Pada hari penguburan teman kerja saya itu, Alina hadir membawa sepaket bunga. Selain masker dan kacamata bening yang melindungi kedua bola mata indahnya, pakaiannya serba hitam.
Dari isteri mendiang teman saya, saya tahu bahwa Alina adalah tetangga mereka. Dia seorang mahasiswa keperawatan yang sedang praktik di rumah sakit tempat teman saya sebelumnya dirawat.
“Dia single parent. Maria, puterinya berusia tiga tahun. Kami tidak tahu siapa ayah anak itu. Ada desas-desus bahwa ayahnya itu Pram, anak mantan wakil bupati. Tapi tidak ada yang percaya. Anak-anak zaman sekarang, suka gonta-ganti.”
Entah karena dorongan apa, sejak hari itu saya tertarik mengenal Alina lebih jauh. Pada akhirnya saya jatuh cinta. Orangtua dan beberapa teman kerja menyarankan agar mencintai orang lain saja, sebab saya seorang bujang dan Alina beranak satu.
Tapi tidak saya dengarkan saran mereka itu. Saya jatuh cinta dan Alina berhak untuk dicintai. Tidak ada masalah.
Tidak gampang memulihkan kondisi hati seorang perempuan yang pernah hancur berkeping-keping. Dibutuhkan waktu yang sangat lama dan itu tidak pernah mudah.
“Saya jatuh cinta.” Akhirnya saya mengakui perasaan itu, suatu hari, setelah hampir satu tahun menjalin pertemanan. Matanya berbinar indah dan bibirnya tersenyum lembut. Dengan halus ia mengatakan terima kasih dan saya gelagapan.
“Maksud saya, apa Alina mau menjadi pacar saya?”
Sinar matanya tiba-tiba meredup dan kemudian berkaca-kaca. Sedetik kemudian ia menangis. Digenggamnya kedua tangan saya dan dengan sopan mengatakan bahwa ia belum siap untuk jatuh cinta. “Jangan pergi. Beri saya sedikit waktu. Saya masih terluka.”
Hari-harinya, jauh sebelum mengenal saya, disibukkan dengan aktivitas menjadi ibu. Dia sudah bisa mencintai Maria dengan sepenuh hati. Bagaimana pun juga, gadis kecil itu adalah buah rahimnya sendiri.
Hal terberat yang harus diterimanya adalah kemiripan anak kecil itu dengan Pram. Seluruh struktur wajahnya hampir serupa dengan wajah lelaki itu. Setiap kali melihat wajah lugu itu, hatinya tergores. Tapi waktu dan cinta kemudian membuatnya terbiasa.
Dari Alina saya belajar bahwa hati perempuan serupa labirin dengan tingkat kerumitan yang mustahil diuraikan. Perempuan adalah buku yang menarik untuk dibaca, namun sukar dipahami.
Sejak saya kecil, ibu mengajarkan bahwa kesabaran mampu menaklukkan segala jenis kemustahilan. Dari sedikit pengalaman semasa kuliah, saya tahu bahwa perempuan-perempuan yang sukar jatuh cinta sebenarnya memiliki kehangatan dalam hati mereka.
Hanya saja mereka memilih menyimpannya rapat-rapat lalu membentengi diri. Kesabaran dan kehangatan yang secara intens diberikan akan meluluhkan benteng pertahanan itu. Saya hanya butuh waktu dan sedikit ketabahan.
Ketika Alina meminta saya untuk sedikit bersabar, saya teringat nasihat seorang teman lama. “Jika engkau ingin lekas dewasa, jatuh cintalah pada seorang wanita. Usaha-usaha baik memahami labirin hatinya membuatmu semakin mengenal dirimu sendiri.”
Akhirnya saya mengerti, mencintai itu serupa seni. Seni memahami diri. Dengan mencoba memahami seluruh luka, trauma, dan masa lalu Alina, saya akhirnya mampu memahami diri saya sendiri.
Bertahun-tahun saya menutup diri dari panggilan alamiah untuk mencinta. Trauma karena perlakuan buruk ibu pada ayah merenggut keberanian saya untuk jatuh cinta pada seorang perempuan.
Dua puluh enam tahun lalu ayah dan ibu menikah. Ibu tidak pernah mencintai ayah, setidaknya itu yang diakuinya ketika saya berusia empat tahun. Dia membenci segala sesuatu yang berasal dari ayah, termasuk saya. Seperti Maria, saya pernah dijejali berbagai jenis racun saat masih dalam rahim ibu.
Entah bagaimana ceritanya, saya lolos dari maut yang datang bertubi-tubi itu. Saya kemudian lahir dan kebencian ibu pun semakin menjadi-jadi. Saat saya berumur tiga, ibu melahirkan adik perempuan dan adik laki-laki tiga tahun berikutnya.
Ibu amat menyayangi keduanya. Bertahun-tahun kemudian, dari cerita ayah di ranjang kematiannya, saya akhirnya tahu bahwa kedua adikku itu bukan anak ayah, melainkan anak haram dari hubungan gelap ibu dengan mantan kekasihnya.
Setelah kematian ayah, saya minggat dari rumah dan memutuskan untuk tinggal di kota ini. Saya kemudian mencoba menyusun keping-keping kisah masa lalu saya. Namun, sampai bertemu Alina untuk pertama kalinya, belum ditemukan kepingan yang membuat saya mengerti mengapa ibu sangat membenci ayah sepanjang usianya.
Setelah sekian tahun gagal mendapatkan cinta dari ibu, akhirnya saya mendapatkannya dari Alina. Pada suatu senja yang sendu, di depan anak dan orangtuanya, Alina menyatakan bahwa ia telah siap untuk jatuh cinta dan memasuki babak baru hidup kami.
Hari-hari setelahnya adalah hari penuh bahagia. Dan pada malam ketika kami bertunangan, saya menelpon ibu untuk memohon restu. Di ujung telepon, saya mendengar ibu menangis. Ada penyesalan dalam isak tangis itu.
Di akhir pembicaraan dia meminta maaf atas semuanya dan menceritakan alasan kebenciannya pada saya dan ayah.
“Berat mengatakan ini. Tapi ibu yakin, engkau sudah dewasa. Ayahmu memperkosa ibu,” kata ibu di selah isak tangisnya yang panjang. “Maafkan ibu, Nak, untuk semuanya. Maafkan ibu karena tidak pernah bisa mencintaimu.”
***
Di Gua Maria rumah sakit malam itu, ketika Alina selesai menceritakan seluruh masa lalunya, saya juga akhirnya menceritakan kepingan terpenting dari masa lalu saya sendiri.
Saya menangis untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun. Alina memeluk saya dengan seluruh kehangatan cintanya.
“Tatap mata saya,” katanya sambil tersenyum. Sulit untuk ikut tersenyum saat hatimu sedang tidak baik-baik saja. Tapi saya beranikan diri menatap matanya. Pada keindahan bola mata itu, saya menangkap ketangguhan ibu.
Identitas Penulis:
Tommy Duang lahir di pedalaman Manggarai Timur, Flores-NTT pada 26 Januari 1995. Sekarang bekerja sebagai staf pengajar di SMA Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko, Ngada, NTT. Awal tahun 2021, Tommy menerbitkan Kumcer pertamanya yang berjudul Sepanjang Azan akan Berkumandang.
Halaman : 1 2