Perempuan dan Ideologi Kapitalisme
Deskripsi tentang properti di atas memang sungguh menggetirkan. Jika realitas seputar properti kemudian disandingkan dengan perempuan, tentu jauh lebih menggetirkan. Bagaimana dan apa yang terjadi jika perempuan dijadikan atau diperlakukan sebagai properti? Sejak kapan perempuan diperlakukan sebagai properti? Dalam konteks apa mereka dijadikan sebagai properti? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini membutuhkan suatu proses telaah yang komprehensif.
Hemat saya, fenomena properti-isasi perempuan mencapai klimaksnya dalam era kapitalisme global. Tentu, perlakuan timpang terhadap perempuan sudah muncul jauh sebelum Adam Smith menerbitkan The Wealth of Nation yang menjadi cikal bakal ideologi kapitalisme. Namun, sejak revolusi industri – yang merupakan periode penting dimulainya roda kapitalisme – eksistensi perempuan mengalami ancaman nyata. Sekarang, hal itu bukan lagi ancaman potensial, melainkan realitas laten. Realitas pelik itu adalah objektivikasi perempuan.
Baca Juga : Asal-Usul Roh Halus Menurut Kepercayaan Asli Orang Manggarai
Baca Juga : Kisah Seorang Difabel di Wodong yang Sukses Jadi Kepala Tukang
Dalam gegap gempita kapitalisme, yang kemudian mendorong globalisasi peradaban Barat dan modernisasi dunia Timur, perempuan adalah satu di antara ribuan objek atau properti yang dimiliki manusia. Sejauh seseorang memiliki modal, ia dapat membeli properti. Jika ingin mengakumulasi modal, properti yang sama dapat kembali dijadikan sebagai komoditas. Sejauh seorang pria memiliki modal yang besar, ia dapat menikahi seorang gadis yang usianya 40 tahun lebih muda dari dirinya.
Untuk menjaga keawetan gadis ini, si pemilik modal menetapkan paket perawatan berbiaya ratusan, miliaran, bahkan triliunan rupiah! Jika modalnya masih banyak, ia dapat memiliki tiga istri sekaligus dengan biaya perawatan yang sama besarnya. Kehadiran ketiganya bukan untuk mempersembahkan anak bagi sang suami. Mereka ada begitu saja. Hadir begitu saja. Mereka hadir untuk menambah jumlah ‘properti’ sang suami. Jika sang tuan melanglang buana ke semua benua, ia harus tetap yakin bahwa ketiga istri tersebut ada di rumahnya. Tidak ke mana-mana, sebab ia sendiri yang akan ke mana-mana untuk mencari uang.
Jika pulang ke rumah, si suami akan membunyikan lonceng dan ketiga istrinya muncul dari balik tirai berwarna emas. “Inilah istriku,” kata sang miliuner kepada tamunya. “Aku juga harus seperti ini,” bisik seorang tamu kepada kerabatnya. Mereka ‘disekap’ dalam dunia yang dikehendaki suaminya, bukan oleh dirinya sendiri. Mereka ingin mencari uang, tetapi suaminya memerintah, “kamu di rumah saja.” Itulah sebabnya, kita begitu jarang mendengar kabar tentang seorang pria berumur 25 tahun yang menikahi seorang ibu tua berumur 60 tahun.Telinga kita hanya terbiasa mendengar kabar tentang seorang bapak tua berumur 60 tahun yang menikahi seorang gadis berumur 20-an tahun.
Dalam ruang publik, objektivikasi perempuan terjadi ketika perempuan ditempatkan sebagai instrumen pelancar bisnis. Ideologi kapitalisme tidak memberi batasan tentang entitas mana saja yang bisa dijadikan objek atau komoditas dagang. Yang diutamakan dalam era kapitalisme adalah akumulasi modal, tanpa mempedulikan objek apa yang telah dikorbankan demi mendapatkan modal. Dengan kata lain, marketibilitas (marketibility) adalah bagian penting dari kapitalisme. Dalam era kapitalisme, sejauh sesuatu memiliki potensi untuk diperdagangkan (marketable), sesuatu itu adalah komoditas yang mendatangkan keuntungan.
Baca Juga : Urgensi Pendidikan Pancasila di Era Milenial
Baca Juga : Jacques Ellul tentang Masyarakat Teknologis
Itulah sebabnya, manusia diperlakukan sebagai objek dagang. Tidak ada lagi perbedaan jelas antara binatang, properti non-organisme (mobil, rumah, tanah) dan manusia. Kapitalisme menjadikan tubuh manusia setara dengan tubuh binatang yang bisa diperdagangkan. Tubuh perempuan masuk dalam logika ini. Sebab itu, menjadikan perempuan sebagai pemeran iklan – bahkan untuk produk-produk yang sama sekali tidak relevan dengan diri perempuan – merupakan strategi agar produk yang diiklankan pun laku (salable).
Akhirnya, kita menjadi sadar bahwa menempatkan perempuan ber-fashion ‘modern’ di samping mobil atau motor terbaru berpeluang mendobrak keinginan pembeli untuk memboyong mobil atau motor itu ke rumah. Hal yang sama juga berlaku dalam bisnis prostitusi.
Hegemoni Gerakan Etis
Realitas-realitas reduksionis-destruktif di atas tidak hanya menindas perempuan, tetapi juga mengalienasi mereka dari dirinya sendiri sebagai perempuan, dan dari martabatnya yang mulia dan luhur. Namun, hal ini tidak akan dapat dihentikan jika tidak ada gerakan etis-humanis yang mampu menghegemoni dunia dan menepis kuasa ideologi kapitalisme. Demi merealisasi proyek ini, kita perlu kembali pada pemikiran Antonio Gramsci tentang hegemoni.
Baca Juga : TWK dan Skenario Pelemahan KPK
Baca Juga : Tuhan dalam Tiga Unsur Rumah Adat Ende Lio
Hanya dengan menciptakan sebuah gerakan hegemonik etis baru, kita dapat menghentikan laju perbudakan di bawah kendali kapitalisme. Namun, ini merupakan sebuah proyek yang sulit. Berbagai ideologi datang silih berganti. Bahkan dalam pergantian setiap ideologi, pembunuhan terjadi di mana-mana dan dibenarkan atas nama stabilitas nasional.
Jika demikian, gerakan etis mana yang kita jadikan sebagai ideologi hegemonik untuk menghentikan laju perbudakan di balik kapitalisme? Saya sendiri tidak memiliki tawaran yang pasti. Hemat saya, hal ini perlu menjadi topik diskursus publik agar gerakan etis dapat lebih mendunia. Dengan cara ini, kita berharap, perlakukan timpang terhadap perempuan dapat berakhir.