ketakjuban dan pleasure dari rasa takut.
Dengan menjadikan film zombi sebagai objek asosiatif kajian dan tata kelola pandemi sebagai pendekatan, tulisan ini berargumen bahwa proses menjadi zombi dimulai dengan mengintensifkan presisi distribusi ketakutan dan kedaruratan.
Baca Juga : Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi
Baca Juga : Merawat Keindonesiaan
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya