Indodian.com– Ketika Anda merasa bahagia entah karena mendapatkan kenaikan gaji, promo, atau menemukan cinta sejati, rasa bahagia Anda tidak bereaksi terhadap semua itu. Bagian terdalam pikiran Anda tidak tahu apa-apa tentang pekerjaan atau pasangan seksi Anda. Anda sesungguhnya hanya bereaksi terhadap badai sensasi yang mendebarkan jantung Anda. Dalam keadaan di mana tubuh dan pikiran Anda tidak beraksi apa-apa terhadap sensasi, maka kenaikan gaji, promo murah, atau bercinta dengan pasangan yang disukai bisa menjadi momen yang sangat membosankan.
Itu bukanlah penemuan terbaik sains di abad 21. Sekitar 2300 tahun lalu, Epicurus, filsuf Yunani, telah mengatakan dengan terang-terangan bahwa kita bahagia ketika merasakan sensasi-sensasi menyenangkan dan terbebas dari rasa tidak menyenangkan. Baginya, pencarian membabi buta terhadap uang, ketenaran, kenikmatan, adalah jebakan sensasi menyenangkan belaka.
Sensasi selalu bersifat sementara. Saat Anda telah mengumpulkan banyak uang, apakah Anda puas dan berkata “saya sudah bahagia”? Tidak, kata Epikurus. Mungkin Anda akan berkata begitu, tapi sesaat. Karena sebentar lagi, sensasi untuk memperoleh uang lebih banyak lagi memaksa Anda untuk berlari mengejar, lagi dan lagi, begitu seterusnya.
Ketika Anda selesai bercinta, mencapai orgasme, apakah Anda akan bilang “sudah puas”? Tidak, kata Epicurus, karena sebentar lagi sensasi bercinta– yg lebih tepatnya disebut nafsu – muncul kembali dan merangsang Anda bercinta lagi dan lagi. Bahkan jika Anda mencari pasangan lain, selain pasangan Anda, Anda tetap tidak akan puas sebab sensasi itu, di mana dan dengan siapapun Anda melakukannya, bersifat sementara. Menurut Epicurus, bahkan ketika kita mengalami kenikmatan atau kesenangan, kita tak bereaksi dengan kesenangan itu, tapi terhadap nafsu untuk menambah.
Karena itulah, Epikurus mengajarkan kesahajaan hidup: makan secukupnya saja, juga membendung hasrat seksual. Makan yang berlebihan dan pesta seks gila-gilaan bagi Epicurus tidak menambah kebahagiaan seseorang. Kalau Anda memberi seketul roti saja kepada seorang petani yang kelaparan 1500 tahun lalu, itu sudah cukup membuatnya bahagia. Tapi bagaimana Anda membahagiakan seorang birokrat yang bosan, gaji berlimpah dan kelebihan berat badan di abad 21?
Epicurus sendiri mempraktikkan hidup bersahaja itu. Hidupnya amat sederhana. Makanan dan minumannya yang terutama adalah roti dan air, yg baginya terasa amat memuaskan. “Tubuhku merasakan kenikmatan,” tulisnya, “ketika hidup dengan roti dan air, dan kunistakan pelbagai kesenangan serba mewah, bukan karena kesenangannya itu sendiri melainkan penderitaan yang diakibatkannya”. Apa yang terpenting bagi Epicurus adalah persahabatan. Persahabatan jauh lebih berharga dari pesta seks gila-gilaan.
Epicurus bukanlah orang yang memandang rendah kenikmatan. Baginya, kenikmatan adalah awal dan akhir hidup yang bahagia. Tapi kenikmatan itu bukanlah penerimaan semua sensasi dan keinginan. Ada keinginan yang perlu seperti makanan, keinginan yang tidak perlu seperti makanan yang enak, dan keinginan sia-sia belaka seperti kekayaan.
Menurut Epicurus, mengontrol diri agar tak tunduk pada si raja sensasi adalah cara mencapai kenikmatan sejati dalam hidup. Sebaliknya, melayani semua jenis keinginan dan sensasi adalah sumber penderitaan umat manusia. Makan boleh jadi memuaskan rasa lapar, tapi jika berlebihan, maka penderitaan yang diakibatkan oleh sakit perut jauh lebih berat daripada kenikmatan yang dihasilkannya.
Bagi mereka yang lagi diet dengan alasan tertentu, nasehat Epicurus bagus. Demikianpun hubungan seksual. “Hubungan seksual,” kata Epicurus, “tak pernah mengandung kebaikan bagi manusia, dan sudah beruntung jika perbuatan itu tak mencelakainya.” Lebih daripada nasehat praktis, ini adalah sebuah etika menjalani hidup yang sederhana namun nikmat, bahwa menghindari penderitaan (yang diakibatkan oleh kurangnya prudensi/kebijaksanaan yg tepat utk memilih mana yang perlu dan tak perlu) jauh lebih penting daripada mengejar kenikmatan yang sia-sia.
Pendapat itu tidak naif, tidak hanya pada masa Epicurus, tapi juga pada masa kita. Berapa banyak orang yang mati karena kelaparan, gizi buruk dan kekurangan makanan dibandingkan kematian karena kelebihan makanan, diabetes, obesitas, penyakit jantung, dll? Jauh lebih sedikit yg mati karena kelaparan daripada karena kelebihan makanan. Dulu, kelaparan adalah ancaman besar. Sekarang, kelaparan memang masih ada di beberapa tempat, tapi ancaman sesungguhnya adalah kelebihan makanan. Lebih banyak orang mati di zaman kita karena makanan berlebih dibandingkan kelaparan, perang bahkan terorisme. Saat ini, penyakit gula lebih berbahaya daripada bubuk mesiu.
Namun bagi para pengejar modal di abad ini, renungan Epicurus adalah suara lirih dari zaman purba yang sama sekali tak berguna untuk manusia abad 21. Orang akan tetap mengejar kepuasan demi kepuasan. Obat-obat biokimia dan narkotika untuk memanipulasi sensasi masih laris dijual karena permintaan yg makin tinggi di tengah kehidupan modern yang berlari makin kencang dan menciptakan banyak stress atau bunuh diri.
Bagi mereka, kebahagiaan adalah kenikmatan, dan kenikmatan berarti melayani sensasi demi sensasi sampai tak berhingga. Rupanya doktrin dan keyakinan para pemuja modal itu masuk akal. Bukankah kenikmatan telah menjadi pendorong pasar saat ini? Dulu rasa takut akan kematian membuat manusia mengambil banyak langkah penting dalam hidup.
Saat ini bukan rasa takut akan mati melainkan sensasi nikmat adalah detak jantung di balik globalisasi modal. Anda mengkonsumsi banyak gula ke tubuh Anda didorong oleh sensasi nikmat belaka, meski Anda tahu, gula dalam jumlah banyak akan membunuh Anda. Tak peduli seberapa besar lahan masyarakat adat dirampok menjadi ladang tebu, kapitalisme terus melakukan eksploitasi demi produksi gula yang permintaannya makin tinggi. Dan pembelinya adalah kita.
Sensasi enak dalam tubuh kita diperalat oleh pasar untuk keuntungan mereka, dan dalam takaran melebihi batas, merusak tubuh kita. Tak peduli seberapa besar lahan2 di Afrika dicaplok perusahaan-perusahaan besar untuk tanaman sereal, dengan akibat penderitaan penduduk lokal dan hancurnya habitat binatang-binatang liar, yang terpenting pasar bisa melayani sensasi nikmat dan kebutuhan kalori orang-orang AS yang dihajar obesitas.
Rasa-rasanya, nasehat Epicurus bukanlah sesuatu yang dipandang sepele di zaman kita. Manusia sedang berupaya menjadi tuhan: memperpanjang usia dan bila perlu menjadikannya immortal, sambil berupaya menghindari perang dan kelaparan. Namun fakta mengatakan, semakin manusia berupaya mengatasi kematian, angka kematian semakin tinggi.
Saat ini, angka kematian karena bunuh diri jauh lebih tinggi daripada karena perang, terorisme atau bencana alam. Dan lebih banyak lagi bunuh diri terjadi di negara-negara maju daripada negara-negara yang relatif miskin. Desakan sensasi yang kencang sekencang larinya tuntutan kehidupan modern yang makin tinggi membuat banyak orang stress, depresi dan muram bahkan ketika hidup mereka sudah sukses, kaya, berlimpah harta dan mereguk cinta dari pasangan ideal.
Kehidupan kita saat ini, diukur dari tingkat kebahagiaan, tidaklah lebih baik dari nenek moyang kita ribuan tahun lalu yang hidup tanpa internet, listrik, KFC, dan lain-lain. Epicurus rupanya benar lagi ketika berkata bahwa tunduk pada sensasi sia-sia belaka menjadi sumber penderitaan, sebab manusia akan mulai gelisah, stress, dan depresi ketika keinginannya tidak terpenuhi. Seharusnya, dari sudut pandang Epicurus, rasa takut akan mati tidaklah lebih buruk daripada sensasi-sensasi nikmat yang menjebak kita.
Karena itu, Epicurus mengingatkan pentingnya menghidupi keutamaan-keutamaan seperti kesederhanaan, tahu diri, penguasaan diri dan kegembiraan dalam semua situasi. Keutamaan-keutamaan inilah yang membebaskan kita dari perangkap sensasi yang sia-sia.