Tentang Bungkam
Pada dasarnya, ‘bungkam’ adalah sebuah kata yang mengandung banyak arti. Secara linguistik, ‘bungkam’ adalah sebuah kata yang mengacu pada pengertian tertentu. Secara psikologis, ‘bungkam’ mengacu pada keadaan batin manusia. Secara sosiolgis, ‘bungkam’ adalah bagian dari taktik individu atau kelompok sosial dalam menghadapi fakta atau realitas sosial tertentu.
Bungkam juga berkaitan erat dengan keterbasan pengetahuan tentang sesuatu. Tidak heran jika banyak orang memilih bungkam tentang sesuatu karena ia tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang hal itu. Apapun sudut pandang yang kita gunakan, ‘bungkam’ selalu mengandung sesuatu: sesuatu yang patut ditelurusi.
Namun, untuk kebutuhan artikel ini, penulis pertama-tama menganalisis makna ‘bungkam’ dari perspektif linguistik. Pada penjelasan selanjutnya, kata ‘bungkam’ dihubungkan dengan medan psikologis dan sosiologis.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata bungkam sebagai keadaan ‘tertutup’ (tentang mulut); ‘tidak bersuara’ (kbbi.web.id, diakses pada Sabtu, 28/7/2021). Tentu, arti yang diberikan KBBI ini masih sangat sederhana dan terbatas. Namun, sekurang-kurangnya terdapat beberapa elemen penting di balik kedua arti tersebut.
Pertama, ‘bungkam’ dimengerti dalam hubungannya dengan ‘mulut’ sebagai medium berbicara, bersuara, atau berpendapat. Kata itu juga mengacu pada ‘kata’. Bungkam berarti tanpa ‘kata’, tanpa ‘suara’. Dengan kata lain, bungkam adalah ‘diam’ yang merujuk pada ketiadaan suara atau kata yang keluar dari mulut.
Baca Juga : Merosotnya Nilai-Nilai Antikorupsi di Tubuh KPK
Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Kedua, ‘bungkam’ juga mengindikasikan adanya prinsip subjek, objek, dan medium. Kata ‘bungkam’ mengacu pada sesuatu yang hidup, dalam hal ini adalah manusia. Tentu, kata bungkam dapat digunakan secara metaforis atau puitis. Menyebut ‘bungkam’ berarti menyebut ‘subjek’ yang ‘bungkam’. Tidak ada ‘bungkam’ tanpa ‘subjek’.
Kita biasa bertanya, “Siapa yang bungkam?” Hal ini menunjukkan bahwa kata ‘bungkam’ selalu mengacu pada ‘subjek’, misalnya si Desi, atau Linda, atau Agus, dll. Selain mengandung prinsip subjek, kata ‘bungkam’ juga mengacu pada prinsip objek, yaitu tentang sesuatu yang tentangnya si subjek ‘bungkam’.
Jika kita mengatakan “Ibu Susi bungkam”, kita pun bertanya “Ibu Susi bungkam terhadap atau tentang apa?” Dengan kata lain, jika subjek (seseorang) bungkam, ia harus bungkam terhadap sesuatu (objek). Karena itu, pertanyaan tadi mungkin dijawab “Ibu Susi bungkam terhadap perselingkuhan antara suaminya dan sekretaris kantornya.” Dalam kasus ini, objeknya adalan perselingkuhan yang dilakukan oleh suami Ibu Susi. Hal ini berarti tidak mungkin kita bungkam tentang sesuatu yang tidak ada. Kita selalu bungkam terhadap sesuatu yang ada. Tentu, ‘bungkam’ juga dapat memiliki arti metafisis, yaitu ketika kita ‘bungkam’ terhadap suatu realitas transenden, tidak terbatas, yaitu Tuhan.
Selain mengandung prinsip subjek dan objek, kata bungkam juga mengindikasikan adanya ‘medium’ bungkam. Dalam konteks ini, medium berarti sesuatu yang melaluinya si subjek bungkam terhadap objek tertentu. Kita bungkam terhadap sesuatu (objek) melalui sarana atau media tertentu. Kita bungkam dengan cara ‘tidak berbicara’ tentang sesuatu terhadap siapa pun.
Baca Juga : Aku dan Kisahku|
Baca Juga : Mabuk Kuasa
Kita bungkam dengan cara tidak melaporkan sesuatu (kasus) itu kepada pihak berwajib. Kita bungkam seolah-olah sesuatu itu tidak pernah ada atau tidak pernah terjadi. Dalam contoh di atas, boleh jadi Ibu Susi ‘bungkam’ dengan cara-cara tersebut. Prinsip medium ini juga mengindikasikan proses tentang bagaimana si subjek bungkam terhadap sesuatu. Subjek, dalam contoh di atas Ibu Susi, bisa bungkam karena ia dengan sadar memilih untuk ‘membungkam’. Dalam hal ini, Ibu Susi memilih bungkam atas pilihan dan kehendaknya sendiri dengan motivasi yang dikehendakinya sendiri.
Selain sebagai suatu aksi aktif dari subjek, ‘bungkam’ juga merupakan suatu akibat yang dialami subjek. Dengan kata lain, seseorang bungkam karena ia sengaja ‘dibungkam’. Dalam hal ini, seseorang dipaksa untuk bungkam meskipun ia tidak menghendaki dirinya untuk bungkam. Namun, karena sesuatu di luar dirinya lebih berkuasa, ia memilih untuk bungkam.
Dalam contoh di atas, Ibu Susi boleh jadi dipaksa untuk ‘bungkam’ oleh suaminya yang lebih berkuasa dari dirinya. Secara de facto, bukam-membungkam inilah yang paling sering terjadi. Dengan kata lain, di balik bungkamnya perempuan terdapat kekuasaan represif, koersif, dan hegemonik.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya