๐๐ผ๐ฟ๐ฒ๐ธ๐๐ถ ๐๐ฒ๐บ๐ผ๐ธ๐ฟ๐ฎ๐๐ถ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐ฆ๐๐ฎ๐ฏ๐ถ๐น๐ถ๐๐ฎ๐ ๐ฃ๐ผ๐น๐ถ๐๐ถ๐ธ ๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ
Stabilitas politik Indonesia cukup meyakinkan. Koalisi partai politik dalam pemerintahan terkini berkontribusi besar pada tidak adanya gejolak politik skala nasional. Demikian pula tidak mengemuka gerakan politik berbasis etno-nasionalisme yang ingin memisahkan diri selain isu lama gerakan kemerdekaan Papua yang masih berlangsung bersamaan dengan geliat pembangunan otonomi khusus. Di ujung barat, Aceh terus membangun dalam format otonomi khusus pasca kesepakatan damai Helsinski.
Kendati demikian, dari parameter geopolitik, mimpi Indonesia superpower tidak akan menjadi kenyataan jika kasta bisnis-politik nasional masih mengendalikan sebagian besar instrumen dan mekanisme demokrasi. Persoalan terbesar dari oligarki nasional adalah ketidakmampuannya membuat proyeksi geopolitik Indonesia. Karena sebagian besar dari kelas berkuasa ini adalah hasil benturan politik domestik pasca Reformasi yang tidak dibekali pengetahuan dan pengalaman menata dunia seperti Sukarno dan pemimpin politik pasca revolusi kemerdekaan.
Cara berpikir kebijakan belum keluar dari teknokrasi lama dan masih bersibuk dengan pengaturan proyek dan program demi kepentingan patronase dan partai politik. Membesarkan diri dan kelompok sendiri masih dijadikan prioritas kekuasaan ketimbang membesarkan Indonesia sebagai potensi superpower. Hal ini juga diperparah dengan keterlibatan sejumlah akademisi dan intelektual publik dalam pemerintahan yang mengandalkan kepakaran teknis semata dan tidak terbiasa merancang program strategis dengan membandingkan atau belajar dari negara lain.
Untuk menjadi negara superpower tahun 2045, Indonesia harus segera menyehatkan diri dari dua jenis penyakit bawaan dua dekade terakhir. Pertama, penyakit politik identitas yang tumbuh subur dalam periode Global War on Terror di Indonesia sejak tahun 2001. Penyakit ini adalah suntikan elit politik untuk membangun popularitas dan elektabilitas. Politik identitas tidak menjadi ancaman disintegrasi tetapi dijadikan matriks polarisasi politik yang berkepanjangan pasca-pilpres 2014.
Selama dua periode Jokowi toleransi dan multikulturalisme dijadikan salah satu jualan diplomasi Indonesia kepada kekuatan unipolar Amerika Serikat dan Eropa. Dari segi geopolitik, terbaca dengan jelas Indonesia tidak sepenuhnya menyadari isu ini sebagai jurus utama kekuatan unipolar menjalankan politik pecah-belah antara sesama muslim di balik konstruksi radikalisme Islam dan terorisme.
Absennya perhatian pada dinamika global menjadi prakondisi kekuatan unipolar dan kelas menengah neoliberal di tanah air membangun narasi Indonesia damai dan Islam damai. Mata Indonesia dibuat tidak terbuka melihat kejahatan ekonomi perang Washington dan Brussel di Timur Tengah sekaligus tidak menyadari kebangkitan negara-negara lain menentang imperialisme ekonomi melalui instrumen moneter dan sanksi ekonomi sepihak. Hal ini juga bercerita tentang hilangnya peluang geopolitik Indonesia dalam momen unipolar. Karena kritik terhadap GWOT merupakan salah satu sendi penting terbentuknya kekuatan multipolar.
Penyakit kedua yang harus segera disembuhkan adalah histeria masal anti-Barat dan anti-China. Dalam sejarah politik Indonesia penyakit ini sifatnya musiman sesuai ada tidaknya seteru oligarki nasional. Sentimen rasial ini berpotensi dipicu oleh benturan geopolitik Amerika Serikat dan China di Indo-Pasifik sekaligus terpenting dipicu kelompok elit politik dan kelompok terpelajar yang tidak diajak dalam kelola proyek dan program investasi China.
Tujuan mulia mengoreksi kebijakan penguasa berpeluang membawa serta sentimen anti-China dan anti-Komunis. Kekuatan unipolar Washington sangat membutuhkan histeria masal ini di negara strategis penyeimbang pertarungan di Indo-Pasifik. Sudah tentu sentimen ini sangat merugikan Indonesia dalam aksi geopolitik kawasan yang berpusat pada Beijing dalam jangka panjang.
Potensi ketidakstabilan politik juga dapat disebabkan oleh kondisi mental teknokrasi-politisi nasional. Di satu sisi, sebagian besar teknokrasi kebijakan nasional diarahkan oleh para ekonom dan pakar politik berorientasi ekonomi-politik unipolar atau neoliberal. Tetapi di sisi lain, investasi besar-besaran dari Beijing dipahami sebagai tawaran berdagang sekaligus cara terselubung menguasai tanah dan air Indonesia.
Sikap pragmatis anti-China ini bisa sangat berbahaya, membawa tiga lapis konsekuensi. Yaitu pertama destruksi fundamen ekonomi, kedua destruksi terhadap fundamen demokrasi politik dalam negeri dan ketiga destruksi terhadap peluang proaksi geopolitik kawasan yang sedang dikendalikan China. Ketiga konsekuensi ini saling berdampak yang membawa kerugian tak terkira bagi proyeksi ekonomi makro dalam pusaran kompetisi dan inovasi yang menjadi prasyarat daya tahan dan keuntungan ekonomi kawasan Asia dan Indo-Pasifik.
Indonesia bisa bergerak dari fundamen dasar stabilitas politik. Militer tidak berpolitik, dikendalikan pemerintahan demokratis, sudah menjadi landasan terpenting. Tidak ada preseden kudeta militer selama dua dekade demokrasi Indonesia. Kendati demikian, benturan politik sipil dan tidak adanya proyeksi geopolitik akan sangat berpengaruh terhadap perilaku militer dalam tata dunia multipolar di tahun-tahun akan datang. Selain itu basis konstitusi negara yang mengatur perilaku negara tetap menjadi landasan bagi perbaikan kualitas demokrasi menuju Indonesia superpower.
๐๐ผ๐ฟ๐ฒ๐ธ๐๐ถ ๐ฆ๐๐ฟ๐ฎ๐๐ฒ๐ด๐ถ ๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐ต๐ฎ๐ป๐ฎ๐ป ๐๐ป๐ฑ๐ผ๐ป๐ฒ๐๐ถ๐ฎ
Menuju Indonesia superpower 2045, pertahanan nasional menjadi kunci ketiga bagi proyeksi geopolitik di kawasan di Asia Tenggara dan Asia Timur. Posisi geografis Indonesia dalam peta benturan geopolitik unipolar-multipolar terkini sangat penting baik sebagai kekuatan penyeimbang maupun sebagai kekuatan penentu kekuatan aliansi. Berpihak atau netral membawa risiko yang berbeda bagi posisi strategis Indonesia.
Dalam peta pertarungan terkini, posisi udara, laut dan darat Nusantara menjadi garis batas atau zona pembagi. Pertama, geografi Nusantara memecah garis atau memutuskan garis pertahanan aliansi kekuatan unipolar. Australia dan Selandia Baru di Selatan dan Jepang dan Korsel di utara terputus jalur koordinasi strategis dengan posisi geografis Indonesia. Indonesia menjadi sangat penting untuk diajak bergabung atau setidaknya tidak menjadi bagian dari aliansi pertahanan perang China.
Demikian halnya bagi China, posisi Indonesia adalah penentu zonasi pertahanan perang. Beijing tidak memerlukan Indonesia sebagai bagian dari aliansi pertahanan tetapi akan selalu berusaha mendorong Jakarta supaya tetap netral. Dua tujuan netralitas Indonesia bagi China. Pertama, netralitas Indonesia memecah koordinasi wilayah pertahanan Washington di Indo-Pasifik. Kedua, netralitas Indonesia, sebagai kekuatan utama Asia Tenggara, dapat menetralisasi pilihan aliansi Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Sementara di kawasan Indo-China, Laos, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam akan menjadi spektrum pertahanan utama Beijing.
Posisi strategis ini rupanya belum tercermin dalam diskusi pertahanan dan keamanan Indonesia. Dalam Dokumen Pertahanan 2021, visi dan misi pertahanan masih dibentuk dalam cara berpikir pertahanan semesta konvensional dan terkunci dalam asumsi konfrontasi bilateral atau trilateral dengan negara tetangga. Baik dalam dokumen kebijakan maupun pernyataan Prabowo dan petinggi militer tidak ditemukan analisis situasi geopolitik kawasan termasuk hubungan antara perang dagang dan ancaman perang nuklir di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Sebaliknya dalam lensa geopolitik posisi Indonesia sangat strategis untuk netralisasi ancaman perang kawasan sekaligus posisi paling berisiko jika terjadi perang nuklir taktis. Manuver nuklir taktis Amerika Serikat di Laut China Selatan bisa dibalas dengan manuver nuklir taktis China yang ditujukan di wilayah sekitar kontinen Australia. Analisis risiko perang nuklir belum dibahas komunitas pertahanan-keamanan. Hal ini tentu disebabkan masih terbatasnya pemahaman yang kompleks mengenai pokok perkara di balik benturan AS dan China dalam krisis Taiwan, Hongkong dan Laut China Selatan.
Terbatasnya pemahaman tentang benturan tata dunia unipolar dan multipolar bakal menyulitkan intelijen pertahanan membaca aliansi global lintas kawasan jika konfrontasi antara superpower nuklir akhirnya meletus di Indo-Pasifik. Membaca manuver Washington AUKUS dan QUAD harus dilakukan karena dengan sendirinya mengubah zonasi perang ke arah Asia Tengah melibatkan dua kekuatan nuklir yang berseteru yaitu India dan Pakistan. Sementara membaca manuver Beijing harus selalu diantisipasi keterlibatan nuklir Rusia dan Nuklir Korea Utara dengan jarak tembak lintas benua.
Hal penting lain yang patut dipertimbangkan dalam strategi pertahanan adalah jenis senjata dan sistem persenjataan. Ancaman perang terbuka antara superpower akan menggunakan sistem persenjataan hipersonik baik misil non-nuklir maupun dengan hulu ledak nuklir. Perang ini tidak mengenal mobilisasi tentara, invasi perbatasan tetapi lebih mengandalkan teknologi perang yang ditentukan oleh kecepatan, akurasi, destruksi dan dampak. Dalam perang seperti ini Indonesia harus memikirkan taktik lain daripada ikut berkonfrontasi dengan sistem persenjataan terbatas.
Dikembalikan ke dalam proyeksi geopolitik Indonesia, strategi geo-sekuriti harus selaras dengan strategi geo-ekonomi Indonesia di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Sangat berbahaya jika kebijakan pertahanan membuat keputusan atau manuver kolaborasi dengan Amerika Serikat atau China tanpa mempertimbangkan proyeksi ekonomi nasional. Dengan posisi strategis Indonesia saat ini, kalkulasi dan proyeksi pertahanan harus melayani diplomasi ekonomi dan diplomasi politik Indonesia ke Beijing dan Washington.
Kontraksi superpower antara aliansi Amerika Serikat dan aliansi China sesungguhnya memberi peluang pertahanan Indonesia masuk ke dalam spektrum kawasan dan dunia sekaligus. Indonesia tidak memiliki senjata canggih apalagi senjata nuklir yang bisa mengancam atau mengubah perilaku negara lain. Tetapi Indonesia memiliki posisi geografis yang bisa mengubah perilaku superpower. Karena itu andalan utama pertahanan Indonesia saat ini bukanlah senjata dan tentara menjaga perbatasan tapi intelijensi atau kecakapan diplomasi untuk memperkuat industri pertahanan menuju Indonesia superpower 2045.
Demikian tiga fundamen ekonomi-politik dan pertahanan yang perlu ditinjau kembali dan dikoreksi agar proyeksi Indonesia superpower bisa dimulai dengan peluang ekonomi dan pertahanan di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur. Perang dagang dan ancaman perang nuklir di kawasan Asia Timur menghadirkan peluang strategis yang tidak pernah ada sebelumnya pada periode tata dunia unipolar Amerika Serikat.
Kecerdasan geopolitik bisa dipelajari dari Sukarno dan pendiri bangsa yang memerdekakan dan membentuk Indonesia dengan memanfaatkan kesempatan terbatas dan berdarah-darah dalam Perang Dunia Kedua. Atau belajar dari Sukarno memanfaatkan Perang Dingin, memperkenalkan Indonesia ke dunia dengan gerakan non-blok. Panduan menjadi Indonesia Superpower sudah tertulis dalam sejarah, di dalam mahakarya Putera Sang Fajar, Di Bawah Bendera Revolusi.