Indodian.com – Kaum difabel memiliki keterbatasan dalam beberapa aspek. Ada yang tidak mampu melihat, berjalan dengan bantuan telapak tangan, sulit mendengarkan suara orang lain dan keterbatasan lainnya. Tetapi, dalam diri mereka terdapat kelebihan khusus yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.
Beberapa waktu yang lalu, tepatnya pada pertengahan tahun 2020, anggota Kelompok Kasih Insani (KKI) melakukan kunjungan ke rumah kaum difabel. Anggota KKI menempun perjalanan selama kurang lebih 500 km ke kampung Rego, Desa Rego, Kecamatan Macang Pacar. Di kampung ini ada seorang difabel yang mengalami kondisi yang cukup memprihatinkan.
Anggota KKI memberikan pengobatan dan sharing pengalaman kepada keluarga agar tabah dan setia merawat penderita disabilitas mental.
Baca Juga : Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?
Baca Juga : Menulis Menghidupkan yang Mati
Setelah itu, anggota KKI mengunjungi kediaman Om Daniel Anduk di kampung Pelus – Ketang, Kecamatan Lelak, Manggarai. Om Daniel, demikian warga kampung menyapanya adalah seorang difabel mata. Dia tidak mampu melihat sejak lahir. Dia memiliki kelebihan dalam bernyanyi. Dia menjadi penyanyi legendaris Manggarai dengan lagu-lagu yang penuh makna dan menyayat hati.
Walaupun tidak mampu melihat, Om Daniel bisa bermain gitar. Dia mampu menyetel tali gitar dengan mengandalkan pendengaran. Gitarnya sederhana dan menjadi kebanggaan baginya ketika hendak menciptakan lagu atau bernyanyi.
Lagu-lagu ciptaan Om Daniel bercerita tentang kehidupan yang sedih, percintaan/perjodohan, perjuangan, budaya, dan lain-lain. Syair lagu terinspirasi dari kehidupan pribadinya. Dia berkisah bahwa dia seorang diri karena orang tua dan saudara-saudarinya telah meninggal dunia.
Biasanya Om Daniel merekam lagunya di hutan. Dia membawa gitar dengan tape recorder kecil. Setelah itu, bersama anaknya, Fian, dia menjual kasetnya di kota Ruteng. Dia berkisah bahwa awalnya dia suka bermain gitar ketika mendengarkan lagu saat acara keluarga di sekitar Welak.
Baca Juga : Sebelas Tahun dipasung, Leksi Akhirnya Lepas Pasung dan Bisa Jalan Sendiri
Baca Juga : Pelangi di Mataku
Kemudian, melalui ketajaman pendengarannya, ia dilatih oleh keluarga untuk bisa bermain gitar sambil bernyanyi. Alhasilnya, ia bisa menyanyi dengan iringan musik gitar. Ia menciptakan lagu dengan bermodalkan mata hatinya. Ia tidak menulis syair, tetapi langsung dinyanyikan dengan iringan gitar.
Seluruh kasetnya beredar di pelosok Manggarai Raya. Syair lagunya menginspirasi warga Manggarai agar bekerja keras untuk memperoleh kehidupan yang sejahtera.
Ia keliling dari kampung ke kampung di Manggarai Raya untuk menyanyi demi kebutuhan hidupnya. Kemudian, ia membeli gitar demi mengembangkan talentanya di bidang musik.
Ia bisa menciptakan syair lagu hanya lewat pendengaran yang tajam. Telinganya sangat jernih mendengarkan cerita yang ada di tengah masyarakat di sekitarnya. Om Daniel menciptakan lagu dan dia menyanyikan sendiri lagu ciptaannya.
Ia mengandalkan suara hati saat menciptakan syair-syair lagunya. Ia pernah masuk studio rekaman di Surabaya. Rahmat Tuhan nyata dalam dirinya. Ia melipatgandakan talenta seperti yang diwartakan dalam Kitab Suci. Kemampuannya itu membuat dia mampu mencukupi kebutuhan dirinya dan keluarganya.
Selain Om Daniel Anduk, ada juga kisah inspiratif dalam perjumpaan dengan seorang difabel mata, di rumah anggota Komunitas Cenggo Inung Kopi Online (CIKO) Kabupaten Manggarai Timur pada 12 Juni 2021 yang lalu di Kompleks Kembur, Kelurahan Peot, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT.
Baca Juga : Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Baca Juga : Pansos Boleh, Tapi Ada Batasnya
Namanya Yohanes Rongga (27), musisi difabel mata yang memiliki segudang prestasi. Prestasi yang didapatkan oleh pria difabel mata ini pada waktu SD kelas 4 mengikut lomba menyanyi tunggal yang digelar oleh Keuskupan Ruteng. Ia meraih juara 1 untuk kategori putra anak-anak. Lalu saat di bangku SMP, dirinya mengikuti lomba gitar instrumen di tingkat Provinsi NTT yang digelar di Kota Kupang.
“Saat lomba di Kupang, saya mendapat juara 1. Setelah itu diutus untuk mengikuti lomba tingkat nasional di Jogja. Dan masuk sepuluh besar. Saat itu saya bersaing dengan anak-anak dari seluruh Indonesia yang terlatih. Saya bersyukur masuk dalam sepuluh besar,” ceritanya.
Lulusan STIPAS Santo Sirilus Ruteng ini baru 5 bulan mengajar di Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Borong.
Jari jemarinya menyentuh tuts alat musik keyboard dengan kemampuan yang sangat menggugah hati nurani yang melihat secara langsung. Hal ini berkat latihan yang secara terus menerus selama mengenyam pendidikan di SLB Karya Murni Ruteng hingga di perguruan tinggi di Kota Ruteng.
Awal perjumpaan tak terduga dengan saya berawal dari ada kunjungan dari seorang difabel, Siprianus Dua Dawa, asal Kampung Wodong, Desa Goreng Meni Utara, Kecamatan Lamba Leda yang berkunjung di Komunitas CIKO. Siprianus Dua Dawa adalah difabel yang berjalan dengan lutut dan ditopang oleh kedua kakinya. Ia menciptakan lagu ” Wada”.
Saat kami duduk di ruang tamu bagian belakang, Pak Jho, sapaan singkat Yohanes Rongga kemudian tiba. Ia datang dari asrama SLBN Borong diantar temannya. Selanjutnya kami menyanyi bersama-sama di Studio Le Deu Kembur-Borong.
Baca Juga : Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi
Baca Juga : Sepucuk Surat untuk Pengantin Perempuan
Pak Jho bisa naik tangga yang dibantu seorang guru. Dia bisa berjalan hanya dengan mendengar langkah kaki temannya. Ia bisa mengikuti walaupun tangannya dituntun di anak tangga rumah tersebut.
“Jangan menyerah. Dalam kekurangan selalu ada kelebihan dan sebaliknya dalam kelebihan selalu ada kekurangan. Tuhan melahirkan kita dengan keunikan-keunikan masing-masing”, pesan Pak Jho ketika hendak menyanyikan sebuah lagu.
Jho berkisah bahwa ada orang normal menganggap kaum difabel tidak bahagia. Tapi, bagi kami sangat merasa bahagia. Kami bisa main bola kaki, bisa olahraga senam. Kami bisa menyanyi, main musik dan lain sebagainya.
Kini Jho membutuhkan keyboard untuk mengembangkan talentanya untuk mengelola kursus musik bagi sesama kaum difabel maupun orang normal.
Musisi Group Lalong Liba, Leonardus Santosa menjelaskan, orang-orang seperti Pak Jho, Daniel Anduk dan Siprianus Dua Dawa memiliki ketajaman mata hati. Mata hati yang menuntun mereka. Kepekaan mata hati dan feeling lewat pendengaran mereka sangat tajam dibanding dengan kita yang orang normal.
Leonardus menjelaskan, musisi pertama Manggarai Raya adalah Makarius Arus, Kedua Daniel Anduk, ketiga Bapak Felix Edon dan keempat, group Lalong Liba.
Tuhan mengingatkan kita yang lahir normal untuk menghargai, menghormati martabat mereka. Lewat syair lagu, Tuhan mengingatkan kita untuk dapat mengembangkan talenta demi keutuhan hidup. Jadi, umat manusia yang memiliki keterbatasan khusus memiliki hak-hak asasi dan martabat yang sama di bumi ini. Tugas kita untuk saling mendampingi, melayani semampu kita. Terima kasih Daniel Anduk, Siprianus Dua Dawa dan Yohanes Rongga