Indodian.com – Pagi itu aku kembali melintasi bumi Fatukoa. kampung terluar, di utara Kupang, NTT. Bumi Fatukoa luput dari keramaian Kota Karang, nama lain untuk Kupang. Aku berangkat tepat saat fajar menyingsing.
Hampir saban hari aku melintasi kampung itu. Memang di situlah jalur menuju tempat kerjaku. Pemandangan sepanjang jalan tampak tidak berubah. Jalan bebatuan dan tanah putih berdebu yang tak kunjung diaspal. Juga sabana dan fauna yang membentang sepanjang jalan. Juga panasnya matahari yang menyengat.
Sepanjang jalan, tampak para petani sayur sibuk menyiram benih sayuran yang ditanam di ladang di pinggir jalan. Petani yang lain sibuk menghanguskan sabana dan juga fauna di dalamnya. Itu dilakukan bukan untuk tujuan lain selain untuk membuka lahan baru.
Sehabis dilalap api, tampak jelas bebatuan karang, yang menghitam seperti arang, menghampar sejauh mata memandang. Juga kepulan asap hitam menjulang ke langit Fatukoa. Seolah menangkal sinar surya yang hendak menyinari Bumi Fatukoa.
Memang, musim kemarau seperti sekarang ini warga Fatukoa mengimpikan nasib pada sayur-sayuran. Menjual sayur-sayuran. Pemandangan-pemandangan itu saban hari kusaksikan setiap kali melintasi Bumi Fatukoa.
Dari jauh aku mendapati satu pemandangan tak biasa. Tampak seorang bapak tua mendorong motor bututnya. Di atas motornya diikatkan rak sayur.
Tidak ada orang yang melintas di depannya. Kecuali seseorang bersedan yang sempat menurunkan kaca pintu sedannya. Dan tampak olehku tangan, yang bahkan tampak mulus dari jauh, dilingkari perhiasan berkilau.
Tepat seperti kuduga, kilauan itu merefleksikan sinar matahari yang jatuh padanya. Tangan itu menyalami bapak tua itu. Dari spion sedannya aku melihat wajah orang itu. Tak jelas, samar-samar dari jauh.
Dari dalam sedannya, ia sempat berceracau dengan bapak tua itu. Lalu melaju kembali dan menghilang di persimpangan jalan. Bapak tua itu juga meneruskan mendorong motor bututnya. Betapa angkuh orang itu! Tidakkah iba hatinya melihat bapak tua itu?
Matahari merangkak, tepat di atas kepala. Tepat di bawahnya, bapak tua itu tersengal-sengal. Aku menambah kelajuan revoku. Dari dekat, sekitar empat meter, tampak keringat bapak tua itu bercucuran, membasuh debu jalanan di bawah kakinya.
Sementara itu sayur-sayuran bergelantungan pada rak sayur. Rupanya belum ada yang laku. Tepat di depannya aku menepikan motorku. Kuperhatikan kedua roda motor bapak tua itu. Tampak tidak ada yang bermasalah.
“Selamat siang, bapak. Motornya kehabisan bensin?”
Lama ia menyahut. Sesaat ia menyeka keringat pada wajah dan lehernya. Lalu dengan nafas tersengal ia berkata, “Aduhh, Nak, ini… tadi motor bapa… kehabisan bensin.”
Astaga. Kuperhatikan, tampak ia telah kehilangan kedua gigi depannya. Badanya kurus kering. Tatapan matanya mengundang belaskasihan. Dan rupanya, ia tahu niatku hendak bertanya soal orang di dalam sedan itu.
“Bapak yang barusan lewat itu, Nak, katanya buru-buru, ada pertemuan di kantor.”
Aku sengaja tidak memberikan komentar apa pun soal orang bersedan itu. Biarlah dengan kebijaksanaan hati seorang bapak tua, menilai. Dan ternyata ia sendiri enggan menilai.
“Bapa, biar betabelikan bensin eceran untuk bapak. Tadi beta lihat di kampung sebelah ada yang menjual bensin eceran.”
“Bapak merepotkan kamu, Nak. Jangan sampai, Nak buru-buru?”
Memang aku sudah dalam keadaan terlambat kala itu. Pekerjaan harus dimulai Pkl. 09.00 Wita, sementara saat itu arloji bekas di tanganku menunjukkan Pkl. 09.05 Wita.
Aku tahu risikonya bila terlambat. Diusir oleh mandor, tidak diizinkan bekerja. Tidak ada toleransi waktu bagi si mandor. Dua orang rekan kerjaku pernah diusirnya karena terlambat.
Hari ini aku pasti tidak diupah. Ah, setidaknya aku tidak seperti orang bersedan itu. Aku yakin akan mendapat upah bukan uang dari Yang Kuasa.
“Sonde apa, beta tulus membantu.” Dengan tergopoh, ia mengeluarkan pecahan dua ribu sebanyak lima lembar dari saku celananya.
“Ini, Nak.”
“Baik, kalau begitu Bapak tunggu di sini. Beta tidak lama.”
Aku bisa membaca kegelisahan pada wajahnya. Terlebih pada kedipan bola matanya. Barangkali ia khawatir, dagangannya tidak laris hari ini.
Mendorong motor bututnya telah menyita banyak waktu. Atau barangkali ia memikirkan anak dan istrinya di rumah. Mungkin saja anaknya mahasiswa seperti aku di Jawa sana, telah meminta biaya perkuliahan juga kos.
Apalagi, sekarang ini memasuki tahun ajaran baru. Atau mungkin anak dan istrinya belum makan seharian, menunggu hasil jualan bapak tua ini. Ah, pikiranku. Aku jadi teringat akan bapa-mama di kampung nan jauh di Flores sana.
Maka dengan segera aku menyalakan mesin revo bututku, melaju semampunya dan secepatnya.
Baca Juga : Kisah Seorang Istri yang Merawat Suami Gangguan Jiwa dan Dipasung Selama 12 Tahun
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya