Sejenak ia ragu-ragu dengan kesadaran baru itu, tapi tangannya telah bergerak spontan untuk menggoreskan kalimat kedua di atas surat kecilnya.
“Saya tidak tahu,” tulisnya lagi, “kebaikan apa yang telah saya lakukan sehingga Tuhan mengirim engkau padaku.” Kedua bibirnya menyunggingkan senyum dan berpikir untuk mencoret kalimat itu karena terkesan seperti sebuah gombal murahan. Tapi ditepisnya pikiran itu.
Dan memang benar, hampir tidak ada kebaikan yang telah ia lakukan sepanjang usianya yang baru dua puluh delapan tahun. Tapi Samwel tahu pasti, dari ingatannya tentang pelajaran Agama Katolik di Sekolah Dasar, Tuhan itu baik.
Baca Juga : Kota dan Rindu yang Setia
Baca Juga : Menjadi “Gentleman”?: Silang Pendapat Locke dan Rousseau tentang Pendidikan
Ia tiba-tiba ingat “teman minumnya” semasa kuliah, seorang mantan frater yang ketika mabuk kepayang suka berceloteh tentang Tuhan. “Tuhan suka cari orang-orang yang sonde bae. Pemabuk macam kita ni Bapa Tua paling suka. Lalu Dia pretel lagi kita pung hidup.”
Beberapa sepeda motor lalu lalang di jalan berlubang yang berkelok-kelok di kaki gunung. Kehidupan di kampung itu mulai nampak: pintu-pintu rumah telah dibuka, para petani dengan parang yang disarungkan di pinggang bergerak menuju kebun, anak-anak bergegas ke sekolah.
Ia merasa kata-kata teman minumnya itu ada benarnya. Dan itu sedang terjadi pada dirinya saat ini. Ia telah ditemukan dan ditangkap Tuhan untuk “dipretel” menjadi lebih baik.
Maka ia menulis lagi. “Dalam dirimu, saya menemukan Tuhan. Saya janji, saya akan berubah menjadi lelaki baik-baik.”
Ia tersenyum. Surat itu dirasanya amat singkat. Tapi semua hal yang ingin disampaikannya mendahului janji pernikahan telah tertulis di sana. Ia yakin, Alina akan memaafkan dan menerima masa lalunya. “Perempuan,” demikian kata teman minumnya yang mantan frater itu, “lebih suka menerima lelaki dengan masa lalu yang kelam, ketimbang pria tanpa masa depan.”
Hape di kantong celananya berdering. Alina ada di telepon.
“Nana di mana?”
“Di Golo Lantar, Enuu”
“Pulang sudah. Sebentar jam sepuluh kita ke paroki. Singgah memang di kios, beli bir. Kita pergi undang Pater untuk ikut resepsi.”
“Okay, OTW” Sebelum bergegas turun gunung, Samwel menambahkan satu kalimat lagi dalam surat kecil untuk pengantinnya itu. “Seberengsek apa pun seorang laki-laki, ia rela memperbaiki hidupnya demi memenangkan hati seorang wanita yang dicintainya.” Kemudian dibubuhkannya tanda tangan di bawah kalimat itu dan menambahkan, “Samwel, pria masa depanmu.”