Di tempat jual bensin, kudapati harganya hanya delapan ribu rupiah. Aku meminta pada bibi agar membawa serta botol bensin itu.
“Aduh kaka, tidak bisa. Soalnya banyak beta punya botol bensin yang hilang. Kaka isi langsung di sini saja to.”
Betapa trauma bibi ini. Rupanya telah banyak orang yang menipu dirinya. Mungkin saja ia seringkali mendapati perkataan yang sebunyi dengan perkataanku, tetapi hanyalah tipuan semata.
“Bi, kasihanilah bapak saya. Motornya kehabisan bensin di tengah jalan. Sangat jauh dari sini. Sebentar pasti kami kembalikan botol bensin ini.”
Dalam keadaan seperti itu, aku sempatkan diri melakoni drama dadakan yang juga atas skenario dadakan yang kususun sendiri. Aku harus mengakui bapak tua itu sebagai bapak saya agar bibi itu mengizinkan aku membawa serta botol bensin.
“Baiklah, jangan tipu ee, kaka.” Revo bututku melaju kembali ke bapak tua itu.
“Harga bensin hanya delapan ribu rupiah, ini kembaliannya.”
“Ah, ambil saja untuk jajanmu, Nak.”
“Terima kasih, Bapa. Tapi beta tulus membantu.” Aku paham benar, dua ribu rupiah itu betapa berarti bagi pedagang sepertinya. Betapa ia bercucuran keringat untuk mendapatkan dua ribuan itu.
“Nak, mau ke mana?” Ia bertanya dengan senyuman melebar. Sesekali giginya yang ompong timbul tenggelam.
“Beta mau ke tempat kerja di Naioni, Bapa”
“Wah… kerja apa, Nak? Nak, mahasiswa kan?
“Iyo Bapa, beta sekarang ini sedang menunggu wisuda. Beta mengisi waktu senggang dengan menjadi buruh.” Ya, buruh kasar dadakan juga sementara.
“Bertumbulah terus kedermawanan dan kerendahan hatimu, Nak. Lihatlah padi yang merunduk di persawahan. Bapa kira kau terpelajar paham benar maksudku.”
Kata-kata yang meluncur lambat dan lembut dari mulutnya, membuat aku menggeragap. Bijaksana nian bapak tua ini. Rupanya kata-kata itu juga sekaligus menilai laku orang bersedan itu.
Tapi, bagaimana mungkin bapak tua ini, hanya pedagang sayur keliling, begitu bijaksana? Bukan. Bukan aku bermaksud meremehkan bapak tua ini. Bahkan batu karang dan debu jalanan yang kuinjak pun, tidak aku remehkan.
Bapak tua ini bukan sembarang orang. Dan aku hanya berkata-kata dalam hati sampai akhir pertemuan yang sarat makna itu.
Pertemuan kami; aku, bapak tua, dan orang bersedan itu berakhir pada pkl. 09.20 Wita, bersaksikan sang surya, hamparan batu karang di tepi jalan, juga motor bututku dan punya ia sendiri. Juga botol bensin si bibi yang segera aku kembalikan.
Tepat di hari itu juga, genap sebulan aku menjadi buruh kasar. Aku dan bapak tua itu sama-sama menjemurkan diri di bawah terik matahari. Hanya saja, bapak tua itu memburu rupiah demi keluarganya.
Sedangkan aku memburu rupiah untuk memborong tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Upah diterima dua minggu sekali. Pada gajian pertama aku berhasil memiliki Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa.
Dan selepas gajian hari ini, aku pasti kembali menyambangi Gramedia. Menjemput Jejak Langkah dan Rumah Kaca.
Orang bersedan itu, berlagak seperti orang Eropa yang dikisahkan Mas Pram dalam tetralogi Pulau Buru itu.
Angkuh!
Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ
Baca Juga : Politik Hijau, Partai Politik, & Masyarakat Adat
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya