Erikh menulis dengan lepas semua keping kenangan yang bertumpuk di kepalanya, sebab ia tahu surat itu hanya akan berakhir di tempat sampah bersamaan dengan abu dan puntung-puntung rokok—seperti surat-surat sebelumnya.
Lagi pula sudah bukan zamannya lagi menulis surat. Tapi ia tetap memilih menulis pada lembaran-lembaran kertas ketimbang meracau di dinding Facebook atau grup-grup Whatsapp.
Kenangannya dengan Maria adalah serahasianya rahasia, waktu-waktu berkualitas yang terlalu berharga untuk dibiarkan berserakan di dinding facebook. Jika ia menulis buruk, lembaran itu hanya berakhir di tempat sampah, dan jika menulis baik, akan diarsipkan dalam folder-folder rapi di dalam sebuah map.
Ia menamai map itu, Maria dan hal-hal indah tentangnya. Nama yang aneh, lebay, dan kekanak-kanakkan. Persetan, siapa peduli.
Baca Juga : Politik Hijau, Partai Politik, & Masyarakat Adat
Baca Juga : Tata Kelola Pandemi: Zombinasi dan Politik Ketakutan
Di luar hujan belum menunjukkan tanda-tanda untuk berhenti. Serly telah menurunkan volume musiknya. Rokok di selah-selah jari Erikh tinggal setengah. Hari mulai gelap dan lonceng gereja berdentang. Jam enam sore.
“Hampir tiga tahun engkau pergi. Saya tidak tahu engkau sekarang berada di mana: tubuh dan hatimu. Hanya ada satu yang saya tahu. Di setiap langkahmu menjauh, ada memori yang selalu saya peluk utuh: engkau dan setiap inci tentangmu.”
Ia ingat, suatu hari mereka bertengkar hebat. Saat itu keduanya hanyalah sepasang mahasiswa semester enam yang belum punya cukup kesabaran untuk menahan amarah. Dengan mata menyala-nyala, ia mengusir Maria.
Wanita itu menangis. Itu air mata dan kesedihan paling tulus yang pernah ia tumpahkan. Di selah-selah tangisnya, perempuan itu berniat pergi dengan janji untuk tidak kembali lagi.
Beribu doa dan permohonan maaf Erikh layangkan. Tapi semuanya sia-sia. Hingga akhirnya ia kehilangan kontak dengan Maria. Usaha mencari semuanya pun sia-sia.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya