Pagi itu, aku beranikan diri tetap masuk kerja. Mana tahu luluh hati si mandor bila kuceritakan kisah pagi tadi. Dan…
“Hei, kau sudah terlambat 25 menit. Tidakkah kau tahu sudah terlambat?”
Dalam kebisingan suara mesin pemahat batu karang, suara mandor itu tetap saja menggelegar. Seolah ingin menantang suara mesin itu. Rekan-rekan buruh serempak memfokuskan lensa pupil padaku, sesekali pada mandor.
Bukan hanya kali ini aku dibentak di hadapan orang banyak. Di awal-awal jadi buruh pun pernah, gegara menelpon saat jam kerja. Kuakui memang aku tidak disiplin kala itu.
“Bapa, tadi…” dan… ia menyambar seperti petir.
“Eitssss, tidak butuh alasanmu. Pulang saja. Besok baru kau masuk kembali.” Sejenak ia menggerayangi saku celananya.
“Ini upahmu.”
Betapa tidak berdaya aku yang terpelajar ini di hadapan mandor. Hanya seorang mandor buruh kasar! Bahkan menantang ia dengan pandangan mata pun aku tak berani.
Ingin kutantang. Tidak…tidak, ia jauh lebih tua dariku. Tak pantas aku menantangnya. Aku memilih menunduk saja di hadapannya. Bila kelak atasanku berlaku seperti mandor ini, sekurang-kurangnya mentalku sudah membaja.
Dan aku tidak langsung pulang. Sejenak kulepaskan lelah di bawah teduhan pepohonan. Juga melepaskan napas yang tersesak di dada. Tersesak oleh pukulan kata-kata mandor. Menusuk pedalaman sanubari.
Di bawah pepohonan ini kami, aku dan rekan buruh, biasa makan siang dan beristrahat. Siang itu seolah aku yang menjadi mandor. Betapa tidak, aku hanya mengamati rekan buruhku mengayunkan sekop, menggaruk tanah di bawah sengatan matahari siang.
Kupandangi juga mandor itu mondar-mandir dengan mulut berkomat-kamit memerintah, diikuti kedua tangan menunjuk sana sini. Ah, serasa aku jadi mandor di atas mandor. Selama mandor terus mengawasi, selama itu pula mereka menunduk, menggaruk tanah.
Dan itu juga yang kualami selama ini. Aku yang tidak sampai hati hanya menonton mereka menderita, akhirnya merangkak menuju parkiran motor. Pulang tanpa pamit.
Baca Juga : Tata Kelola Pandemi: Zombinasi dan Politik Ketakutan
Baca Juga : Profesionalisme Guru di Tengah Pandemi
Seperti telah kukatakan, selepas upah kedua, pasti kusambangi Gramedia. Aku langsung melesat ke lantai tiga. Sepi. Sepintas tampak seorang bapak dan anaknya di pojok toko.
Aku tidak sempat menyapa mereka. Tidak sabar memborong sisa tetralogi Pulau Buru itu. Ah, sial. Jejak Langkah tidak tersedia.
Hanya Rumah Kaca yang berjejer apik di sudut rak. Haruskah aku langsung melahap isi Rumah Kaca? Ah, mau tidak mau, harus kulakukan. Jejak Langkah akan kucari di toko lain.
Betapa aku terkejut mendengar perkataan kasir yang semanak nian itu. “Kaka, seorang bapak tua telah membayar belanjaan Kaka.”