Indodian.com—Ini adalah kisah kegigihan Mama Yuliana Mijul (54) menggali pasir di Kali Wae Lampang dan menenun kain bermotif Panca Titi demi menyambung hidup keluarga di Kampung Rana Kulan, Desa Rana Kulan, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Panca Titi merupakan motif kain tenun Congkar. Warna dasarnya hitam yang dipercantik dengan warna-warna lain seperti putih, kuning, biru, dan hijau secara vertikal.
Mijul mengisahkan, sejak kelas V SD di SDI Lengko Ajang, ia sudah melihat neneknya menenun kain Congkar. Ketika itu, Nenek Theresia Nii mulai mengajaknya untuk duduk di samping untuk melihat cara menenun. Saat itu neneknya mulai melatih dirinya untuk menenun.
“Nenek saya yang latih dan mengajak saya untuk menenun, walaupun saya masih kecil. Masih belum mengerti apa-apa. Masih usia anak-anak.”
“Nenek saya bilang, ini warisan budaya orang Congkar yang harus dilanjutkan oleh anak-anak perempuan di kampung,” kisahnya kepada media ini belum lama ini.
Baca Juga : Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran
Baca Juga : Kota dan Rindu yang Setia
Setelah tamat dari SDI Lengko Ajang, ia mengikuti Mama Monika Inus di Kampung Rana Kulan. Di kampung itu ia meneruskan talentanya menenun demi menyambung hidup.
Kemudian ia menikah dengan Konradus Tanjak, seorang tukang bangunan di kampung tersebut. Mijul menuturkan, saat hidup berkeluarga, aktivitas menenun terus dilakukannya demi pemasukan ekonomi keluarga.
“Kami tidak memiliki tanah untuk berkebun. Tidak mempunyai sawah untuk diolah. Kami hanya memiliki rumah untuk kami tinggal.”
“Karena itu, di samping menenun, saya menggali Pasir Kali di Wae Lampang untuk dijual, sedangkan suami saya bekerja sebagai tukang bangunan di kampung. Itupun kalau ada rumah orang yang dibangun. Pagi hari saya menggali Pasir Kali. Sore harinya menenun di halaman depan rumah,” kisahnya.
Baca Juga : Menjadi “Gentleman”?: Silang Pendapat Locke dan Rousseau tentang Pendidikan
Baca Juga : Cerita Pensiunan Guru di Pelosok NTT yang Setia Mendengarkan Siaran Radio
Mijul menjelaskan, saat masih usia muda dan awal hidup berkeluarga, ia bisa menghasilkan dua lembar kain Congkar dalam satu bulan.
Saat itu kain tenun dijual dari harga Rp 300.000-400.000, beli bahannya Rp 200.000; yang beli kain itu orang-orang dari kampung Rana Kulan. Dan juga warga tetangga kampung. Sedangkan harga satu kubik Pasir Kali dijual seharga Rp 200.000;
“Setelah hidup berkeluarga, menenun sebagai pekerjaan sampingan atau tambahan sedangkan pekerjaan utamanya menggali Pasir Kali di Wae Lampang. Untuk hidup di kampung sangat cukup dengan penghasilan itu untuk kebutuhan hidup berkeluarga,” jelasnya.
Mijul menjelaskan, apabila suaminya tidak ada kerja bangunan di kampung maka mereka berdua menggali pasir kali. Hasil penjualan pasir kali dan kain tenun untuk membiayai uang sekolah anak mereka yang sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Ada dua anak yang sedang belajar di bangku SMA, sedangkan dua anak lagi sedang belajar di Sekolah Dasar.
“Kami tetap bekerja keras demi masa depan anak-anak. Mereka harus sekolah. Kami harus terus membiayai pendidikan anak-anak serta untuk keperluan dalam hidup keluarga,” ungkapannya.
Baca Juga : Urgensi Penelitian Sosial terhadap Pembentukan Kebijakan Publik
Baca Juga : Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai
Mijul menuturkan, satu anak perempuannya bisa menenun. Anak itu belajar menenun saat waktu libur. Artinya talenta diwariskan kepada seorang anaknya untuk melanjutkan karyanya menenun.
“Saya latih anak perempuan untuk menenun saat waktu libur dari sekolah. Saat ini anak perempuan itu sudah bisa menenun dan menghasilkan uang dengan menjual kain tenun tersebut,” jelasnya.
Selain menenun dan menggali Pasir Kali, Mijul juga bisa membuat anyaman Mbere (tas lokal) berbahan dasar bambo halus atau Tali dari hutan. Mbere itu dijual seharga Rp 100.000; tergantung ukurannya. Apabila ukuran Mberenya besar maka harganya juga berbeda.
“Saya latih anak perempuan di tetangga rumah. Ada yang bisa menenun. Namun, zaman sekarang anak-anak gadis di kampung itu tidak mau lagi menenun,” jelasnya.
Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang
Baca Juga : Urgensi Pendidikan Pancasila di Era Milenial
Menenun Saat Pandemi Covid-19
Banyak keluarga di kampung itu memesan kain tenun khas Congkar. Bahkan di tengah pandemi Covid19 ini, dirinya tetap beraktivitas menenun.
Mijul juga mengisahkan bahwa saat Pandemi Covid-19 ini, mereka menerima bantuan sosial dari pemerintah. “Kami sekeluarga terdaftar sebagai penerima Program Keluarga Harapan (PKH) dari Kementerian Sosial Republik Indonesia. Setiap bulan kami menerima dana PKH sebesar Rp 400.000.”
“Saat ini usia saya sudah 54 tahun. Tenaga tak mampu lagi untuk menenun dua lembar kain dalam sebulan. Paling sebulan menghasilkan satu kain. Itupun kalau ada keluarga yang pesan. Jikalau tidak ada yang pesan maka saya menggali Pasir Kali demi pendapatan ekonomi keluarga,” jelasnya.