Agama, Politik dan Kemaslahatan Bersama

- Admin

Selasa, 25 April 2023 - 11:47 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.comIndonesia Corruption Watch (ICW) dalam Laporan Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021, memetakan kasus tersangka korupsi berdasarkan aktor. Berdasarkan pemetaan tersebut, ICW mengidentifikasi 28 jabatan yang terjerat dalam kasus korupsi, termasuk pejabat politik dari tingkat lokal sampai nasional.

Berdasarkan identifikasi tersebut, terdapat 319 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi. Di antaranya, Kepala Desa sejumlah 159 orang dan Aparatur Desa 86 orang, Bupati dan Wakil Bupati 20 orang, Ketua dan Anggota Partai 6 orang, Ketua dan Anggota DPR 4 orang, Ketua dan Anggota DPRD 44 orang.

Persoalaan korupsi ini menjadi salah satu persoalaan yang menjamur dalam perpolitikan di Indonesia. Persoalan lain, seperti adanya “perkawinan” para pejabat politik dengan korporasi, membentang karpet merah terhadap perusahan transnasional yang berdampak pada jauhnya keadilan, kesejahteraan dan budaya demokrasi ditendang jauh.

Selain persoalan politik, persoalaan agama juga cukup menjamur di bangsa ini.  Berdasarkan identifikasi dari Setara institute pada 6 April tahun 2021, sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia pada tahun 2020.

Persoalaan politik dan agama di atas bukan karena kerakusan manusia, atau lemahnya hukum tetapi adanya garis pemisah yang tegas antara agama dan politik. Bahwasanya nilai-nilai agama tidak berlaku di ruang publik (politik), sebaliknya nilai politis juga tidak berlaku dalam agama. Oleh karena itu, dalam merespon persoalan politik dan agama ini, diajukan sebuah solusi alternatif, yakni perlunya kerjasama antara agama dan politik.

Solusi alternatif ini dengan dasar argumentasi bahwa agama dan politik sanggup menciptakan kemaslahatan bersama dalam sebuah komunitas politik. Argumentasi ini tidak bermaksud menghendaki adanya penyatuan antara agama dan politik, tetapi lebih berorientasi pada kerjasama atau berkoeksistensi dalam membangun sebuah komunitas politis yang bermartabat.

Ketegangan Agama dan Politik

Agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda dan keberadaanya selalu tarik-menarik. Hal ini karena agama dan politik memiliki kadar sensitif yang sama dan kerapkali dipakai sebagai senjata ampuh untuk menggoreng isu. Agama seringkali dijadikan alat untuk menggalang dukungan politik atau mempertahankan kekuasaan.

Baca juga :  Korupsi dalam Tinjauan Moral Kristiani  

Sementara, aspek politik terlihat dalam kebijakan-kebijakan politis yang mengandung doktrin teologis agama tertentu. Atau yang paling ekstrem, kaum radikal menghendaki Indonesia dijadikan Negara agama. Fenomena lumrah ini berdampak pada opini publik terkait relasi antara agama dan politik di Indonesia. Antara agama dan politik dua entitas yang berbeda dan saling bermusuhan. Keduanya tidak mungkin berdamai dan berkerjasama dalam membangun kemaslahatan bersama.

Ketegangan agama dan politik ini sejatinya bukan hal baru terjadi di negeri ini. Ketegangan relasi antara agama dan politik ini mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Ketegangan ini terlihat dalam sejarah perdebatan ideologis tentang dasar Negara yang melibatkan pelbagai kepentingan politik, yakni golongan nasionalis sekular (PNI), Golongan nasionalis agama (NU, Muhammadiyah, Masyumi, dan Partai Katolik), dan golongan sekular (komunisme dan Liberalisme).

Perdebatan ketiga golongan ini merupakan usaha untuk menemukan dasar Negara (Fransiskus Momang, 2021). Selain itu, Nicolas Driyarkara, Filsuf kebangsaan Indonesia, dalam kajian filosofis Pancasila merumuskan pertanyaan yang sangat tajam, apakah Indonesia Negara agama atau sekular atau bukan Negara agama, bukan Negara sekular? Kalau begitu Negara apakah Indonesia ini? (Silvano Keo Bhaghi, 2016).

Kajian filosofis Driyarkara dan perdebatan ideologis ini bermuara pada pencarian dasar Negara. Indonesia merupakan bukan Negara agama dan sekular, melainkan Negara Pancasila. Negara Pancasila merupakan Negara yang didasarkan pada kelima sila Pancasila. Pancasila sebagai hasil konsensus bersama, bukan hanya terbatas mengakui pluralitas agama, tetapi lebih dari itu terus merawat pluralitas agama dan dijadikan kekuatan bangsa dalam komunitas politis (Negara).

Kemaslahatan Bersama

Agama dan politik merupakan dua entitas berbeda yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan sama-sama turut berkontribusi dalam membangun kemaslahatan bersama. Bahwasannya nilai-nilai agama dan politis mampu menciptakan kebaikan bersama dalam masyarakat Indoensia yang memiliki pluralitas agama. Perlunya merawat relasi antara agama dan politik, karena setiap warga negara memiliki aspek spritualitas dan politis.

Baca juga :  Apakah Gereja Seharusnya Berpolitik?

Kedua aspek ini, tidak bisa berjalan sendiri, tetapi berkolaborasi menjadi kekuatan bangsa. Keseimbangan antara aspek spiritualitas dan politis berdampak kemaslahatan bersama sebagai suatu bangsa. Aspek spiritualitas dan politis mengarahkan para politisi atau pejabat politik untuk mengambil kebijakan politik dengan berlandaskan pada cita rasa kemanusiaan, keadilan, kejujuran dan kebaikan bersama serta dijauhi tindakan korupsi.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila merupakan penegasan akan pentingnya aspek spritualitas dalam membangun bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak terbatas pada Indonesia percaya pada wujud tertinggi atau pengakuan pluralitas agama yang sudah menyejarah.

Lebih dari itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan moral-etis dalam kehidupan berbangsa, yakni perlunya cinta dan kepedulian dalam tindakan politis (Sylvester Kanisius Laku, 2012). Berlandaskan hal ini, kontribusi agama dalam politik merupakan hal yang sangat esensial, yakni segala keputusan politis harus berlandaskan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama tersebut ialah tindakan penuh cinta dan kepedulian serta menjunjung tinggi harkat  dan martabat warga negara.

Kehadiran agama di sini dalam panggung politik, membimbing para pengambil kebijakan politik agar tetap berlandaskan pada keadilan, demokratis, kejujuran, dan cita rasa kemanusiaan. Hal ini karena inti terdalam setiap doktrin teologis agama ialah mengajarkan kebaikan, keadilan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai agama ini pun dituntut untuk tidak terbatas pada ruang ibadah saja, tetapi harus dijadikan landasan dalam kehidupan politik. Dengan demikan segala keputusan politis mengandung nilai kemanusiaan dan benar-benar tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan warga Negara. 

Selain itu, untuk menciptakan kemaslahatan bersama dalam sebuah Negara, kontribusi politik dalam agama juga menjadi hal yang substansial. Kehadiran agama-agama di Indonesia tidak hanya untuk membangun relasi dengan Wujud Tertinggi atau hanya meningkatkan aspek spritualitas. Lebih dari itu peran agama ialah menjalankan aspek politis atau dengan kata lain agama harus bersifat politis. Di sini agama harus membuka diri terhadap nilai-nilai politis demi pembangunan umat beragama secara universal dalam sebuah Negara. Nilai-nilai politis tersebut ialah, keadilan, demokratis, kesetaraan, kebebasan, kebaikan, kejujuran dan lain sebagainya.

Baca juga :  Merawat Simpul Empati

Secara historis, lahirnya agama di dunia memang didasari atas kondisi masyarakat yang serba chaotic. Agama sebenarnya menjadi dasar kuat untuk melakukan reorganisasi ulang terhadap kehidupan masyarakat tersebut dengan menjadikan nilai dan norma agama sebagai dasar pembangunan masyarakat (Wasisto Raharjo Jati, 2014).

Dengan itu, peran politis dalam agama semakin diperjelas yakni untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan, nilai keadilan, menyuarakan suara yang terpinggirkan, membela kaum miskin dan menderita, memerangi korupsi, tolak ekspolitasi alam dan lain sebagainya. Dengan itu, agama tidak hanya berurusan dengan menafsir kitab suci, mendekatkan diri dengan Tuhan, tetapi harus turun bersama umat beragama secara universal dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan.

Problem kemanusiaan ini, baik agama maupun politik dituntut untuk satu garis perlawanan. Keberadaan keduanya saling mengisi demi terwujudnya kebaikan bersama dalam komunitas politik. Indonesia melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa menandaskan, penting dan sebuah keharusan memupuk relasi antara agama dan politik demi tercapainya kemaslahatan bersama. Namun, untuk tercapainya kemaslahatan bersama, antara agama dan politik harus saling membuka diri.

Dialog antara agama dan politik diperlukan sehingga keduanya sama-sama membangun kebaikan bersama sebagai bangsa yang bersifat heterogen. Selain itu kerjasama dan dialog antaragama perlu digalakkan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dijadikan dasar filosofis mengelola pluralitas di bangsa ini, perlu dihidupkan dan menjadi prinsip utama dalam membangun relasi setiap umat beragama. Dengan itu, persoalaan politik dan agama bisa diatasi demi kemaslahatan bersama di bumi nusantara ini.

Komentar

Berita Terkait

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Berita ini 209 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA