Kalau Anda bisa bangun pagi, Anda masih hidup dan sudah siap bertarung di dua dunia sekaligus: dunia nyata dan dunia digital. Pada 29 Oktober 2009 lalu Paus Benediktus XVI menyebut dunia digital sebagai benua baru yang ramai-ramai ditempati oleh masyarakat dunia. Begitu mata Anda terbuka setelah dibangunkan oleh alarm dari telepon cerdas, notifikasi Facebook memberitahu Anda agar segera membuka pesan masuk.
Sebelum mengecek pesan masuk, Anda disuguhkan beberapa cangkir kopi digital oleh Facebook lewat unggahan teman Facebook Anda tentang aktivitas minum kopi pagi mereka bersama dengan beberapa potong kue di sampingnya. Anda dapat menikmati kopi digital itu dengan mengklik emoji βsukaβ atau βsuperβ; Anda tidak bisa βtidak sukaβ atau βtidak superβ, karena Facebook tidak suka pengguna yang tidak suka dan tidak memuji orang lain dan aktivitasnya di Facebook. Kita sudah memasuki benua digital, di mana emoji (like, super, sedih, dll) dan emotikon adalah omnipresente, sedangkan kehadiran tubuh korporeal adalah absentismo.
Ketika Anda menekan emoji suka atau super, Anda menyumbang energi, yang darinya, pemilik akun Facebook mendapatkan perhatian/pengakuan sosial-digital, dan dengan demikian, ia akan lebih bersemangat lagi dalam bergiat di Facebook. Ketika jari Anda mengusap sedikit layar telepon cerdas Anda, Anda disodorkan begitu banyak tautan yang berisi berita, iklan, reklame, undangan, motivasi, quotes, hiburan, dan pornografi.
Di Facebook, ada begitu banyak tautan bermuatan pornografi, foto, gambar, dan video porno, bahkan ada yang menyiarkan siaran langsung yang bermuatan porno. Perusahaan Facebook tidak lagi menyaring konten-konten yang bermuatan pornografi sebab itu menjadi modal yang banyak untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Akan tetapi tulisan-tulisan dan konten-konten yang berisi kritik terhadap rezim politik dan kuasa-kendali ekonomi pasar bebas dilaporkan sebagai spam. Byung-Chul Han dalam bukunya No-Cosas. Quiberas del Mundo Hoy (2022) berkomentar: βkita percaya bahwa kita bebas, tetapi kita adalah organ seksual dari modalβ, dan kita diubah menjadi alat dominasi rezim.
Apabila diamati dengan jeli, politik modern tidak lebih dari pelayan ekonomi pasar bebas, dalam hal ini, neoliberalisme. Negara dapat eksis, bertahan hidup, dan mampu berperang negara lain, kalau ia memberikan kaum neolib membangun ruang poduksi, memperluas wilayah dan relasi produksi, dan menciptakan senjata nuklir sebanyak-banyaknya.
Warga negara bisa sehat walafiat, terhindar dari pandemi, kekurang gizi, virus yang mematikan dan lain-lain, kalau negara mengizinkan kaum neolib membangun perusahaan obat, rumah sakit, dan menciptakan virus untuk mematikan virus lainnya. Neoliberalisme menghendaki agar negara cukup mejadi pelayan administratif politis guna melancarkan agenda dan proyeknya. Neoliberalisme yang menjujung tinggi privatisasi (kepemilikan pribadi), individualisme, pasar bebas, perdagangan bebas, pengurangan pajak, deregulasi, dan negara minimalis menghendaki dunia yang telanjang. Industri pornografi neoliberal menghendaki agar negara-negara harus membuka semua wilayah, dan ruang tersembunyi, termasuk tubuh manusia yang ditutup rapat dengan alasan budaya dan agama tertentu.
Semakin dunia telanjang, setiap individu semakin menemukan kebebasan dalam upaya mengejar target dan meningkatkan keuntungannya secara individual. Industri pornografi neoliberal tahu semua masyarakat selalu mengejar objek yang tersembunyi, yang bersifat misteri, tabu, dan yang menyimpan keindahan (atau keindahan itu sendiri).
Industri pornografi neoliberal mempermainkan afeksi dan hasrat seksual manusia dengan menampilkan gambar-gambar, foto-foto dan video-video telanjang di media sosial. Ketika afeksi dan hasrat seksual masyarakat diperangkap, dari sanalah keuntungan ekonomis meningkat, meskipun tidak sedikit menjadi korban, dan memang itulah tujuannya.
Pada era telanjang ini, kalau Tuhan dari para pemeluk agama bisa dilihat dengan mata telanjang manusia, kemisterian Tuhan tidak lagi menimbulkan kekaguman iman dan perasaan iman. Akan tetapi akhir-akhir ini dengan kekuatan kecerdasan buatan (artificial intelligence), para teknolog-sains neoliberal berusaha menunjukkan dan menjelaskan bagaimana Yesus dari Nazaret sesungguhnya (Baltasar Daza).
Apakah mereka berdosa karena mengungkapkan dan menjelaskan wajah dan ciri fisik Yesus? Bagi mereka, pertanyaan ini tidak rasional, tidak menguntungkan secara ekonomi, dan karena itu tidak penting untuk dipersoalkan. Yang terpenting bagi mereka adalah seberapa banyak pengunjung tautan yang menerbitkan informasi tersebut, sebab itu adalah sumber pemasukan mereka tanpa harus menjadi budak di perusahaan orang.
Industri pornografi neoliberal menciptakan budak seks digital dengan bantuan kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan masyarakat telanjang menyerahkan diri untuk diperbudak di dalamnya. Industri pornografi neoliberal paham bahwa manusia lebih tertarik dengan kecantikan digital dengan pakaian tipis yang hanya menutup bagian genital daripada keindahan spiritual. Akan tetapi sebelum Anda masuk ke dalam benua digital, Anda harus membeli dan mengenakan pakaian tipis nan seksi, mandi dengan sabun dari produk kecantikan, dandan dengan alat-alat kosmetik yang mahal, mengonsumsi vitamin rambut, kulit, dan lain-lain. Semuanya itu dihasilkan oleh pabrik-pabrik neoliberal.
Kalau Anda tidak bisa membeli semua perlengkapan kosmetik itu, bagi Anda sudah disediakan solusi yakni aplikasi-aplikasi filter di telepon cerdas Anda. Unggahan-unggahan tanpa melewati proses filterisasi seperti promosi buku baru, artikel, foto-foto orang miskin, gadis yang tanpa dandan dengan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya, tidak mendapatkan perhatian/pengakuan sosial-digital karena mereka tidak seksi, dan tidak sensual.
Byung-Chul Han dalam bukunya La Sociedad de la Tranparencia (2021) menyebut fenomena sosial di benua digital ini sebagai fenomena βmasyarakat pornoβ. βMasyarakat pornoβ, bagi Byung-Chul Han, βadalah masyarakat tontonan.β Masyarakat porno ingin mempertontonkan identitas diri, tubuh, dan segala miliknya. Mengapa masyarakat porno suka mempertontonkan kepemilikannya dan bukan kepemilikannya? Ini akan dijawab pada analasis selanjutnya.
Hukum algoritma digital neoliberal begini: kalau Anda seksi, maka Anda berpotensi mendapatkan perhatian pengguna media sosial lainnya. Anda sebagai konten harus mampu bertindak irasional, provokatif, seksual, dan sensual. Artinya Anda mesti menciptakan konten-konten yang mengganggu sensitivitas masyarakat dunia. Anda harus berubah menjadi konten viral; kalau Anda tampil telanjang di media sosial, Anda pasti viral. Akan tetapi Anda sebagai konten harus berkompetensi dengan konten-konten viral lainnya, agar perhatian/pengakuan sosial-digital Anda meningkat.
Ketika perhatian/pengakuan sosial-digital Anda meningkat, dan Anda menang (meskipun sesaat saja), yang ditandai dengan banyaknya penonton, penggemar, penyuka (emoji like), dan pemuji (emoji super), yang artinya Anda viral, Anda berhak mengklaim keuntungan dari aktivitas Anda di media sosial. Akan tetapi, pertanyaan pemilik perusahaan media sosial: berapa jumlah pengikut dan pengunjung Anda? Dan sebuah imperatif neoliberal: Anda harus mengunggah konten dalam tempo tertentu! Kalau Anda tidak unggah konten, poin dan pendapatan Anda diturunkan! Karena itu, penelanjangan demi penelanjangan dilakukan tanpa kendali lagi.
Untuk menanggapi paradoks ini, Byung-Chul Han dalam bukunya No-Cosas. Quiberas del Mundo Hoy (2022) mengatakan, βbukan kitalah yang memanfaatkan telepon cerdas, melainkan telepon cerdaslah yang memanfaatkan kita…. Telepon cerdas juga adalah sebuah pornΓ³fono. Kita menelanjangkan diri secara sukarela…. Ketika kita mengklik tombol βsukaβ, kita sedang menyerahkan diri kita menjadi alat dominasi.β Setelah Anda menang, apakah Anda dapat berpikir bahwa alih-alih menggunakan media sosial untuk mendapatkan pengakuan sosial-digital, Anda justru ditelanjangkan di sana? Apakah Anda sadar bahwa diperbudak oleh sistem?
Byung-Chul Han dalam bukunya La AgonΓa el Eros (2023,) menjelaskan bahwa βkapitalisme mengintensifkan perkembangan pornografi dalam masyarakat, yang memperlihatkannya sebagai barang dagangan dan memamerkannya. Ia tidak tahu tuju seksualitas. Ia menodai Eros dengan mengubahnya dalam pornoβ. Menurut Han, βpenodaan menjadi nyata karena desritualisasi dan desakralisasiβ seksualitas.
Pada kesempatan lain, Byung-Chul Han dalam bukunya berjudul PsicopolΓtica. Neoliberalismo y nuevas tΓ©cnicas de poder (2021) berpendapat, βkemanjuran psikopower meradikalkan kenyataan bahwa individu percaya dirinya bebas, padahal kenyataannya sistemlah yang mengeksploitasi kebebasannya. Psikopolitik menggunakan Big Data, yang, seperti Big Brother digital, menyita data yang diberikan individu secara efusif dan sukarela.β Manusia mengklaim dirinya bebas dari berbagai bentuk kejahatan kemanusiaan digital tetapi ternyata kebebasannya sedang dikontrol oleh kebebasan manusia sempurna lainnya yang memiliki modal lebih besar daripada dirinya. Inilah apa yang disebut oleh Shoshana Zuboff dengan The age of surveillance capitalism. Atau Naomi Klein menyebutnya dengan The shock doctrine: The rise of disaster capitalism.
Byung-Chul Han bilang bahwa di sinilah kita menemukan situasi paradoks: βKebebasan berlawanan dari kekerasan. Kebebasan, yang harus menjadi lawan dari kekerasan, menghasilkan kekerasan-kekerasan. Penyakit seperti depresi dan sindrom Burnout merupakan ungkapan krisis kebebasan yang mendalam. Semuanya itu adalah tanda patologis yang hari ini kebebasan berubah menjadi, dengan cara yang berbeda, dalam kekerasan.β
Masyarakat telanjang yang tidak βidiotβ ini (konsep Giles Deleuze) ini ditelanjangi dan diperbudak kapitalisme neoliberal. Globalisasi dan glokalisasi adalah idiom global yang mengandung opium, yang memabukkan masyarakat, yang membuat masyarakat telanjang tidak sadar bahwa mereka sedang dininabobokan dan ditelanjangi oleh opium ideologi kapitalisme neoliberal. Terhadap hal ini, Byung-Chul Han mengatakan bahwa βneoliberalisme adalah suatu sistem yang sangat efisien, juga cerdas, untuk mengeksploitasi kebebasan.β
Bagi Byung-Chul Han, βkapitalisme industrial bermutasi dalam neoliberalisme atau kapitalisme finansial dengan cara produksi posindustrialis, inmaterial, alih-alih berubah menjadi komunisme. Neoliberalisme sebagai bentuk mutasi kapitalisme, mengubah pekerja menjadi pengusaha. Neoliberalisme, dan bukan lagi revolusi komunis, mengeliminasi kelas pekerja ditundukkan menjadi sasaran eksploitasi orang lain. Sekarang ini seorang pekerja yang mengeksploitasi dirinya sendiri di perusahaannya sendiri. Masing-masing adalah tuan dan budak dalam satu orang.β
Kreator konten tidak hanya mengeksploitasi para penggemarnya, tetapi juga mengeksploitasi dirinya dengan membuka seluruh dirinya dan memamerkannya di media sosial. Masyarakat telanjang sedang berada dalam kondisi unstoppableβtak terkendali lagi, sebab kalau ia tidak telanjang, ia akan kehilangan perhatian sosial-digital. Kalau ia tidak mendapatkan perhatian/pengakuan sosial-digital, ia kehilangan makan-minum dan modal untuk memenuhi kebutuhan lainnya.
Kapitalisme neoliberal menuntut manusia selalu bekerja dan sibuk selama 24 jam dan memamerkan yang tersembunyi, sekalipun yang tersembunyi adalah yang rahasia, misteri, kekayaan pribadi, keindahan, mahkota, dll. Kalau manusia tidak bekerja dan tidak menelanjangkan diri, ia akan kekurangan beberapa komoditas/jasa yang penting bagi kelangsungan hidupnya. Kalau manusia mengalami kekurangan komoditas/jasa itu, ia akan miskin atau pinjam dari orang yang memiliki lebih atau melakukan kejahatan atau korupsi, dan seterusnya. Ia tidak akan memiliki prestasi, dengan demikian ia kehilangan reputasi, harga diri dengan perhatian sosial-digital. Masyarakat telanjang adalah masyarakat serba-buru-buru.
Penulis : Melkisedek Deni (Tinggal di Madrid, Spanyol)