Tag: Covid 19

  • Circles Indonesia sebagai Ruang Diskusi Virtual yang Mencerahkan  

    Circles Indonesia sebagai Ruang Diskusi Virtual yang Mencerahkan  

    Indodian.com – Pada tanggal 12 Agustus 2022 ini, Circles Indonesia merayakan ulang tahun ke-2. Selama dua tahun ini, Circles Indonesia hadir dalam ruang diskusi virtual untuk mencerahkan dan menambah wawasan berpikir masyarakat Indonesia. Lahirnya Circles Indonesia pada tahun 2020 silam berawal dari kegelisahan beberapa tokoh muda Indonesia yang tergerak hatinya untuk tetap memberikan edukasi kepada masyarakat di tengah wabah Covid 19 yang mencekik seluruh aspek kehidupan masyarakat.

    Dhimas Anugrah, sebagai penggagas Circles Indonesia menjelaskan bahwa Covid 19 memang menjadi sebuah penderitaan global. Akan tetapi, Dhimas bersama Merry, Melisa, Deddy, dan Hannah mengikuti gagasan filsuf pendidikan, Peter Robert yang mengatakan, “Penderitaan berat dan keputusasaan perlu dilihat bukan sebagai keadaan menyimpang yang harus selalu dihindari, tetapi bisa menjadi unsur penting bagi kehidupan manusia yang dihayati dengan baik. Bagian dari pengalaman pendidikan adalah menjadi sadar akan pengalaman penderitaan dan keputusasaan yang ada dalam hidup kita, dan terbuka untuk memeriksa pengalaman ini” (Happiness, Hope, and Dispair: Rethinking the Role of Educations. 2016:23).

    Hal inilah yang menjadi dasar pokok lahirnya Circles Indonesia. Kata Circles sendiri kependekan tak baku dari Christian Institute of Politics, Philosophy, and Society. Penambahan kata “Indonesia” adalah saran dari RD. Dr. Simon Petrus L. Tjahjadi, mengingat kelompok kajian ini didirikan dan digiatkan oleh anak-anak kandung Ibu Pertiwi, dan ditujukan sepenuhnya bagi kepentingan masyarakat Nusantara.

    Circles Indonesia melalui platform digital memberikan edukasi kepada masyarakat untuk tetap memelihara kewarasan dan pola pikir yang kritis terhadap perkembangan teknologi yang berjalan begitu cepat. Selain membawa banyak manfaat bagi kehidupan, perkembangan teknologi secara tak langsung mengubah kesadaran orang-orang untuk menjadi budak konsumerisme.

    Saat ini, di tengah wabah kebanjiran informasi, masyarakat lebih menyukai kecepatan daripada ketepatan informasi. Kini berkembang apa yang dikatakan Gleick (1999:6) sebagai perenungan instan, yaitu bagaimana peristiwa-peristiwa direnungkan, dianalisis, dinilai dan diberikan keputusan secara instan. Ekstasi kecepatan di satu pihak meningkatkan durasi kesenangan, tetapi di pihak lain mempersempit durasi spiritual.

    Saat ini lahir pola pikir masyarakat yang mengukur status sosial dan pertemanan dari kepemilikan materi. Fenomena tersebut menggambarkan lenyapnya dimensi moral sebagai akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer. Ekstasi itu mengarah pada keterpesonaan, kekayaan dan libido ekonomi yang dipupuk di tengah-tengah rimba kehidupan yang dikitari dengan benda-benda, tanda-tanda dan makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna spiritual dan kemanusiaan; di tengah-tengah dibangunkan kerajaan kegerlapan hidup dan kekayaan ketimbang kedalaman, substansi dan transendensi.

    Ekstasi melalui hasrat kebendaan, kesenangan, kesementaraan hanya menyisahkan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan, peningkatan kesalehan dan pencerahan spiritual. Seseorang yang terjebak dalam ekstasi ini menurut Jean Baudrilard (1990:187) akan tenggelam dalam siklus hasratnya dan pada titik ekstrim menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai moral.

    Ekstasi ini menjadi karpet merah dalam memasuki sebuah ruang gaya hidup konsumerisme. Yasraf Amir Piliang (2011:91) mempertegas kesadaran ini bahwa kebudayaan konsumerisme dikendalikan sepenuhya oleh hukum komoditi yang menjadikan konsumer sebagai raja; yang menghormati setinggi-tingginya nilai-nilai individu; yang memenuhi selengkap dan sebaik mungkin kebutuhan-kebutuhan, keinginan, hasrat, telah memberi peluang bagi setiap orang untuk asyik dengan dirinya sendiri.

    Di dalam perubahan gaya hidup tersebut, konsumsi tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebutuhan dasar manusiawi, akan tetapi menjadi tanda kelas sosial, status atau simbol sosial tertentu. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang dalam masyarakat. Dalam konsumsi yang dilandasi dengan citraan dan tanda itu, logika yang mendasarinya bukan logika kebutuhan melainkan logika pemuasaan hasrat.

    Dalam diri manusiawi hasrat ini tidak akan pernah mengalami kepuasan. Hasrat melahirkan kecenderungan untuk selalu merasa miskin di tengah kegelimangan kekayaan, merasa diri tidak trend jika tidak memiliki handphone atau mobil terbaru atau merasa harga diri membumbung tinggi ketika membeli barang-barang dengan harga miliaran rupiah.

    Benih-benih konsumerisme ini bertumbuh subur melalui perkembangan media. Media menjadi pintu masuk bagi netizen untuk menikmati sebuah rekayasa-rekayasa realitas yang melahirkan ekstasi. Konten-konten media menciptakan ekstasi kekayaan di tengah realitas masyarakat Indonesia yang tidak sedikit masih susah mencari sesuap nasi, tingginya angka putus sekolah karena tidak mampu membiayai pendidikan yang mahal,  atau memilih bunuh diri karena persaingan yang tidak sehat dan ketiadaan modal untuk membeli barang-barang konsumsi.

    Kondisi ini memberikan sebuah impresi bahwa kehadiran media berpengaruh besar dalam menciptakan pola pikir dan pola perilaku masyarakat. Melalui media, informasi, pandangan, gagasan dan wacana saling dipertukarkan dan kemajuan serta kemunduran masyarakat tercermin di dalamnya. Konten media yang saat ini mereproduksi gaya hidup yang glamour turut berpengaruh terhadap pola konsumsi yang tidak sehat dari masyarakat kelas bawah yang sebenarnya tidak mampu, tetapi berusaha kaya agar diterima dalam situasi sosial kemasyarakatan.

    Kesadaran ini menjadi peluang dan tantangan Circles Indonesia untuk tetap menjadi media dan ruang diskusi yang mencerahkan masyarakat digital. Circles Indonesia sebagai sebuah platform digital tetap menawarkan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan, kebermakaan hidup melalui empati sosial dan penciptaan atmosfer hidup melalui pola pikir yang kritis. Idealisme ini penting untuk mengembalikan masyarakat kontemporer pada kedalaman spiritual, kehalusan nurani dan ketajaman hati di tengah kemabukan ekstasi dan kedangkalan pegangan hidup.

    Selamat hari ulang tahun Circles Indonesia. Semoga tetap menjadi platform digital yang menyajikan diskursus berkualitas agar masyarakat menyaring data menjadi informasi, informasi menjadi pengetahuan dan pengetahuan menjadi sebuah kebijaksanaan  hidup.

  • Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa

    Membangun Taman Baca, Membangun Harapan Bangsa

    Indodian.com – Membangun manusia tentu berbeda dengan membangun infrastruktur. Pembangunan infrastruktur yang masif dilakukan, hasilnya bisa secara langsung dirasakan. Namun bicara tentang membangun manusia, konsep semacam itu tentu tidak bisa disamakan. Membangun manusia memiliki konsep yang berbeda. Butuh proses yang tidak singkat, hingga hasilnya pun bisa dilihat dan dirasakan.

    Konsep di atas adalah gambaran tentang bagaimana anak muda di Nusa Tenggara Timur menjaga konsistensinya untuk mendampingi generasi setelah mereka agar terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan masanya. Upaya mereka tampak dari bagaimana mereka membangun Taman Baca di kampungnya secara mandiri untuk memberikan wadah bermain dan belajar bagi anak – anak. 

    Ada rasa dan asa, ada hati dan pemberian diri yang utuh untuk menciptakan dunia yang lebih baik bagi generasi setelah ini. Semangat ini melebihi semangat untuk bersaing dan berkompetisi satu sama lain. Sebaliknya, mereka saling memberi dukungan dan membangun kolaborasi. Lagi – lagi tujuannya hanya satu : untuk menciptakan tatanan dunia yang lebih baik.

    Baca Juga : Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel
    Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

    Gerakan ini tampaknya bisa menjadi alternatif pembelajaran yang humanis bagi anak – anak di kala pandemi Covid-19 yang masih juga belum pulih. Beberapa kalangan melihat pendemi sebagai sebuah kemunduran pendidikan bagi anak – anak di daerah terpencil. Cara belajar yang semula tatap muka harus beralih ke online. 

    Keterbatasan paket data dan koneksi internet yang kurang memadai membuat kualitas pembelajaran tidak lagi bisa diharapkan. Esensi pembelajaran anak yang fokus pada pembentukan karakter pun tidak lagi dirasakan ketika interaksi dilakukan secara virtual.

    Itulah mengapa, kehadiran Taman Baca yang diinisiasi oleh penggerak – penggerak muda bisa menjadi sarana yang tetap dapat memfasilitasi kebutuhan anak-anak untuk dapat belajar dan bermain.

    Para penggerak ini melakukan itu semua sebagai relawan. Istilah relawan itu sendiri selalu dimaknai sebagai sebuah kerelaan untuk mengorbankan tenaga, waktu, dan pikiran mereka tanpa imbalan materi untuk tujuan yang mengarah pada kebaikan bersama.

    Tidak adanya kelekatan pada materi, tentunya membuat mereka melakukan segala sesuatunya dengan hati. Pun segala kegiatan yang dilakukan tertuju pada anak-anak. Mereka jeli untuk menggali potensi dan kebutuhan pada diri anak secara kreatif dan inovatif, seperti mengenalkan mereka pada lingkungan, kesenian, dan segala segala bentuk aktualisasi diri lainnya seperti bernyanyi, mendongeng, melukis, maupun menulis. Cara – cara ini begitu humanis karena sangat memperhatikan kondisi anak termasuk potensi dan kebutuhan yang mereka miliki.

    Ada sebuah cerita menarik dari seorang penggerak Komunitas Literasi di Kabupaten Flores Timur bernama Anjelina M. Triyani Tukan. Dia menceritakan salah satu anak dampingannya di komunitas tersebut yang terbilang aktif dan memiliki kemajuan yang pesat dalam membaca.

    Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati
    Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri

    Dalam sebuah kesempatan untuk meminta izin ke pihak sekolah di mana anak itu belajar, Anjelina dan teman – teman relawan lainnya terkejut mendengarkan guru dari si anak berkata bahwa anak tersebut belum bisa membaca dengan baik, sehingga sang guru ingin menguji anak ini untuk membaca terlebih dahulu sebelum mendapat izin mengikuti kegiatan komunitas bersama Anjelina dan teman – teman.

    Tanpa ragu, Anjelina pun memotivasi anak itu untuk tampil membaca di depan guru. Melihat betapa lancarnya anak ini membaca, sang guru hampir tidak percaya. Namun Anjelina berusaha meyakinkan guru tersebut dengan menunjukkan catatan perkembangan diri si anak selama berkegiatan di komunitas literasi. Komunitas yang awalnya dipandang sebelah mata ini pun akhirnya mulai mendapat tempat di hati banyak orang yang ada di sekitar Komunitas Literasi itu.

    Ini hanya satu cerita tentang bagaimana masyarakat menginginkan bukti terlebih dahulu sebelum mereka percaya pada inisiatif atau gerakan – gerakan akar rumput yang lebih memberi ruang kreatifitas bagi anak – anak.

    Ada juga cerita lain dari seorang penggerak Komunitas Literasi di Manggarai Barat bernama Maria Yohana Juita. Semangatnya untuk ikut mendukung pendidikan anak-anak lewat komunitas literasi yang dirintisnya bahkan tidak serta merta mendapat dukungan dari masyarakat atau bahkan orang tua murid. Mereka bahkan menganggap bahwa setiap kegiatan di Taman Baca hanya berorientasi untuk senang – senang, sehingga mereka tidak mendukung anak – anaknya untuk hadir.

    Baca Juga : Pelangi di Mataku
    Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere

    Tanpa mental yang tangguh dan niat yang tulus, segala daya upaya orang muda ini mungkin akan berhenti begitu saja. Beberapa penggerak Taman Baca dalam sebuah kesempatan untuk berbagi bersama mengatakan bahwa mereka seperti sedang berjuang sendirian dan hampir putus asa. Namun melihat kembali esensi dan tujuan awal ketika memulai gerakan ini, semangat itu kembali hadir. Apalagi ketika saling berbagi cerita dan pengharapan bersama.

    Pada akhirnya, kebutuhan untuk menciptakan pendidikan bagi anak yang lebih humanis menjadi sangat krusial. Perlu adanya pemahaman dari seluruh pihak, baik orang tua, guru, maupun masyarakat untuk mendukung terciptanya ruang ekspresi diri bagi anak – anak. Caranya sederhana saja, kita hanya perlu lebih membuka diri untuk mendengar dan mengamati apa yang menjadi kesukaan mereka dan memberi ruang bagi mereka untuk terus mengeksplor diri. Dengan begitu cinta akan bersemi kemanapun anak – anak kita pergi dan terwujudlah harapan akan dunia yang lebih baik.