Sebelah Utara Kota Karang

- Admin

Sabtu, 4 September 2021 - 21:48 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Di tempat jual bensin, kudapati harganya hanya delapan ribu rupiah. Aku meminta pada bibi agar membawa serta botol bensin itu.

“Aduh kaka, tidak bisa. Soalnya banyak beta punya botol bensin yang hilang. Kaka isi langsung di sini saja to.”

Betapa trauma bibi ini. Rupanya telah banyak orang yang menipu dirinya. Mungkin saja ia seringkali mendapati perkataan yang sebunyi dengan perkataanku, tetapi hanyalah tipuan semata.

“Bi, kasihanilah bapak saya. Motornya kehabisan bensin di tengah jalan. Sangat jauh dari sini. Sebentar pasti kami kembalikan botol bensin ini.”

Dalam keadaan seperti itu, aku sempatkan diri melakoni drama dadakan yang juga atas skenario dadakan yang kususun sendiri. Aku harus mengakui bapak tua itu sebagai bapak saya agar bibi itu mengizinkan aku membawa serta botol bensin.

Baca juga :  Tanpa Tanda Jasa

“Baiklah, jangan tipu ee, kaka.” Revo bututku melaju kembali ke bapak tua itu.

“Harga bensin hanya delapan ribu rupiah, ini kembaliannya.”

“Ah, ambil saja untuk jajanmu, Nak.”

“Terima kasih, Bapa. Tapi beta tulus membantu.” Aku paham benar, dua ribu rupiah itu betapa berarti bagi pedagang sepertinya. Betapa ia bercucuran keringat untuk mendapatkan dua ribuan itu.

“Nak, mau ke mana?” Ia bertanya dengan senyuman melebar. Sesekali giginya yang ompong timbul tenggelam.

Beta mau ke tempat kerja di Naioni, Bapa”

“Wah… kerja apa, Nak? Nak, mahasiswa kan?

“Iyo Bapa, beta sekarang ini sedang menunggu wisuda. Beta mengisi waktu senggang dengan menjadi buruh.” Ya, buruh kasar dadakan juga sementara.

“Bertumbulah terus kedermawanan dan kerendahan hatimu, Nak. Lihatlah padi yang merunduk di persawahan. Bapa kira kau terpelajar paham benar maksudku.”

Baca juga :  Seratus Jam Mencari Sintus

Kata-kata yang meluncur lambat dan lembut dari mulutnya, membuat aku menggeragap. Bijaksana nian bapak tua ini. Rupanya kata-kata itu juga sekaligus menilai laku orang bersedan itu.

Tapi, bagaimana mungkin bapak tua ini, hanya pedagang sayur keliling, begitu bijaksana? Bukan. Bukan aku bermaksud meremehkan bapak tua ini. Bahkan batu karang dan debu jalanan yang kuinjak pun, tidak aku remehkan.

Bapak tua ini bukan sembarang orang. Dan aku hanya berkata-kata dalam hati sampai akhir pertemuan yang sarat makna itu.

Pertemuan kami; aku, bapak tua, dan orang bersedan itu berakhir pada pkl. 09.20 Wita, bersaksikan sang surya, hamparan batu karang di tepi jalan, juga motor bututku dan punya ia sendiri. Juga botol bensin si bibi yang segera aku kembalikan.

Baca juga :  Sore Nanti, Kita ke Pantai

Tepat di hari itu juga, genap sebulan aku menjadi buruh kasar. Aku dan bapak tua itu sama-sama menjemurkan diri di bawah terik matahari. Hanya saja, bapak tua itu memburu rupiah demi keluarganya.

Sedangkan aku memburu rupiah untuk memborong tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Upah diterima dua minggu sekali. Pada gajian pertama aku berhasil memiliki Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.

Dan selepas gajian hari ini, aku pasti kembali menyambangi Gramedia. Menjemput Jejak Langkah dan Rumah Kaca.

Orang bersedan itu, berlagak seperti orang Eropa yang dikisahkan Mas Pram dalam tetralogi Pulau Buru itu.

Angkuh!

Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ
Baca Juga : Politik Hijau, Partai Politik, & Masyarakat Adat

Komentar

Berita Terkait

Suami Kekasihku
Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Sunset yang Hilang
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Berita ini 139 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA