Habermas tentang Penyakit Era Digital
Technik und Wissenschaft als Ideologie (Teknik dan Ilmu sebagai Ideologi) adalah artikel yang didedikasikan oleh Habermas kepada Herbert Marcuse dalam ulang tahunnya yang ke-70. Dalam artikel ini, Habermas menyanggah dan mengeritik tesis Marcuse dalam buku One Dimensional Man yang mengatakan bahwa daya pembebas teknologi telah berubah menjadi belenggu bagi manusia sendiri. Marcuse dan generasi pertama teori kritis menemukan adanya fenomena krusial di balik kehadiran teknologi.
Mereka mengatakan bahwa teknologi, sebagai hasil rasionalitas, telah bermetamorfosis menjadi pemicu dehumanisasi di era modern ini. Dalam istilah Marcuse, fenomena ini disebut sebagai rasionalitas teknologis atau Zweckrationalitat, dalam bahasa Horkheimer dan Adorno. Mereka mengatakan bahwa proses rasionalisasi merupakan jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru.
Berbeda dari generasi pertama teori kritis, Habermas justru mengatakan, “persoalannya bukan apakah kita memanfaatkan sepenuhnya suatu potensi yang sudah tersedia atau yang masih harus dikembangkan, melainkan apakah kita dapat memilih apa yang kita inginkan untuk tujuan mendamaikan dan memuaskan eksistensi.”7
Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri
Baca Juga : Pelangi di Mataku
Teori Kritis Habermas, sebagaimana termuat dalam artikel Technik und Wissenschaft als Ideologie, merupakan sebuah paradigma strategis dalam memahami penyakit atau realitas destruktif yang tengah mewabah dalam era digital.Sambil tetap menyadari bahaya simplifikasi gagasan prestisius Habermas dalam artikel tersebut, uraian-uraian berikut ini bermaksud untuk menjabarkan beberapa gagasan Habermas dalam hubungannya dengan penyakit era digital.
Pertama, kesadaran teknokratis. Tentang hakekat dan karakteristik dasar dari kesadaran teknokratis, Habermas menulis:
Dalam kesadaran teknokratis, yang tercermin bukan permintaan (disremption) suatu hubungan etis, melainkan represi “moralitas” sebagai satu kategori bagi pergaulan hidup pada umumnya…Inti ideologis dari kesadaran itu adalah peniadaan pembedaan antara praksis dan teknik…Dengan demikian, maka ideologi baru itu melanggar suatu kepentingan yang melekat kepada satu dari kedua persyaratan fundamental eksistensi kultural kita: kepada bahasa, atau lebih tepat lagi, kepada bentuk sosialisasi dan individuasi yang dikondisikan oleh komunikasi bahasa.”8
Menurut Habermas, kesadaran teknokratis mengobyektivasi-diri manusia melalui suatu kerangka tujuan teknis. Habermas menemukan bahwa kesadaran teknokratis ini “mencegah dasar-dasar masyarakat dijadikan pokok pembicaraan.”9Di dalam era digital, kesadaran teknokratis ini dapat dihubungkan dengan mekanisme produksi kapitalis yang memposisikan masyarakat sebagai ‘lahan garapan’ demi suatu efektivitas dan efisiensi serta akumulasi keuntungan.
Realitas lain yang bersumber dari kesadaran teknokratis ini adalah adanya hegemoni atau penguasaan tersembunyi negara-negara berkembang oleh negara-negara maju. Peradaban di negara berkembang seringkali mengimitasi bahkan menduplikasi lifestyle di negara maju yang sudah mapan. Sejarah peradaban bangsa-bangsa di dunia seringkali hanyalah sebuah “penggandaan” atas model kehidupan negara-negara maju oleh negara-negara berkembang.
Dalam teori kritis Habermas, situasi ini dapat menghambat individuasi menuju diri yang otonom, karena setiap pribadi berada di bawah dominasi teknologi. Tingkah laku adaptifterhadap produk-produk modernitas, terutama teknologi digital, mengalienasi manusia dari autentisitas dirinya dan dari realitas sosial.
Kedua, komunikasi yang terdistorsi. Menurut Habermas, pelaku dalam sebuah tindakan rasional-bertujuan selalu berorientasi pada kesuksesan atas tujuan tertentu. Habermas juga mendistingsi dua bentuk dari tindakan rasional-bertujuan ini, yaitu tindakan rasional instrumental (diarahkan pada dunia alamiah) dan strategis (diarahkan pada dunia sosial). Meskipun tindakan strategis dikategorikan ke dalam interaksi sosial, interaksi ini tidak murni (genuine).
Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
Hal ini terjadi karena tindakan strategis memiliki kecenderungan untuk menipu atau memanipulasi pihak lain dalam sebuah interaksi sosial.10 Menurut Habermas, manipulasi yang terjadi melalui tindakan strategis ini mengakibatkan terjadinya sebuah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Dalam era post-truth yang mengedepankan emosionalitas dan subyektivitas dalam menginterpretasi informasi, norma-norma etis menjadi tidak berlaku, bahkan kekuatannya hilang. Selain itu, dalam era post-truth setiap orang dapat mengklaim kebenarannya sendiri dan dengan bebas memviralisasi ‘kebenaran’ itu di ruang publik.
Menariknya, interaksi melalui ruang digital merupakan sebuah distorsi terhadap komunikasi yang genuine. Jika pada level konkret, komunikasi mengandaikan intersubjektivitas dan interrelasi, kini, dalam era teknologi digital, pelaku komunikasi hanya mempresentasikan bagian tubuh tertentu kepada lawan bicara.
Bahkan, di sana terjadi budaya baru penyalahgunaan tubuh, sebab pelaku obrolan menggunakan logika permintaan (disremption). Transaksi gambar tubuh menjadi lazim terjadi, bahkan orang tidak lagi tertarik dengan seksualitas yang otentik. Ruang digital memungkinkan dirinya mendapatkan pemenuhan seksual melalui logika permintaan (disremption) dan tuntutan (demand).
Ketiga, massa yang terkapitalisasi. Di dalam era modern, sistem produksi kapitalis memanfaatkan platform media digital untuk menjaring kehendak massa. Mekanisme kapitalis ini dilakukan dengan meningkatkan usaha promosi dan taktik pemasaran yang cerdik dan sugestif, sehingga masyarakat (baca: netizen) terdorong untuk membeli produk-produk tertentu.
Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
Hal ini berakibat pada terciptanya “kebutuhan-kebutuhan” baru dalam kehidupan masyarakat yang terbentuk bukan karena pertimbangan-pertimbangan rasional, melainkan semata-mata karena desakan budaya digital. Dengan kata lain, melalui media digital, industri kapitalis berhasil membentuk masyarakat yang bermental konsumtif dan irasional. Tentang kontrol perilaku masyarakat oleh produksi kapitalis ini, Habermas mengatakan demikian:
Masyarakat-masyarakat industrial yang sudah maju nampaknya semakin mirip dengan model kontrol perilaku (verhaltenskontrolle) yang lebih dikendalikan oleh rangsangan-rangsagan dari luar dan bukan dibimbing oleh norma-norma. Pengarahan secara tidak langsung oleh rangsangan-rangsangan yang ditimbulkan, terutama bidang-bidang kebebasan yang nampaknya saja subyektif (perilaku yang menyangkut pilihan, konsumsi, penggunaan waktu senggang) semakin meningkat.11
Dengan demikian, mentalitas konsumtif dan irasional dari manusia modern juga merupakan hasil konstruksi sistem produksi kapitalis yang berhasil menempatkan masyarakat ke dalam jaring eksploitasi. Hal ini pun berujung pada terbelenggunya rasionalitas manusia di bawah kontrol produksi kapitalis.
Keempat, dehumanisasi. Hemat penulis, kulminasi dari penyakit era digital adalah terjadinya dehumanisasi, yaitu simplifikasi atas kemanusiaan. Hal ini ditandai dengan memudarnya rasionalitas, kesadaran, dan otonomi masyarakat (baca: netizen), sehingga melahirkan mentalitas konsumtif, pragmatis, dan adaptif. Budaya digital yang turut ditumpangi ‘nalar’ produksi kapitalis berhasil merenggut rasionalitas dan independensi masyarakat dalam bertindak.
Manusia, dalam bahasa Habermas, sedang “dikendalikan oleh rangsangan-rangsangan dari luar dan bukan dibimbing oleh norma-norma.” Bagi Habermas, “obyektivasi-diri manusia ini telah berakhir dalam suatu alienasi yang direncanakan – manusia membuat sejarahnya sendiri dengan kehendak tapi tanpa kesadaran.”12
Akhirnya, mungkinkah kita mampu membebaskan diri dari belenggu penyakit era digital? Semua ini tidak bergantung pada teknologi apa yang kita ciptakan, tetapi pada bagaimana kita memandang dan menggunakan teknologi.
Footnote
1 Klaus Schwab, The Fourt Industrial Revolution (Geneva: World Economic Forum, 2016), hlm. 14.
2 Teguh Hindarto, “Paradoks Era Digital: Antara Kecepatan dan Banalitas,” https://www.qureta.com/post/paradoks-era-digital-antara-kecepatan-dan-banalitas/, diakses pada 10 Mei 2021.
3 Lih. Agus Sudibyo, “Merayakan Kebohongan,” Kompas, 5 Oktober 2018, hlm. 6.
4 F. Budi Hardiman, “Homo Digitalis,” dalam Kompas.id, 1 Maret 2018. https://kompas.id/baca/opini/2018/03/01/homo-digitalis/ , diakses pada 13 Mei 2021.
5 Silvester Ule, Terorisme Global, Tinjauan, Kritik dan Relevansi Pandangan Jean Baudrillard (Maumere: Penerbit Ledalero, 2011), hlm. 29.
6 “Hasil Survei Wabah Hoax Nasional 2019”, mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-nasional-2019/, diakses pada 10 Mei 2021.
7 Jurgen Habermas, lmu dan Teknologi sebagai Ideologi, terj. Hassan Basari (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 100.
8 Ibid.,hlm 91.
9Ibid., hlm. 90.
10 F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2003), hlm. 98-99.
11 Jürgen Habermas, op.cit. hlm. 82-83.
12 Ibid., hlm. 98.