Strategi Politik Populis dan Stagnasi Demokratisasi di Indonesia

- Admin

Rabu, 20 Oktober 2021 - 17:07 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Realitas perenial yang mewarnai dunia politik adalah adanya tegangan antara gagasan ideal tentang substansi politik dan praksis politik itu sendiri. Bertolak dari pemikiran Bertrand Russel, gagasan ideal tentang politik merupakan wilayah pergulatan para ahli politik, sedangkan praksis politik yang riil terepresentasi melalui para politisi.

Dalam esai berjudul “The Need for Political Scepticism,” Bertrand Russell merumuskan perbedaan distingtif antara dua kelompok tersebut. Russell menulis demikian: “

Kelebihan para politisi adalah dalam memperkirakan gagasan-gagasan apa yang kiranya akan disambut oleh orang banyak. Kelebihan para ahli ialah mengkalkulasikan apa yang sungguh-sungguh menguntungkan. … Kaum politisi khususnya ahli dalam menangkap emosi-emosi apa yang mudah dibangkitkan, dan bagaimana mencegahnya jika hal itu bangkit agar tidak membahayakan diri dan kawan-kawannya. … Reaksi alamiahnya [ahli politik] atas masalah politis ialah mempertanyakan kebijaksanaan apa yang akan menguntungkan, bukan kebijaksaan apa yang berkenan pada massa.1

Dari gagasan Russell ini, kita menemukan perbedaan motivasi dan orientasi di balik cetusan karya antara politisi praktis dan ahli politik. Para ahli (ilmuwan) politik berpanjikan semangat idealis dan etis di balik politik. Bagi mereka, politik adalah proses perumusan dan pembentukan kebijakan yang berkualitas dan yang tidak didasarkan pada kalkulasi pragmatis.

Baca juga :  Mengendus Korupsi Pembangunan Pelabuhan Niaga Rangko di Labuan Bajo

Di sisi lain, golongan politisi praktis justru dimotori roh pragmatisme dan oportunisme, sehingga politik dijadikan sebagai arena pertarungan dan perebutan kekuasaan. Akibatnya, politik kehilangan dimensi etisnya, sebab politik direduksi menjadi wilayah perwujudan free will di antara elit politik.

Sering pula politik ibarat pertunjukan gladiator yang semata-mata berkonsentrasi pada ‘keselamatan’ diri sendiri. Pada akhirnya, bonum commune dianggap sebagai suatu nihilisme yang tidak mempunyai tempat dalam praksis politik.

Diskursus tentang substansi dan realitas politik kembali muncul ketika populisme menjadi suatu fenomena politik yang mengganyang sistem demokrasi di seantero dunia selama beberapa dekade terakhir. Tentu, populisme adalah taktik politik di tangan para politisi, sedangkan para ahli politik hanyalah segelintir manusia yang peduli pada idealisme politik. Karena itu, mengglobalnya populisme saat ini merupakan representasi praksis politik yang telah terkooptasi oleh kepentingan partikular-pragmatis di antara para politisi.

Baca juga :  Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Sejak terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat pada 2017 yang lalu, populisme tidak hanya menjadi tema diskursus antarilmuwan politik, tetapi juga menjadi gerakan politik global yang di-copy paste oleh sejumlah elit politik di sejumlah negara. Secara historis, populisme memang sudah ada sebelum kampanye politik Donald Trump. Namun, Trump berhasil mengangkat dan menjadikan populisme sebagai dea fortuna bagi elit politik yang menghendaki kemenangan dalam kontestasi politik.

Kemenangan Donald Trump pun didaulat sebagai representasi prestasi gemilang dari elit populis yang tidak terbantahkan di era demokrasi liberal saat ini. Prestasi serupa mulai bereskpansi ke negara-negara lainnya. Sehari setelah pelantikan Trump, sejumlah pemimpin partai populis sayap kiri Eropa mengadakan pertemuan di Koblenz, Jerman, pada Sabtu 21 Januari 2017, yang bertujuan untuk memetakan strategi populis di tengah kontestasi politik di Eropa. Sebagian besar dari peserta yang hadir adalah elit politik berhaluan nasionalisme-konservatif, seperti Geert Wilders dari Belanda, Marie le Pen dari Prancis, Frauke Petry dari Jerman, dan Matteo Salvini dari Italia.2   

Baca juga :  Demokrasi dan Kritisisme

Untuk konteks Indonesia, Pilpres 2014 dan 2019 yang mempertemukan Joko Widodo dan Prabowo Subianto merupakan momentum politik yang sarat muatan strategi populis. Meskipun kedua kandidat ini sama-sama menggunakan senjata populis, Prabowo harus mengakui kelincahan Jokowi dalam menggunakan senjata itu. Fenomena yang sama kembali terulang dalam Gerakan 212 dan pilkada di sejumlah daerah di Indonesia.

Namun demikian, kehadiran populisme bukan tanpa ancaman nyata terhadap demokrasi. Di AS dan Eropa, demokrasi justru mengalami fase pasang surut setelah sejumlah elit politik bersekutu dengan populisme. Politisasi isu-isu identitas keagamaan dan imigrasi merupakan kenyataan pahit yang membawa demokrasi AS dan Eropa ke arah yang mencemaskan. Lantas, bagaimana berdiskursus tentang populisme untuk konteks demokrasi di Indonesia?

Komentar

Berita Terkait

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Berita ini 28 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA